Cerpen_SENAR GITAR
SENAR GITAR
There’s something in my heart,
But I don’t know what it is,
It’s very curious,
And make me very nervous,
If I be your side …
Ayunan tangan
Ega berhenti ketika riuh tepuk tangan pengunjung memenuhi ruangan itu. Begitu
pula dengan Wina. Setelah mengucapkan terimakasih kepada penonton, mereka lalu
kembali ke belakang panggung seraya mengusap dada.
“Kamu
tau, Win? Aku tak menyangka sama sekali bisa berada di atas panggung itu.”
“Ohya?
Aku juga.”
“Juga?
Bukankah kamu Ratu panggung ini?”
“Maksudku
bukan tentang panggung ini. Tapi bernyanyi bersamamu. Kurasa tidak ada yang
lebih menyenangkan dibandingkan berkolaborasi dengan pemenang audisi
internasional sepertimu.”
“Sanjunganmu
aku terima. Tapi aku bukan apa-apa dibanding kamu.”
“Ayolah,
Ega. Kau tak perlu merendah seperti itu. Aku tau betul siapa kamu.”
“Kamu
ini memang masih Wina yang aku kenal sejak beberapa tahun silam.”
“Aku
tidak akan berubah selama aku masih punya sahabat sepertimu.”
“Ohya,
mau makan siang, Win?”
…
Ia memandangi toko itu sudah sejak
sejam tadi. Tapi ia tidak juga lelah berpangku tangan atau terkadang bersandar
pada bangku taman di seberang toko itu. perasaannya seperti sedang melayang
jauh. Menyusuri episode-episode silam yang menyertakan dirinya sebagai pemeran
yang tak sanggup bertahan dalam kepura-puraan itu. Lalu ia seketika menghilang
seperti kabut. Dengan meninggalkan sesuatu yang paling berharga dalam hidupnya.
“Tuan
James? Kau kah itu?”
“Benar,
aku James. Tapi siapa kau?”
“Kau
lupa padaku? Aku Lia, Silia Edwar.”
“Silia?
Oh ya, aku ingat sekarang. Apa kabarmu, Nak?”
“Aku?
Di hari-hari sebelumnya aku pasti akan menjawab aku baik-baik saja. Tapi untuk
hari ini kurasa tidak.”
“Kau
masih saja gelisah memikirkan studiomu ya?”
“Bukan
itu. Tapi tentang adikku. Dia terlalu cepat untuk memahami kerasnya dunia
hiburan.”
“Bukankah
dia anak yang dulu sering kau ajak ke studio itu?”
“Ya,
sekarang ia sudah remaja. Yang artinya aku akan lebih sering menasehatinya.”
“Kau
juga sepantasnya patut dinasehati.”
“Atas
apa?”
“Atas
dirimu yang tak kunjung menikah.”
“Haha,
Tuan bisa saja. Soal menikah, aku sudah serahkan itu pada sang Pencipta.”
“Kenapa?
Kau takut dihianati lagi?”
“Mungkin
begitu. Tapi aku hanya sedang ingin sendiri dan focus dengan adikku.”
“Sendiri
sampai adikmu itu tumbuh dewasa dan melangkahimu?”
“Sudahlah,
Tuan. Ohya, kenapa kau duduk disini berlama-lama?”
“Aku
hanya tertarik pada benda di seberang, di dalam toko itu.”
“Benda?”
“Kau
mungkin sudah tau. Jadi aku tidak perlu menjelaskannya kembali.”
“Oh,
kau masih ingat ternyata. Kukira Tuan James yang kukenal periang ini sudah
melupakan hal itu.”
“Dulu
kukira juga begitu. Tapi tidak. Semua itu seperti bekas ratusan jaritan di
tubuhku.”
“Sudahlah,
jalani saja apa yang Tuan inginkan sekarang. Ku tahu Tuan sudah mencapai
kesuksesan yang sebenarnya Tuan inginkan sejak dulu. Jadi nikmati saja bersama
cucu-cucumu.”
“Kau
mau kemana?”
“Aku
akan pergi membeli beberapa kebutuhan rumah yang habis lalu menjemput adikku.”
“Kau
tidak biarkan ia mengendarai kendaraan sendiri?”
Silia
hanya menggeleng dan tersenyum. Sedangkan Tuan James masih setia pada
posisinya, memandangi toko dengan hiasan not lagu pada pembatas kacanya.
“Sebanarnya
bukan hal yang sulit melupakan kepedihan itu, tapi apa yang aku tinggalkan
disana itulah yang membuat jaritan luka tak mau kering.” Kata Tuan James dalam
hati.
…
Tiba-tiba Wina merasa ada yang aneh
pada mobilnya. Setelah ia meminggirkan kendaraanya dan keluar memeriksanya,
ternyata ban mobilnya bocor.
“Sial!” umpatnya
kesal. Padahal Wina akan menghadiri pesta ulang tahun sahabatnya. Kemudian ia
mengeluarkan handphonenya dan menelepon seseorang.
“Permisi, ingin
beberapa permen coklat, Nona?” seorang lelaki sebaya mendekati Wina sambil
membawa setoples permen coklat di tangannya.
“Tidak,
terimakasih.”
“Perusahaan kami
sedang mengadakan promosi terhadap produk terbaru. Jadi untuk hari ini dan
besok, kami memberikan permen coklat yang lezat ini secara cuma-cuma.”
“Terimakasih,
Tuan. Tapi saat ini saya sedang tidak berselera untuk memakan apapun.”
“Nona terlihat
agak kesal saat ini..”
Wina memasukkan
handphonenya kembali ke tas. Ia mulai tidak nyaman dengan keadaan salesman ini.
Bisa-bisanya ia sembarangan menuduhku kesal. Sebenarnya lelaki itu salesman
atau psikolog keliling?
“Maaf Tuan.
Tentang bagaimana keadaan emosi saya saat ini adalah privasi saya. Jadi saya
mohon Anda tidak sembarangan dan bersikap lancang seperti itu.”
“Ibuku berkata
jika kau sedang merasa marah atau kesal, coba kunyahlah sedikit coklat dan
nikmati rasa manisnya. Maka seiring coklat itu habis, perasaanmu pasti akan
kembali normal dan ringan.”
“Ibuku tidak
pernah mengatakan hal seperti itu. Jadi sekali lagi saya mohon dengan sangat
hormat, Anda silahkan mencari orang-orang lain untuk diberikan permen Anda.”
Lelaki pembawa
permen itu diam sejenak. Ia mulai sadar bahwa perempuan di hadapannya itu tidak
suka dengan kedatangannya. Jadi ia berinisitif untuk pergi dan menawari
orang-orang lain.
“Nona, Ibuku
adalah pembuat cemilan coklat paling hebat dalam kehidupanku. Jadi tolong
percayalah. Dan semoga harimu menyenangkan.”
Setelah lelaki itu pergi dan tidak
terlihat lagi. Wina mencoba kembali menghubungi kontak yang kemungkinan bisa
datang kesini untuk menolongnya. Sebenarnya Wina bisa saja menghentikan taksi
disini. Tapi ia tak bisa meninggalkan mobil kesayangannya di tengah jalan
seperti ini. Jika sampai mobil itu lecet sedikit saja, maka Wina akan segera
membawanya ke bengkel langganannya saat itu juga.
Beberapa jam berlalu, Wina mulai
merasa bosan. Kontak yang dihubunginya tak satupun dapat membantunya saat ini.
Ia mulai lemas dan akhirnya memutuskan untuk memberitahu bahwa ia tidak bisa
datang ke pesta ulang tahun sahabatnya itu. Ketika Wina masuk ke dalam
mobilnya, ia menemukan sebuah bungkusan lucu. Wina nampak heran dan segera membuka
bungkusan itu. Sebuah bungkusan permen. Ada tiga butir permen coklat
didalamnya. Seketika Wina teringat salesman yang sempat membuatnya hampir naik
darah itu. Tentang ucapannya tentang ibunya, coklat dan emosi. Wina akhirnya
mengikutinya. Permen coklat itu mulai dikunyahnya perlahan. Meskipun giginya
terasa agak lengket, tapi entah kenapa bibirnya terus tertarik untuk menikmati
lebih lanjut permen coklat itu.
…
Ega hendak mengatakan bahwa ia ingin
mengendarai mobilnya sendiri kepada kakaknya saat lampu merah menghentikan
lajunya yang kencang itu. Tapi Ega merasa sangat segan dan sedikit takut
kalau-kalau Kakaknya itu tidak menyetujui dan malah berbalik memarahinya.
Akibat yang lebih fatal pun akan terjadi jika Ega melawan perkataannya.
“Kenapa
kau diam saja?” Tanya Silia melajukan mobilnya kembali.
“Tidak.
Aku hanya sangat merasa lelah.”
“Lelah?
Bukankah menyanyi itu hobimu?”
“Memang,
tapi aku juga punya energy yang bisa habis kapan saja.”
“Baiklah.
Di rumah aku belum memasak apapun, jadi kita akan makan di luar hari ini.”
“Terserah
kau saja.”
Mobil
berwarna hitam itu mulai melaju kencang lagi. Pada sebuah jalan besar, Silia
meminggirkan mobilnya.
“ChocCafe?
Kakak tidak salah?” Ega tampak heran terhadap kakaknya. Biasanya setiap ia
makan di luar bersama Silia, ia pasti akan mencari restoran yang ia faforitkan.
Meskipun Ega tidak terlalu suka dengan masakannya. Tapi selama itu, ia tetap
berusaha senang dan diam.
“Aku
mulai jenuh dengan masakan para chef mata sipit itu. Aku hanya ingin
bernostalgia dengan coklat.” Silia tersenyum menjawab. Wajahnya tampak lebih rapi
dari keadaannya di saat mengendarai mobil.
“Ayo
cepat masuk!
Cacing-cacing di perutku sudah mulai berdemo.”
Silia mendahului
membuka pintu café itu. Sedangkan Ega masih diam selama beberapa detik lalu
dengan segera menyusul Silia ke dalam café.
“Mau pesan apa?”
Tanya Silia seraya melihat dengan cermat daftar menunya. Ega tampak berpikir.
Dilihatnya jelas-jelas bahan makanan yang disediakan disini. Hampir seluruhnya
mengandung coklat.
“Satu Choc Ice
sama Chick’en Choc ya!” kata Silia pada pelayan yang sudah siap mencatat
pesanan pelanggannya itu.
“Satu Coffee
Latte dan Salmon BBQ and Choc!” kata Ega akhirnya. Sang pelayan pun pergi
setelah mengulang kembali pesanan Silia dan Ega. Sedangkan Silia mulai sibuk
dengan hanphone-nya dan dorongan Ega untuk membiacarakan tentang mengendarai
mobil muncul lagi. Tapi, masih saja ada rasa enggan untuk mengatakannya. Ega
pun akhirnya mengalihkan pikirannya pada interior café itu. Semua dindingnya dihiasi
dengan berbagai pernak-pernik bernuansa coklat dan permen. Seperti pada negeri
lollipop dan coklat. Bangku yang sedang didudukinya pun berbentuk seperti
sebuahcoklat batangan. Kemudian Ega memperluas pandangannya pada para karyawan
yang ada disini. Juga meneliti ekspresi para tamu yang sedang menikmati
makanannya.
“Ega, jika kau
tinggal sendiri si rumah bagaimana?” Tanya Silia tiba-tiba.
Ega tampak
mengerutkan dahinya. Tanda bahwa ia tidak mengerti maksud kakaknya.
“Memang kakak
mau kemana lagi?”
“Aku tidak
kemana-mana. Maksudku, kau tinggal sendiri jika aku menikah nanti. Bagaimana?”
Silia terlihat canggung mengatakan kalimat itu. terlebih kata menikah terdengar
sangat jarang disangkut pautkan dalam pembicaraan Silia. Tapi Ega mulai
mengerti. Ia tidak akan menanyakan kenapa atau sebagainya yang akan membuat
Silia menjadi kaku lagi. Mungkin inilah saatnya.
“Sejak Ayah dan
Ibu pergi, hanya aku dan Kakak yang mendiami rumah itu. Dan selama itu pula aku
mulai belajar untuk hidup mandiri. Kakak tidak lupa kan berapa kali kakak
meninggalkanku di rumah hanya bersama Bibi Ane untuk pergi ke luar kota?”
“Tapi, jika
misalnya aku menikah, entah dengan siapapun, maka aku akan mengikuti kemana
lelakiku tinggal.”
“Produser yang
pernah menawariku rekaman pernah berkata padaku, bahwa kemanapun kumbang pergi,
maka serbuk sari yang menempel pada kakinya akan turut serta. Jika nanti kakak
tinggal di kota lain, aku tidak akan apa-apa disini. Umurku sudah 20 tahun,
kakak tak perlu mengkhawatirkan keadaanku seperti memperhatikan anak 15 tahun.”
“Jadi selama ini
kau merasa kuperlakukan seperti anak 15 tahun?”
Ega terdiam
sejenak. Ditatapnya mata kakaknya lekat-lekat kemudian kembali mengalihkannya
pada makanan yang baru saja disajikan pelayan.
“Maksudku bukan
begitu, kak. Tapi aku hanya ingin kakak bisa menikmati hidupmu seperti seorang
wanita dewasa lainnya. Ketahuilah kak, sebenarnya kakak tidak perlu menjeputku
setiap aku pulang kuliah atau setelah selasai bernyanyi. Sebenarnya aku sering
mengendarai mobilku sendiri ketika kakak berada di luar kota. Tapi bukan
maksudku untuk membuat perkara dan membuatmu khawatir, tapi semisal kakak sudah
berumah tangga dan semakin sibuk, apakah aku harus menungumu selesai menidurkan
anakmu atau selesai merapikan rumahmu untuk datang menjeputku?”
Silia tak
bersuara. Ia hanya menatap Ega dengan binar-binar yang memenuhi matanya.
Sesuatu tengah dipikirkan, ditimangnya
untuk memutuskan sesuatu hal kecil yang bisa berdampak besar pada masa
depannya jika diambilnya adalah keputusan yang salah.
“Kak, selama ini
perintah dan segala aturan yang kau buat sudah aku turuti. Jadi, bolehkan aku
minta sesuatu padamu?”
“Apa?” Tanya
Silia lirih.
“Aku minta kau
melupakan kesakitanmu terhadap cinta dan biarkan aku yang berbalik menjagamu
sebagai seorang saudara dan laki-laki dewasa. Percayalah padaku, kak..”
Silia bergeming
lagi. Kali ini binar-binar itu mulai meleleh, terjun menuju pipi merahnya yang
tampak pucat. Kemudian ia menuju bangku Ega dan memeluknya.
“Ega, aku minta
maaf. Karena selama ini aku lupa bahwa aku punya adik lelaki yang sudah
dewasa.”
Ega tersenyum
dan memeluk erat kakaknya. Beban pikirannya dan segala hal yang ia pendam
seperti menjadi hilang saat itu juga.
“Tapi kak, kali
ini aku minta satu hal lagi dan ini sangat darurat.”
“Apa?”
“Perutku sakit
dan perlu penanganan segera.”
Silia seketika
melepaskan pelukkannya. Ia tampak heran dan tertawa geli melihat tingkah Ega
yang kesakitan menahan perutnya yang mules.
…
Baru saja Tuan James membersihkan
badannya dan berniat mencari air hangat untuk merendam kakinya. Hal itu
dilakukannya setiap kali ia pulang dari berjalan-jalan. Maklum saja, usianya
yang kini menginjak 65 tahun membuatnya harus extra hati-hati merawat kekuatan
tulang dan sendinya. Jika tidak, mungkin nasibnya akan sama seperti para manula
yang menghabiskan sisa hidup mereka di rumah saja. Tuan James adalah orang yang
suka petualangan. Sewaktu muda, ia dikenal teman-temannya sebagai si Kompas. Karena hampir seluruh nama jalan,
lokasi ini dan itu diketahuinya di kota ini. Namun, ketika tulang kaki dan
punggungnya sudah tidak kuat untuk menempuh jarak jauh, Tuan James hanya bisa
berjalan-jalan sampai taman kota. Disanalah ia sering menghabiskan waktu
sendirian, kadang ditemani oleh orang-orang yang kebetulan mengenalnya atau bahkan
hanya ditemani burung-burung yang berterbangan bebas mencari sisa remah-remah
yang tertinggal. Ia juga sering melihat senja, tapi bukan dari atas bukit atau
pelabuhan, senja yang sering ia lihat adalah senja di balik gedung toko itu.
Entah kenapa, seperti kemarin, ia rasanya tak sanggup meninggalkan pemandangan
yang terpampang jelas di depannya itu. Maka dari itu, sampai malam menjelang,
ia baru akan kembali ke rumahnya.
“Ayah, belum
istirahat ya?” Tanya Rima saat mendapati Tuan James masih setia pada acara
faforitnya.
“Kau tidak lihat
aku sedang beristirahat sambil menonton televise?”
“Yah, tubuh ayah
memang terlihat berbaring, tapi pikiran ayah kurasa masih membawa sesuatu yang
berat.”
“Kau tak usah
mengkhawatirkan aku, Rima. Aku hanya memikirkan bagaimana tim faforitku menang
melawan tim faforit suamimu.”
Rima diam
sejenak. Memikirkan sesuatu yang seharusnya ia ucapkan pada Tuan James saat
itu. Tapi itu urung ia lakukan lantaran melihat ekspresi ayah yang sama sekali
datar. Wajah tuanya yang berkeriput membenamkan keceriaanya saat sebuah bola
yang direbut 22 orang itu hampir memasuki gawang lawan.
“Baiklah, jika
ayah butuh teman, akan kupanggilkan Joe. Lagipula besok dia libur bekerja.”
“Tak usah. Aku
lebih senang menonton sendiri sekarang. Kau tak mau bukan kalau suamimu aku
marahi karna timnya menang?”
“Well, terserah
ayah saja. Tapi jangan sampai ayah bergadang. Ingatlah bahwa ayah bukan lagi
anak muda seperti Justin Bieber.” Rima menutup pintu kamar Tuan James dan
berlalu. Sejak beberapa tahun silam, sikap ayahnya mulai berubah dan menjadi
pemurung dan suka menyendiri. Tapi lain hal jika cucu-cucunya pulang sekolah
dan mengganggunya membaca Koran. Tuan James pasti akan mengikuti kemauan cucu-cucunya,
terlebih si kecil Diego yang sangat senang bermain sepak bola.
Sementara kembali ke ruang kamar
Tuan James, ia tampak sudah sangat lelah. Tapi pikirannya tidak mau bekerja
sama dengan fisiknya untuk sejenak memikirkan hal berat itu.
“Tuhan, kuharap
besok hal seperti ini tidak akan kuulangi.” Ia berusaha memejamkan matanya yang
mulai redup dan akhirnya berhasil terlelap. Sedangkan televise masih senang
menyiarkan berita kemenangan tim terbaik dalam pertandingan malam itu.
…
“Ma, boleh aku
bertanya sesuatu?” Wina mengambil duduknya tepat menghadap Mamanya yang sedang
sibuk meracik sarapan.
“Mau nanya apa,
Win?” Mamanya balik bertanya tetapi pandangannya masih sibuk pada bahan-bahan
yang ada di hadapannya.
“Ayah, orangnya
bagaimana dulu?” Wina menatap mamanya dengan rasa penasaran. Tetapi lain hal
dengan Mamanya. Seketika ia berhenti memotong wortel yang masih setengahnya.
Kepalanya masih menunduk. Dalam pikirannnya berkelebat banyak sekali
peristiwa-peristiwa. Dadanya mulai berdebar.
“Mama?”
“Eh, kenapa?”
Tanya mamanya agak gugup.
“Kenapa mama
diam?”
“Tidak, hanya
sedang memikirkan akan ku apakan wortel ini selanjutnya.”
“Lalu bagaimana
dengan pertanyaanku tadi?”
Mamanya kembali
diam. Pikirannya mulai tersadar akan waktu. Bahwa Wina sudah dewasa dan mungkin
juga ia harus mengetahui semuanya.
“Ayahmu? Dia
adalah seorang pekerja keras. Dan wajahnya mirip sepertimu.”
“Benarkah? Lalu
apa dulu ayah juga seorang penyanyi?”
“Iya, pada
masanya ia adalah penyanyi dan musisi terkenal.”
“Andaikan ayah
masih ada. Aku sangat ingin bertemu dengannya. Aku yakin pasti aku bisa banyak
belajar darinya.”
Mamanya
tersenyum kemudian mengalihkan pandangannya pada potongan wortel di depannya.
Kesakitan yang selama ini ia pendam kini terkuak kembali. Air matanya hampir
saja berlinang deras jika saja ia tidak sadar bahwa Wina sedang berada di sana.
“Ma, hari ini
aku tidak punya kesibukan. Jadi, apa mama mau ikut denganku mengunjungi rumah
Ega?”
“Baiklah. Tapi
apakah kamu sudah mandi?”
Wina terkekeh.
Di tandaskannya jus yang dipegangnya dari tadi dan segera beranjak menuju kamar
mandi.
Setelah Wina selesai membersihkan
tubuhnya dan mamanya telah selesai menyelesaikan tugasnya, mereka pun
berangkat. Jarak rumah Wina dengan Ega tidak terlalu jauh, sekitar 1,5 km.
perlu diketahui, Wina dan Ega sudah bersahabat dari sejak SD. Mereka selalu
berangkat ke sekolah bersama-sama dan pulang juga bersama-sama. Tapi ketika
memasuki jenjang SMA, mereka berpisah. Saat itu kedua orang tua Ega meninggal
akibat kecelakaan pesawat. Lalu Ega diasuh oleh paman dan bibinya yang berada
di Australia. Namun, ketika Ega sudah menamatkan kuliah seninya di sana, ia
pulang ke Indonesia dan segera menemui Wina sahabatnya.
Ding-dong… Wina menekan bel rumah
Ega beberapa kali. Kemudian, keluar sosok perempuan yang juga tak asing bagi
Wina dan Mamanya.
“Wina, tumben
kesini? Sama Tante Sarah lagi.” Sapa Silia tersenyum. Tatap matanya seakan
menandakan sesuatu yang mengambang. Begitu dengan Sarah, mama Wina. Sesuatu
yang baru saja dimunculkan lagi oleh putrinya kini mulai menemui tahap
pendobrakan dalam hatinya.
“Iya nih.
Mumpung liburan, jadinya aku kesini deh. Ohya, Eganya ada kak?” Tanya Wina
sambil celingak-celinguk ingin mengetahui situasi di dalam.
“Tuh orangnya
lagi main gitar. Mungkin juga lagi mikirin kamu.” Silia terkekeh. Sedangkan
Wina merona merah. Ia lalu memasuki rumah yang tidak begitu banyak berubah dari
semenjak terakhir kali ia kesini. Dilihatnya Ega sedang melamun, memeluk
gitarnya dan di sampingnya ada sebuah buku catatan.
“Kamu sedang
membuat lagu ya?” ucap Wina mengejutkan Ega.
“Eh, e, Win,
sejak kapan kamu disini?” Ega gugup. Segera ditutupnya buku catatan yang sejak
tadi terbuka kemudian meletakkannya di atas laci mejanya.
“Mmm… tak cukup
lama. Hanya saja aku sempat mendeteksi apa yang sedang kamu lamunkan.”
“Benarkah? Lalu
apa hasil pendeteksianmu?”
“Aku rasa kamu
sedang memikirkanku kan?” Wina tertawa. Merasa berhasil menuntaskan
pendeteksiannya yang abal-abalan itu. Wajah Ega langsung berubah merah, seperti
seorang pemain iklan kosmetik khusus blush on.
Tapi Ega tak mau
menanggung malunya sendiri, ia berusaha mengembalikan wajahnya agar normal
kembali dan tersenyum.
“Saat kamu
tertawa barusan, instingku mengatakan bahwa kamu juga sedang merindukanku. Iya
kan?” ucap Ega sambil menaik-naikkan sebelah alisnya.
Sontak Wina pun
berhenti tertawa. Kini dialah yang menjadi pemain iklan kosmetik itu. Wina
menunduk dan tetap diam.
“Benar kan?” Ega
tertawa. Sementara Wina mengumpulkan kembali penolak malunya untuk mencubit
lengan Ega.
“Eits, mau apa?”
Ega langsung menyergah tangan Wina dan menjulurkan lidahnya. Wina pun jadi
makin kesal dan berusaha melepaskan tangannya. Tapi ketika tangannya berhasil
terlepas, Ega sudah lebih dulu melesat dan berada di belakangnya. Jadilah
mereka seperti serial kartun Tom dan Jerry yang saling berkejaran berebut
sepotong keju.
…
Silia dan Sarah sedang menyiapkan
makanan untuk mereka. hal ini sering terjadi lantaran Silia sering meminta
bantuan kepada Sarah untuk mengajarinya memasak setiap kali ia mengunjungi
rumah Silia.
“Lia..” ucap
Sarah pelan.
“Ada apa tante?”
“Kau tau tentang
keadaannya sekarang?”
“Siapa maksud
tante?”
“James.”
Seketika Silia
berhenti mengaduk sayurnya yang baru saja diberikan bumbu.
“Memang, kurasa
sangatlah konyol menanyakan seseorang yang seharusnya dilupakan. Tapi, aku hanya
ingin mengetahui keadaannya.” Suara Sarah mulai terdengar lirih.
“Aku tidak
beranggapan seperti itu. Hanya saja, kebetulan beberapa hari lalu aku bertemu
dengannya di dekat taman. Ia sedang duduk dan melamun memandangi sebuah toko.”
“Apa kau sempat
berbincang dengannya?”
“Ya, awalnya
Tuan James lupa padaku. Tapi akhirnya ia ingat juga. Saat kutanya, ia bilang
hanya tertarik pada sebuah benda. Entah apa benda tersebut karena di dalam toko
itu terdapat banyak sekali benda-benda.”
“Toko apa yang
kau maksud?”
“Sebuah toko
alat music.”
Sarah terdiam.
Kali ini pikirannya yang melayang jauh. Sementara Silia baru tersdar akan
sayurnya yang hampir kekurangan air. Ia cepat-cepat mengambil air,
menuangkannya dan mengaduk sayuran itu kembali.
Ketika itu, mulailah Ega dan Wina
mengusik suasana masak Sarah dan Silia. Mereka saling berkejaran. Hampir juga
sayur yang sudah disajikan di atas mangkuk oleh Silia tumpah.
“Wina, jangan
kejar-kejaran begitu dong.” Ucap Sarah pada Wina.
“Ega duluan,
Ma.”
“Bohong Tante! Wina duluan!”
celetuk Ega.
“Ya sudah,
daripada kalian berantem, lebih baik kalian makan siang dulu. Tante sama Kak
Silia sudah buatin kalian makanan kesukaan kalian.”
“Awas ya kamu!”
gerutu Wina dengan wajah kesal. Kemudian mereka pun akhirnya duduk di meja makan dan menandaskankan
hidangan yang telah disajikan. Sekilas mereka benar-benar mirip seperti Tom dan
Jerry.
….
“Ayah mau
kemana?” Tanya Rima ketika melihat Tuan James sudah berpakaian rapi.
“Sudah lama ayah
tidak melihat perkembangan restoran ayah sejak itu aku limpahkan pada suamimu.”
“Jadi ayah mau
kesana? Dengan siapa?”
“Di kota ini
ratusan taksi siap mengantar ayah kan?”
“Tapi ayah,
tidak bisakah ayah istirahat sehari saja di rumah? Restoran ayah pasti
baik-baik saja.”
“Aku akan sakit
jika hanya diam di rumah.”
Rima menghela
napas panjang. Keras kepala ayahnya tak dapat ia lawan. Lelaki tua ini memang
benar-benar petualang sejati. Dan mungkin jiwa seperti itu akan diikuti oleh
cucu lelakinya, Diego. Pasalnya, meskipun hari ini masih pagi tapi Diego, anak
pertama Rima sudah bermain-main dengan teman-temannya di halaman belakang.
Sering terlihat Diego dan teman-temannya itu berdiam diri di rumah pohon yang
dibuat Joe, ayah Diego. Entah apa yang mereka bicarakan, yang jelas setelah
keluar, Diego tampak memegang secarik kertas yang habis diremas-remas.
“Pasukan siap!”
jerit Diego pada teman-temannya yang sudah berjejer rapi.
“Kita punya misi
penting dan telahasia!” jeritnya lagi.
“Misi kita hali
ini apa komandan?”
Diego sejenak
berdehem. Melegakan kerongkonganya yang serak. Kemudiam ia membaca tulisan yang
ada dalam kertas yang sejak tadi ia genggam.
“Siap
semuanya???”
“Siap
komandan!!!” teriak teman-temannya kompak. Sedetik kemudian mereka sudah
bersembunyi di balik semak dan pohon. Misi para petualang cilik itu pun mulai
dilaksanakan.
“Diego!” panggil
Rima dari dalam rumah. Tapi tak ada suara yang menjawab.
“Diego, kakek
mau ke restoran. Kamu mau ikut?” teriaknya lagi.
Tak juga ada
sahutan dari Diego. Teman-temannya juga tak ada yang berisik.
“Anakmu itu
sedang asik bermain. Mungkin sedang memainkan cerita yang kau ceritakan
semalam.”
“Hhh, anak itu sudah
cukup keras kepala seperti ayah.”
“Sudahlah, Diego
masih anak-anak. Aku pergi dulu.”
Tuan James lalu
melangkah pergi. Di depan seorang sopir dengan taksinya sudah menunggu.
Kemudian mobil itu melaju pergi. Melenggang diantara kendaraan lain di
tengah-tengah sibuknya kota saat pagi.
…
Wina dan mamanya sedang
berjalan-jalan di mall di pusat kota. Mereka hendak membeli pakaian bayi untuk
kemanakan Wina yang baru saja lahir kemarin malam.
“Ma, setelah ini
kita singgah dulu yak e toko depan taman?” kata Wina.
“Mau ngapain?”
“Aku mau beli
senar gitar.”
“Lho, memangnya
senar gitar yang lusa kamu beli kenapa?”
“Senarnya gak
bagus. Jadinya cepat putus.”
“Ya sudah tapi
jangan lama-lama ya.”
Wina mengangguk
tersenyum. Setelah mendapat pakaian yang cocok untuk kemenakan barunya itu,
Wina dan mamanya segera pergi ke toko yang disebutkan Wina tadi.
“Mama gak ikut
masuk?”
“Mama tunggu di
sini saja.”
Wina langsung
masuk ke toko itu. Sedangkan Sarah menunggu di dalam mobil. Sambil menunggu,
sekilas pikirannya teringat tentang cerita Silia kemarin. Ia kemudian
memperhatikan toko yang dimasuki Wina tadi. Apa yang menarik dari toko ini
sampai-sampai dia memandanginya setiap hari? Tanya Sarah tanpa suara. Karena
penasaran Sarah memutuskan untuk keluar dari mobil. Tapi, ketika tubuhnya
keluar, seseorang pejalan kaki menabraknya dari belakang.
“Maaf, Nyonya.
Saya tidak sengaja menabrak Anda.” Kata lelaki itu.
Sarah lalu
berbalik untuk melihat orang yang menabraknya. Tapi setelah melihat orang itu,
tiba-tiba dadanya merasa sangat sesak. Air matanya seketika mengalir membasahi
pipinya yang berkeriput.
“Kau?” kata
lelaki itu.
“Apa kabar,
James?” ucap Sarah lirih. Matanya yang berkaca-kaca berusaha menatap lelaki
yang sudah bertahun-tahun tidak pernah dilihatnya itu.
“Kau masih ingat
padaku?” Tanya Tuan James berbalik menatap Sarah.
“Tak ada yang
memintaku untuk melupakan semuanya.”
“Kau terdengar
konyol. Aku ini adalah orang yang telah segan meninggalkanmu hanya demi
kepentingan dan obsesiku.”
“Mungkin benar
kau adalah orang yang sesegan itu. Tapi kau tahu perasaan seorang perempuan?”
“Yang aku tahu
kau adalah wanita yang kuat. Seperti Wonder woman kubilang.”
“Tapi wonder
woman juga punya hati dan bisa terluka. Pernahkan kau membaca cerita akhirnya?”
“Aku tak suka
membaca cerita hero anak-anak seperti itu.”
Sarah sejenak
terdiam. ternyata saat pertama kali bertemu stelah sekian lama pun ia juga tak
bisa mengelak bahwa lelaki itu tak bisa aku kalahkan dalam debat seperti ini.
“Lia bilang kau
selalu berdiam diri di taman sambil menatap toko ini.”
“Ohya? Lia
memang tak bisa menjaga rahasiaku. Dan jika itu benar kau mau apa?”
“Aku hanya ingin
tahu sesuatu yang menarik dari toko itu.”
“Kau ada disini
sejak tadi, tapi kau juga tidak tahu apa yang berbeda dari benda yang terpajang
disana?”
“Bukan seperti
itu…”
“Lihatlah gitar
itu!”
Tuan James
menunjuk gitar berwarna putih itu. Terlihat sama seperti gitar lainnya, tapi
ketika Sarah mendekat dan menelitinya, barulah ia sadar.
“Senarnya?”
“Kau tahu Sarah?
Gitar itu gitar yang pernah kau hadiahkan padaku saat ulang tahu pernikahan
pertama kita.”
“Tapi senarnya?
Apa itu kau putuskan dan akhirnya menjualnya?”
“Salah satu
senarnya putus ketika aku sedang mengamen di emperan toko. Dan ketika aku
kehabisan uang untuk membiayai hidupku dan Rima, aku terpaksa menjualnya.”
Sarah menatap
Tuan James lekat-lekat. Dadanya terasa makin sesak setelah mendengar kalimat
itu. Bibirnya terasa kaku untuk melontarkan kalimat yang terbenam lama di
otaknya.
“Ohya, dengan
siapa kau disini?” Tanya Tuan James menoleh ke sekeliling Sarah.
Sebelum Sarah
sempat menjawab, Wina keluar dari dalam toko. Dengan membawa tas belanja toko
itu.
“Ma, siapa ini?”
“Mmm, ee, ini
Tuan James.”
“Halo tuan, Saya
Wina Collin.”
Tuan James
tampak kaku. Wajahnya seketika memucat dan matanya mengarah pada Wina.
Pikirannya seketika berkelebat hebat. Apakah ini anak bungsuku? Oh Tuhan..
“Tuan, are you
ok?”
“Eh, e, Of
course. Senang bisa bertemu dengan kamu, Nak.”
“Sama-sama pak.
Tapi saya dan Mama mau pulang dulu.”
“Yeah, taka pa.
lagipula saya juga akan pergi.”
“See you next
time, Tuan James.”
“Jaga saja
Mamamu. Jangan sampai ia salah memotong sayuran hingga jarinya terluka lagi.”
Wina hanya tersenyum. Sedangkan Sarah hanya diam dan mendengar pembicaraan Wina
dan Tuan James tadi. Mereka akhirnya memasuki mobil dan melaju pulang.
“Wina, kau tau
siapa Tuan James sebenarnya?”
“Ya tentu tidak,
Ma. Tadi baru pertama kali aku bertemu dengannya.”
“Tuan James itu
Ayahmu.”
Wina seketika
menginjak rem. Mobilnya berhenti di tengah keramaian kota saat itu.
…
“Halo Ega? Kau sedang dimana?” Silia
menyuarakan kekhawatirannya pada orang yang di seberang.
“Kak, tadi aku
tidak bisa menunggumu lebih lama karena Pak Bebe terus saja meneleponku. Jadi
aku pergi ke studionya dengan taksi.”
“Kau sudah di
studionya?”
“Sudah beberapa
menit yang lalu aku disini. Hanya untuk memastikan lagu yang akan aku
nyanyikan.”
“Oh, baiklah.
Jam berapa kau pulang?”
“Kenapa? Kakak
mau menjemputku? Ah, tidak perlu kak.
Ada orang yang berbaik hati untuk mengantarku pulang.”
“Siapa? Kau
jangan gampang percaya dengan kebaikan orang.”
“Hahaha… Aku
jadi teringat waktu aku kecil dan kau pasti selalu mengatakan seperti itu.”
“Aku tidak
sedang melucu, Ega. Biar ku jemput kau!”
“Tidak usah kak.
Sekarang aku sudah berada di mobil orang baik itu.”
“Kau sudah
pulang?”
“Ya, lima menit
lagi aku sampai di depan rumah.”
Silia tak
menjawab suara Ega. Hanya desah nafasnya yang terdengar. Kemudian kontak
terputus. Di lain pihak, Ega sedikit kaget.
“Aku rasa sampai
di rumah nanti, Silia pasti akan memarahiku.” Katanya pada sang pengemudi mobil
yang ditumpanginya. Sang pengemudi hanya tertawa. Wajahnya menyiratkan perasaan
tak sabaran yang terus mendobrak.
Ternyata Silia
sudah lebih dulu sampai di rumah. Wajahnya mulai cemas ketika tak melihat
tanda-tanda kedatangan adiknya. Ia lalu mencoba menelepon Ega lagi, tapi
sedetik itu pula sebuah mobil hitam mewah memasuki rumahnya. Ega ternyata
adalah orang yang berada dalam mobil itu. Ia turun terlebih dulu kemudian
disusul sang pengemudi yang memakai kemeja putih bergaris dan jas hitam itu.
“Halo, Nona
Silia Edwar.” Sapa lelaki yang tadi keluar dari mobilnya itu. Silia tampak
kaget dengan kedatangan lelaki klimis ini ke rumahnya dan yang paling
mencengangkan adalah lelaki itu tau siapa namanya. Silia lalu melirik Ega yang
hanya tersenyum melihat ekspresi kakaknya yang terheran-heran.
“Apa Ega terlalu
terkenal sampai kau tau siapa nama kakaknya?”
“Hhaha… Ega
mungkin sudah mulai terkenal, tapi itu bukanlah jawaban atas keheranmu, Nona.”
“Lalu? Darimana
kau tau namaku? Dan kenapa kau terlalu baik terhadap Ega sampai-sampai kau
mengantarnya pulang?”
“Nona Lia, apa
kau tidak mengingatku?” lelaki itu mengeluarkan sebuah amplop lusuh dari dalam
kantong kemejanya. Amplop itu mungkin sudah berusia lama dan penutupnya pun
masih rapat menempel.
“Silahkan
bukalah amplop ini maka kau akan tau siapa aku..” lelaki itu lalu menyerahkan
amplop itu kepada Silia. Dengan pandangan heran dan sedikit curiga, Silia
menerima amplop itu dan membukanya.
“Bukankah ini
fotoku sewaktu SMP? Darimana kau mendapatkannya?”
“Coba lihat
tulisan yang ada di balik foto itu.”
Silia lalu
membalik foto-foto itu. Setiap foto itu tertulis sebuah kalimat yang
menjelaskan tentang foto itu. Dan kalimat pada setiap foto kurang lebih seperti
ini:
Foto pertama,
“Kamu terlihat sangat cantik ketika rambut hitam
pendekmu itu terurai lembut.”
Foto kedua,
“Ini adalah alasan kenapa aku suka memperhatikanmu,
senyum yang manis itu.”
Foto ketiga,
“Ini adalah pertama kali aku memberanikan diri
meminta berfoto berdua denganmu. Tapi kurasa ini juga yang terakhir karena kita
berada dalam acara perpisahan sekolah waktu itu.”
Foto terakhir,
“Saat pertama kamu mendatangiku dan mengatakan bahwa
kamu akan pergi jauh untuk beberapa waktu, aku membuatkan sebuah hadiah
untukmu. Foto ini akan menjelaskan hadiah yang akan kuberikan padamu saat kamu
kembali nanti.”
Silia bergeming. Tubuhnya seketika
terasa membeku setelah mengetahui foto-foto itu. Foto yang menjelaskan siapa
lelaki yang sedang berdiri di depannya kini. Juga mengingatkannya pada angan
semasa kecilnya.
“Kau?” ucap
Silia tersendat.
“Kau sudah
mengingatku?” lelaki itu balik bertanya.
“Apakah kau
William?”
Lelaki itu hanya
tersenyum memandangi wajah Silia yang mulai memerah. Alangkah senangnya ia
ketika Silia mengingatnya.
“Ah, aku tak
percaya kau adalah William, yang ku tahu Willi itu tak serapi kau, Tuan. Dulu sewaktu
SMP setiap hari kulihat ia selalu memakai seragam yang belum disetrika, rambut
yang tak tersisir dan sampai di kelas selalu terlambat sampai ia dimarahi wali
kelas.”
“Hahaha… Willi
yang sekarang memang jauh berbeda dari yang kau kenal dulu. Kau tau, Lia?
Setelah pertemuan terakhir kita itu, aku mulai sadar, bahwa kau mungkin tidak
akan pernah menyukaiku jika aku tetap seperti anak yang setiap pergi ke sekolah
dikejar anjing tetangga hingga berantakan. Willi yang sekarang adalah siapa
yang kau lihat di depanmu.”
Silia kembali
terdiam. Dilihatnya lelaki yang mengaku teman sekelasnya sewaktu SMP itu dengan
teliti. Dari ujung sepatu yang terlihat berkilau, pakaian yang tanpa mengkerut
sedikitpun, wajah yang terlihat cerah dan rambut klimis terpotong dan tersisir
rapi.
“Kau terlihat
berbeda sekali dengan Willi yang ku kenal.”
“Kau masih tidak
mempercayaiku sebagai William? Baiklah, aku akan menunjukkan sesuatu padamu.”
Lelaki itu kembali mengeluarkan sebuah kertas yang juga tampak lusuh dari
kantong kemejanya.
“Kau ingat
kertas ini? Coba bacalah surat itu.”
Silia lalu
membukanya. Tulisan yang ada dalam surat itu seperti tulisannya. Kata-katanya
pun tidak asing baginya.
“Itu adalah
surat permintaan maafmu kepadaku karena kau telah membuatku masuk rumah sakit
untuk pertama kalinya. Kau ingat? Kau pernah melemparku dengan batu hingga
mengenai kepalaku. Padahal waktu itu, bukan aku yang mencuri diarymu.”
“Kau tau
peristiwa itu?”
“Tentu saja aku
tahu, Lia. Aku yang menjadi korbanmu waktu itu. Kau lupa?”
“Jadi kau benar
William teman SMPku?”
“Buat apa aku
berpura-pura dan mengaku sebagai teman SMP yang mungkin paling kau benci dulu?”
Silia tersenyum. Matanya mulai berbinar, ingin menangis tapi itu tak mungkin. Karena jika benar, lelaki teman kecilnya itu pasti meledek atau paling tidak menertawainya.
Silia tersenyum. Matanya mulai berbinar, ingin menangis tapi itu tak mungkin. Karena jika benar, lelaki teman kecilnya itu pasti meledek atau paling tidak menertawainya.
“Jika kau ingin
menangis karena terharu melihatku menjadi pangeran William sekarang, maka
menangislah di pelukkanku..”
Tanpa berpikir
lagi, Silia menghamburkan tubuhnya pada lelaki itu. Tubuhnya yang kekar dan
terasa hangat itu seketika menenangkan hatinya.
“Coba dari dulu
aku seperti sekarang, pasti kau sudah menjadi pacarku kan?”
“Haha.. satu
yang tak berubah darimu, kau selalu percaya terhadap statement dirimu.”
….
Rima sedang membereskan ruang
tamunya yang berantakan akibat ulah Diego yang menghamburkan mainannya
kemana-mana. Untung saja sekarang ia sudah tertidur jadi Rima bisa lebih
leluasa memunguti mainan-mainan itu. Ketika ia hendak pergi ke dapur, tiba-tiba
bel rumah berbunyi. Ia cepat-cepat menuju pintu dan membukanya.
“Selamat siang
Nyonya.” Kata sang tamu ramah.
“Selamat siang
juga, maaf Anda siapa?” Tanya Rima sembari membalas senyuman sang tamu.
“Saya Wina, kedatangan
saya kesini adalah untuk menemui Tuan James.” Kata Wina tetap tersenyum.
“Sudah membuat
janji sebelumnya? Karena sekarang Tuah James sedang tidak berada di rumah.”
“Oh, kalau boleh
saya tahu, Nyonya ini siapa?”
“Saya anak Tuan
James. Panggil saja saya Rima.”
“Mmm… apa boleh
saya bertemu Ibu Nyonya?”
“Maaf Nona,
kenapa anda menanyakan hal seperti itu?”
“Apa Ibu nyonya
bernama Sarah Lee?”
“Bagaimana anda
tahu nama Ibuku?”
Wina hanya
tersenyum lalu tiba-tiba memeluk Rima yang tampak kaget. Air mata Wina mengalir
deras. Perasaan sedih bercambur senang tak bisa ia tahan.
“Kak, aku Wina
Antonio Lian. Adik bungsumu.”
Rima seketika
melepas pelukkanya. Menatap Wina yang berurai air mata. Aku punya adik?
Pikirnya dalam hati. Selama ini, yang ia tahu bahwa ia tak mungkin punya
saudara karena ayah dan ibunya sudah berpisah lama, sewaktu ia masih berusia 8
tahun.
“Ibuku memang
bernama Sarah Lee, tapi ia dan Tuan James ayahku sudah berpisah lama. Jadi
tidak mungkin aku mempunyai saudara.”
Sedetik suasana
menyepi, terdengar suara dari arah lain. Ternyata Sarah telah menyaksikan dan
mendengarkan percakapan mereka.
“Rima.” Kata
Sarah lirih.
Rima tampak
kaget. Wanita paruhbaya yang berhadapan dengannya ini adalah orang yang mungkin
sangat dirindukan oleh hati kecilnya. Ia menatap Sarah lekat-lekat. Memandangi
inci demi inci raut wajah yang mulai mengkerut itu. Jantungnya mulai berdebar
ketika berjalan mendekati wanita yang sampai saat ini masih suka memakai
pakaian warna gelap itu.
“Mama, apa kau
benar Ibuku?”
“Tentu saja jika
kau masih menganggapku sebagai yang melahirkanmu.”
Rima seketika
memeluk Sarah erat. Seerat ikatan bathin yang membuatnya selalu merindukan
sosok seperti ini dalam hidupnya.
“Rima, kau perlu
tahu satu hal. Kau punya seorang adik.”
“Jadi, gadis ini
benar adikku?” Rima terkesiap mendengarnya. Ditatapnya Wina dengan lekat kemudian
ia memeluknya.
Pertemuan ia
menjadi peristiwa yang sama sekali tak pernah dibayangkan Wina sejak dulu. Yang
ia ketahui hanya ia tidak lagi punya keluarga yang lengkap. Punya Ayah dan
saudara yang mirip dengannya. Betapa bahagianya hati Wina ketika mengetahui
bahwa ia juga mempunyai keponakan dan kakak ipar. Yang ia kira selama ini
bahwa, di dunia ini ia hanya hidup berdua bersama Sarah.
Ketika pertemuan itu memecahkan
kesunyian rumah itu dan mempertemukan cerita-cerita di antara dua yang telah
berpisah lama dan jauh, maka ketika itu pula sang sosok yang menjadi peran
utama datang. Tuan James membuka pintu rumahnya sambil heran melihat mobil yang
sedang terparkir di halaman rumahnya itu. Kemudian segera ia berteriak
memanggil Diego yang masih tertidur dalam lelapnya mimpi kecilnya. Karena tanpa
ada jawaban, Tuan James menuju ruang tamu dan disanalah terjadi kembali
pertemuan klimaks yang sekali lagi tak dapat disembunyikan kerinduannya.
“Ayah.” Ucap
Wina tiba-tiba. Kakinya mulai menyongsong tubuhnya menuju tempat berdiri lelaki
tua yang termat dirindukan itu. pertama kali dipertemukan dan pertama kali juga
Wina punya kesempatan untuk memeluk lelaki yang diciptakan sebagai ayahnya ini.
Sementara Tuan James terkaku, menatap sejenak orang yang berada di belakang
Wina yang beridiri meneteskan keharuan kemudian menatap gadis yang sedang
merangkulnya erat.
“Ayah, kenapa
ayah pergi? Apa ayah tidak tahu jika aku akan lahir? Apa ayah tahu bahwa selama
belasan tahun ini aku menggangap aku tidak mempunyai ayah lagi? Dan apa kau
juga tahu bahwa aku selalu merindukan hari ini?”
Tuan James
terdiam. Hatinya mulai terasa sakit lagi mendengar panggilan itu. Matanya mulai
berair. Seketika ia mengelus rambut dan wajah gadis yang berada di depannya
itu.
“Kau Anakku? Aku
kira kau bukan anakku karena kupikir kau tak akan pernah mengetahui dan
mengakuinya.”
“Ayah, yang aku
tahu selama ini bahwa kau sudah tiada. Tapi sebenarnya nuraniku tak pernah
mempercayainya. Oleh sebab itu aku selalu memohon agar Kau dikembalikan.”
“Sudahlah, Nak.
Kau sudah punya seorang wanita tangguh yang merawatmu sampai kau sedewasa ini.
Jadi untuk apa kau membutuhkanku?”
“Tidak, Ayah.
Aku mungkin bisa menjadi dewasa seperti ini hanya bersama Mama. Tapi Mama
sangat membutuhkanmu. Yang juga aku tahu dan aku pendam selama ini bahwa Mama
selalu memikirkanmu, menangis dan seringkali kulihat membuka lembaran surat
yang aku tak pernah tahu isinya.”
“Tapi, Nak…”
kalimat Tuan James terhenti ketika Sarah mendekati posisinya. Wajahnya yang
terlihat sayu menjelaskan betapa lelah hatinya.
“James, memang
ang dikatakan Wina benar. Kau tahu? Setiap malam selama beberapa tahu
belakangan ini, aku merindukanmu. Aku juga terkadang merasa takut jika suatu
saat nanti Wina akan menanyakan dimana dirimu. Dan ketika itulah aku sadar
bahwa kita tidak bisa selamanya seperti ini.”
“Tapi Sarah,
selama ini aku sudah menelantarkanmu demi hal yang menguntungkan diriku
sendiri. Jadi untuk apa aku kembali ke dalam hidupmu? Itu hanya akan menambah
sakit hatimu.”
“James! Sewaktu
lalu aku telah merelakan kau pergi mengejar mimpimu dengan meninggalkanku dan
Wina. Dan sekarang tidakkah kau merasa bersalah dan ingin menebusnya dengan
cara kembali berkumpul seperti keluarga lengkap lainnya?”
Tuan James
seketika memeluk sarah yang tak berhenti menangis. Jantungnya berdebar keras
hingga tak dapat ia tahan. Perasaan cinta dan kerinduannya telah mengalahkan
segala bentuk pertahanan hatinya. Hatinya mulai luluh dan membiarkan dirinya
tenggelam dalam rahasia ilham yang tak dapat ia tebak.
….
When I heard
you near of me,
I run
quickly,
Cause I’m
afraid you go away,
From my
heart,
Ohh, you’re
my soul….
Sekali lagi riuh tepuk tangan
penonton menggema dalam ruangan tersebut. Terpesona dan terbuai dengan alunan
nada yang dilantunkan Wina dan Ega. Lagu tersebut mengiringi konser akbar malam
itu dengan sempurna. Sesempurna anugrah yang telah mereka terima sekarang.
“Aku sangat
bahagia hari ini.”
“Kapan kau tidak
pernah bahagia dan terus menerus tersenyum jika berada di sampingku, Wina?” Ega
terkekeh. Sementara wajah Wina merona merah.
“Benar kan? Kau
tak bisa berbohong padaku, Win.”
Wina tak
menyahut. Dirinya terlalu nervous
untuk menjawab pertanyaan konyol itu. Tapi tadi, tiba-tiba saja jantungnya
berdebar lebih kencang. Kalau bahasa gaul sekarang, Wina dikategorikan sedang
berada dalam kondisi Salting alias Salah Tingkah. Cepat-cepat ia mengalihkan
pandangannya pada meja hias. Sekadar melihat penampilan dan make-upnya jikalau
ada yang kurang.
“Kau terlalu
banyak mengoleskan blush-on di pipimu. Terlalu merah dan terlalu jujur.”
“Ha? Aku rasa
blush-on milikku sudah hampir habis jadi aku tak bisa menggunakannya terlalu
banyak seperti menurutmu.”
“Tapi lihatlah,
pipimu merona seperti mawar..” Ega mengelus pipi Wina lembut. Jantungnya
ikut-ikutan berdetak kencang. Melaju mendorong sebuah hasrat yang tak bisa
dibantah dan ditahan lagi.
“Kau tau, Win?
Selama ini aku menganggapmu bukan sebagai sahabat.”
“Maksudmu apa?”
“Maksudku adalah
selama ini, aku menyimpan sebuah rahasia besar yang sejak kecil aku pendam
sendiri. Karena aku takut, kau tak bisa membalasnya.”
Wina
mengernyitkan dahinya. Bertanda bahwa ia sama sekali tak mengerti dengan
kalimat yang dilontarkan Ega barusan.
“Tapi sekarang,
aku rasa ini waktu yang tepat membongkarnya. Seperti juga lagu yang kita
nyanyikan tadi, aku tidak ingin kau pergi.”
“Ayolah Ega,
jangan membuatku semakin bingung.”
Ega terdiam.
lalu menarik napas panjang dan perlahan menghembuskannya. Berusaha mengumpulkan
energy dan keberanian untuk mengungkap rahasinya hari ini.
“Wina, selama
ini, kebersamaan kita, waktu-waktu ayng telah kau dan aku lewatkan, dari
semenjak pertama kali aku mengenalmu. Itu telah membuatku menjatuhkan hatiku
padamu. Mmm.. dengan kata lain, aku, mencintaimu, Win.”
Suasana ruangan
yang terletak di belakang panggung itu menjadi senyap. Terlalu senyap karena
disana hanya ada mereka berdua. Bahkan cicak yang biasanya muncul di setiap
dinding pun tidak terlihat. Hanya lampu-lampu, hanya meja, kursi dan cermin
yang menjadi saksi biksu kejadian yang melibatkan dua hati ini. Tak lama,
terdengar suara napas Wina yang kemudian memecahkan keheningan tersebut.
“Jika kau sudah
jujur padaku kali ini tentang perasaanmu. Aku juga akan melakukannya dan
mengatakan perasaanku.” Beberapa detik keheningan kembali menyeruak. Tapi Wina
segera melanjutkan kalimatnya lagi.
“Bahwa aku tidak
bisa menerimanya.”
Ega seketika
murung. Mimik wajahnya seratus delapan puluh derajat berubah. Hatinya terasa
hancur seperti belahan kepingan botol.
“Well, never
mind! Setidaknya aku telah mengatakan perasaanku.”
“Ega, kau tidak
mengerti! Aku belum menyelesaikan kalimatku. Aku memang tidak bisa terima jika
kau hanya mengatakan bahwa kau mencintaiku, aku ingin kau menanyakan apakah aku
bersedia menjadi milikmu atau tidak, hanya itu.”
“Kau serius?”
Wina
menganggukkan kepalanya seraya tersenyum malu menatap Ega yang kemudian
menekukkan salah satu kakinya, berlutut di hadapan Wina.
“Wina, would you
like to be mine?”
Sekali lagi
jantung Wina bertedak semakin kencang. Wajahnya semakin merona disertai
anggukan yang menyatakan penerimaan atas pertanyaan Ega.
“Really?”
“Jika aku
berbohong, maka nanti hidungku akan bertambah panjang seperti pinokio.”
Ega tertawa,
mengelus rambut Wina dan memeluknya erat. Erat sekali seperti hubungan mereka
yang akhirnya menjadi sepasang kekasih.
Tiba-tiba hanphone Ega bordering.
Telepon dari Silia.
“Halo? Ega,
dimana kau? Sudah sejam aku menunggumu disini!”
“Maaf, aku lupa
bahwa harus menjemputmu. Tapi sekarang aku akan menuju tempatmu.”
Ega menutup
teleponnya. Dengan terburu-buru ia mengambil tas dan jaketnya. Sementara Wina
bingung melihatnya.
“Mau kemana
buru-buru?”
“Aku lupa harus
menjemput Kak Lia. Ia baru saja selesai fitting gaun pernikahannya.”
“Kak Lia akan
menikah? Dengan siapa?”
“Jika aku
ceritakan sekarang, pasti membutuhkan banyak waktu dan membuat Silia akan
memusuhiku.” Ega lantas menarik tangan Wina. Mengajaknya menuju mobil dan
melaju menuju butik tempat Silia berada.
“Jadi, pria ini
calon suami Kak Lia?” Tanya Wina sedikit kaget ketika lelaki yang sempat
membuat kesal dan diomelinya ini berada di hadapannya.
“Perkenalkan,
aku William. Dan jika aku boleh tau, bagaimana perasaanmu setelah merasakan
permen coklat itu?” William tersenyum.
“Mm, e, permen
coklat itu, cukup enak. Seperti yang kau katakan.”
“Jadi kalian
sudah pernah bertemu?” Silia menengahi.
“Ketika aku dan
karyawanku mempromosikan coklat di jalan, aku bertemu dengan gadis ini dengan
ban mbilnya yang pecah dan kupikir ia sedang kesal. Jadi kuberikan permen
coklat kepadanya untuk sedikit mengurangi rasa kesalnya.” Papar William.
Wina menundukan
kepalanya, malu dengan kejadian itu.
“Hahaha.. kau
tak usah malu, Wina. Aku tidak dendam padamu karena kau telah mengusirku.”
“Tapi, kau mau
coklat itu lagi Wina?” Tanya Silia merayu sambil mengeluarkan sebungkus permen
coklat dari tasnya.
“Aku tau kau
sangat menyukai coklat sama seperti Ega. Dan aku pikir, sekarang kau pulang
saja bersama Ega, karena ada beberapa hal yang aku lupakan tadi.”
Wina tersenyum
sumringgah. Diterimanya bungkusan coklat itu seperti anak kecil yang malu-malu
menerima pemberian orang lain. Sedangkan Ega tertawa terbahak melihat tingkah
Wina. Ega lantas menggandeng Wina. Berjalan menuju mobilnya, melaju dengan
kecepatan standard dan berhenti kembali pada sebuah tempat yang sering
dikunjungi dua insane ini sewaktu kecil.
….
Hal-hal yang semua menjadi terahasia
untuk Wina kini menjadi sesuatu yang menakjubkan baginya. Selain mengetahui
sosok ayah kandung yang dari lahir tak pernah dilihatnya, mempunyai seorang
saudara perempuan dan keponakan yang teramat lucu. Bahwa ternyata ia juga punya
sahabat dekat yang mencintainya.
Kemarin saja, Mamanya, Sarah telah
menceritakan sebuah rahasia yang selama ini dikubur dalam-dalam. Bahwa ternyata
Tuan James dan Sarah terpisah karena ketidaksukaan ayah Sarah terhadap Tuan
James. Suatu sebab kecil yang memunculkan kemarahan yang tak tebantahkan. Bahwa
Tuan James hanya tidak bisa bermusik. Ia lebih senang menjadi pengusaha
daripada menjadi seniman. Tetapi, karena cintanya kepada istrinya yang sejak
itu baru melahirkan, maka Tuan James akhirnya mengikuti kemauan mertuanya. Ia
berusaha mempelajari music, berusaha menjadi seniman yang professional dan
tetap bertahan sampai beberapa tahun kemudian, tepat ketika Rima berusia 8
tahun, Tuan James mulai mengikuti kata hatinya dan menentang apa yang
dijalaninya waktu itu. Ketika itulah semua berawal, ketidaksukaan orang tua
sarah kepada Tuan James kembali muncul. Karena tak mampu lagi menahan segala
kejenuhannya, Tuan James pergi. Angkat kaki dari rumah yang menjadi peraduan
keluarga kecilnya dan meninggalkan Sarah dan Rima.
“James, tidakkah
kau memintaku untuk ikut?” Tanya Sarah lirih.
“Tidak, Sarah! Disini adalah
rumahmu. Jikapun kau bersamaku, apa yang akan dipaksakan lagi kepadaku? Apa aku
akan disuruh menubur mimpiku lagi? Maaf Sarah.”
Tuan James
mengambil tasnya, hendak menuju keluar rumah. Tapi Sarah tiba-tiba mendekat dan
merangkulnya.
“James,
ketahuilah bahwa semuanya tak seperti yang kau bayangkan. Aku bisa saja
membujuk ibu agar tidak memaksamu lagi dan kau bisa merintis usahamu.”
“Aku bisa
menerima tawaranmu, mungkin. Tapi keputusanku sudah bulat! Aku harus pergi
dari rumah ini.”
Air mata Sarah
mengalir semakin deras. Ia tak bisa membantah lagi keputusan suaminya itu. Tuan
James terlalu gigih untuk hal-hal seperti ini.
“James, jika kau
ingin pergi, maka pergilah. Tapi aku ingin memberitahu kepadamu bahwa Rima akan
punya seorang adik, hanya itu.”
“Baguslah. Rima
pasi tidak akan merasa kesepian jika punya saudara. Dan ia pasti bisa menjadi
dewasa tanpa seorang ayah sepertiku.”
Tuan James
menuju pintu. Tapi sebelum mencapai daun pintu, terdengar suara Rima yang
terbangun akibat suara-suara kedua orang tuanya.
“Ayah mau
kemana?”
“Ayah mau pergi.
Kamu diam saja di rumah bersama Mamamu.”
“Pergi? Kemana?
Ayah tidak mengajakku?”
“Tidak Rima,
tinggal saja bersama Mamamu.”
Tuan James
beranjak pergi. Dengan berat hati dan perasaan bersalah yang teramat besar, ia
meninggalkan Sarah dan Rima, juga anak bungsunya yang berada dalam kandungan
Sarah.
“Ayah,
tunggu!!!” Rima berlari mengejar ayahnya.
“Aku ingin ikut
ayah, kemana pun ayah pergi!”
“Tapi, Mamamu
akan kesepian di rumah.”
“Mama yang
menyuruhku untuk ikut bersamamu, Yah. Dan ia memberikan ini pada Ayah.”
Rima menyodorkan
sebuah gitar pada Ayahnya. Dalam gitar itu terdapat secarik kertas. Rangkaian
kalimat tertulis rapi disana, “Sebenarnya
gitar ini adalah hadiahku untuk hari ulang tahunmu besok. Tapi, kau memutuskan
untuk pergi, jadi aku minta Rima untuk bersamamu dan memberikan gitar ini. Juga
agar Rima bisa menjaga dirimu, memberitahumu bahwa sikap batumu menjadikanmu
sedikit egois. Semoga mimpimu terwujud!”
….
“Halo, Win, kau dimana?” Tanya Sarah
dari seberang telepon.
“Aku masih di
rumah, Ma. Ega belum datang.” Balasnya seraya memastikan penampilannya pada
cermin.
“Baiklah. Tapi
segeralah kesini. Acara akan segera dimulai.”
“Weel, Bye mom.”
Wina menutup teleponnya. Mengambil tasnya dan bergegas keluar. Tak lama,
sekitar lima menit Ega datang, tapi tak sendirian. Ada Diego di dalam mobilnya
yang kemudian melambaikan tangan pada Wina.
“Diego?”
“Yah, tadi dia
mengetahui bahwa aku akan naik mobil untuk menjemputmu. Lalu merengek untuk
ikut.”
“Bukankah disana
ada Kak Rima?”
“Dia sedang
sibuk membantu Kak Lia berias.”
“Ok, lebih baik
kita segera pergi saja.”
Ega mengiyakan
perintah Wina. Mobilnya melaju di tengah kelap-kelip kota. Sedangkan di dalam
mobil, Diego sibuk mengobrak-abrik robot mainan yang dibawanya sedari tadi.
Sepertinya ia sedang mencari sesuatu pada robot itu. Tapi karena tidak juga
menemukannya, Diego kesal dan melempar mainannya.
“Diego? Kamu
kenapa?” Tanya Wina menoleh ke belakang.
Diego tak
menjawab. Hanya menggelengkan kepalanya dengan ekspresi duck face.
Wina pun ikut
terdiam. sejenak saling berpandangan dengan Ega.
“Mmm…. Diego mau
eskrim?” Tanya Wina.
Lagi-lagi Diego
geleng-geleng kepala.
“Atau mau eskrim
sama pizza?”
Diego tak
bersuara juga tidak geleng-geleng kepala atau menganggukan kepalanya. Kemudian
Ega menepikan mobilnya di sebuah café kecil. Wina akhirnya keluar lebih dahulu
dari mobil dan membukan pintu belakang mobil.
“Diego, kakak
mau beli eskrim sama pizza rasa sosis nih. Mau ikut gak?” Tanya Wina berusaha
membujuk Diego. Sedetik tak ada respon dari Diego, tapi akhinya Diego tak tahan
dan segera keluar dari mobil dan berlari menuju tempat pemesanan di café itu.
Sementara Wina
dan Ega kembali saling berpandangan, menahan rasa geli mereka melihat tingkah
lucu Diego.
Acara resepsi pernikahan Silia dan
William sedang berlangsung. Para tamu dimanjankan dengan aneka sajian lezat
yang bernuansa coklat. Sedang Silia dan William bercengkrama dengan
saudara-saudara mereka. Acara malam itu berlangsung amat ramai. Tak sedikit
para tamu yang mengajak anak-anak mereka sehingga tak heran Diego begitu
bersemangat, berlari-lari, mengejar dan bersembunyi dari intaian
teman-temannya.
Dari balik
panggung, Diego melihat teman-temannya kebingungan mencarinya. Kemudian ia
melirik ke alat-alat sound system yang luput pengawasan karena yang bertanggung
jawab sedang mengantre mengambil makanan. Diego mendekati alat-alat itu dan
sebuah Compact disk kecil dikeluarkannya dari saku bajunya. Beberapa lama Diego
tampakberpikir tentang cara kerja alat yang sering Ayahnya gunakan ini.
Kemudian ia teringat bagaimana kakeknya mengajarinya memasukkan Compact disk
tersebut ketika ia baru saja membeli film cartoon terbaru kesukaanya. Setelah
berhasil Diego kembali berpikir dan tiba-tiba terdengar suara seperti suara
tembakan dan langkah kaki serdadu perang. Seketika semua tamu kaget dan spontan
menunduk, memegangi kepala mereka masing-masing. Tapi, ketika Diego keluar dari
tempat persembunyiannya, sontak Wina sadar dan tertawa.
“Sepertinya
Diego punya bakat seni kak!” katanya sambil melanjutkan tertawaanya. Rima yang
awalnya berpikir akan memarahi anaknya itu ikut tertawa. Kemudian para tamu tak
terkecuali para panitia sound system yang mengira peralatanya macet ikut
terbahak melihat ekspresi Diego yang terlihat canggung di atas panggung.
“Seperti halnya senar gitar, hidup adalah sebuah hal yang sederhana tetapi memiliki sebuah rahasia indah yang mampu melamunkan manusia pada Sang Maha Keagungan.”
-The End-
Komentar
Posting Komentar