Cerpen_SENAR GITAR


SENAR GITAR


There’s something in my heart,
But I don’t know what it is,
It’s very curious,
And make me very nervous,
If I be your side …

                Ayunan tangan Ega berhenti ketika riuh tepuk tangan pengunjung memenuhi ruangan itu. Begitu pula dengan Wina. Setelah mengucapkan terimakasih kepada penonton, mereka lalu kembali ke belakang panggung seraya mengusap dada.
“Kamu tau, Win? Aku tak menyangka sama sekali bisa berada di atas panggung itu.”
“Ohya? Aku juga.”
“Juga? Bukankah kamu Ratu panggung ini?”
“Maksudku bukan tentang panggung ini. Tapi bernyanyi bersamamu. Kurasa tidak ada yang lebih menyenangkan dibandingkan berkolaborasi dengan pemenang audisi internasional sepertimu.”
“Sanjunganmu aku terima. Tapi aku bukan apa-apa dibanding kamu.”
“Ayolah, Ega. Kau tak perlu merendah seperti itu. Aku tau betul siapa kamu.”
“Kamu ini memang masih Wina yang aku kenal sejak beberapa tahun silam.”
“Aku tidak akan berubah selama aku masih punya sahabat sepertimu.”
“Ohya, mau makan siang, Win?”


            Ia memandangi toko itu sudah sejak sejam tadi. Tapi ia tidak juga lelah berpangku tangan atau terkadang bersandar pada bangku taman di seberang toko itu. perasaannya seperti sedang melayang jauh. Menyusuri episode-episode silam yang menyertakan dirinya sebagai pemeran yang tak sanggup bertahan dalam kepura-puraan itu. Lalu ia seketika menghilang seperti kabut. Dengan meninggalkan sesuatu yang paling berharga dalam hidupnya.
“Tuan James? Kau kah itu?”
“Benar, aku James. Tapi siapa kau?”
“Kau lupa padaku? Aku Lia, Silia Edwar.”
“Silia? Oh ya, aku ingat sekarang. Apa kabarmu, Nak?”
“Aku? Di hari-hari sebelumnya aku pasti akan menjawab aku baik-baik saja. Tapi untuk hari ini kurasa tidak.”
“Kau masih saja gelisah memikirkan studiomu ya?”
“Bukan itu. Tapi tentang adikku. Dia terlalu cepat untuk memahami kerasnya dunia hiburan.”
“Bukankah dia anak yang dulu sering kau ajak ke studio itu?”
“Ya, sekarang ia sudah remaja. Yang artinya aku akan lebih sering menasehatinya.”
“Kau juga sepantasnya patut dinasehati.”
“Atas apa?”
“Atas dirimu yang tak kunjung menikah.”
“Haha, Tuan bisa saja. Soal menikah, aku sudah serahkan itu pada sang Pencipta.”
“Kenapa? Kau takut dihianati lagi?”
“Mungkin begitu. Tapi aku hanya sedang ingin sendiri dan focus dengan adikku.”
“Sendiri sampai adikmu itu tumbuh dewasa dan melangkahimu?”
“Sudahlah, Tuan. Ohya, kenapa kau duduk disini berlama-lama?”
“Aku hanya tertarik pada benda di seberang, di dalam toko itu.”
“Benda?”
“Kau mungkin sudah tau. Jadi aku tidak perlu menjelaskannya kembali.”
“Oh, kau masih ingat ternyata. Kukira Tuan James yang kukenal periang ini sudah melupakan hal itu.”
“Dulu kukira juga begitu. Tapi tidak. Semua itu seperti bekas ratusan jaritan di tubuhku.”
“Sudahlah, jalani saja apa yang Tuan inginkan sekarang. Ku tahu Tuan sudah mencapai kesuksesan yang sebenarnya Tuan inginkan sejak dulu. Jadi nikmati saja bersama cucu-cucumu.”
“Kau mau kemana?”
“Aku akan pergi membeli beberapa kebutuhan rumah yang habis lalu menjemput adikku.”
“Kau tidak biarkan ia mengendarai kendaraan sendiri?”
Silia hanya menggeleng dan tersenyum. Sedangkan Tuan James masih setia pada posisinya, memandangi toko dengan hiasan not lagu pada pembatas kacanya.
“Sebanarnya bukan hal yang sulit melupakan kepedihan itu, tapi apa yang aku tinggalkan disana itulah yang membuat jaritan luka tak mau kering.” Kata Tuan James dalam hati.


            Tiba-tiba Wina merasa ada yang aneh pada mobilnya. Setelah ia meminggirkan kendaraanya dan keluar memeriksanya, ternyata ban mobilnya bocor.
“Sial!” umpatnya kesal. Padahal Wina akan menghadiri pesta ulang tahun sahabatnya. Kemudian ia mengeluarkan handphonenya dan menelepon seseorang.
“Permisi, ingin beberapa permen coklat, Nona?” seorang lelaki sebaya mendekati Wina sambil membawa setoples permen coklat di tangannya.
“Tidak, terimakasih.”
“Perusahaan kami sedang mengadakan promosi terhadap produk terbaru. Jadi untuk hari ini dan besok, kami memberikan permen coklat yang lezat ini secara cuma-cuma.”
“Terimakasih, Tuan. Tapi saat ini saya sedang tidak berselera untuk memakan apapun.”
“Nona terlihat agak kesal saat ini..”
Wina memasukkan handphonenya kembali ke tas. Ia mulai tidak nyaman dengan keadaan salesman ini. Bisa-bisanya ia sembarangan menuduhku kesal. Sebenarnya lelaki itu salesman atau psikolog keliling?
“Maaf Tuan. Tentang bagaimana keadaan emosi saya saat ini adalah privasi saya. Jadi saya mohon Anda tidak sembarangan dan bersikap lancang seperti itu.”
“Ibuku berkata jika kau sedang merasa marah atau kesal, coba kunyahlah sedikit coklat dan nikmati rasa manisnya. Maka seiring coklat itu habis, perasaanmu pasti akan kembali normal dan ringan.”
“Ibuku tidak pernah mengatakan hal seperti itu. Jadi sekali lagi saya mohon dengan sangat hormat, Anda silahkan mencari orang-orang lain untuk diberikan permen Anda.”
Lelaki pembawa permen itu diam sejenak. Ia mulai sadar bahwa perempuan di hadapannya itu tidak suka dengan kedatangannya. Jadi ia berinisitif untuk pergi dan menawari orang-orang lain.
“Nona, Ibuku adalah pembuat cemilan coklat paling hebat dalam kehidupanku. Jadi tolong percayalah. Dan semoga harimu menyenangkan.”
            Setelah lelaki itu pergi dan tidak terlihat lagi. Wina mencoba kembali menghubungi kontak yang kemungkinan bisa datang kesini untuk menolongnya. Sebenarnya Wina bisa saja menghentikan taksi disini. Tapi ia tak bisa meninggalkan mobil kesayangannya di tengah jalan seperti ini. Jika sampai mobil itu lecet sedikit saja, maka Wina akan segera membawanya ke bengkel langganannya saat itu juga.
            Beberapa jam berlalu, Wina mulai merasa bosan. Kontak yang dihubunginya tak satupun dapat membantunya saat ini. Ia mulai lemas dan akhirnya memutuskan untuk memberitahu bahwa ia tidak bisa datang ke pesta ulang tahun sahabatnya itu. Ketika Wina masuk ke dalam mobilnya, ia menemukan sebuah bungkusan lucu. Wina nampak heran dan segera membuka bungkusan itu. Sebuah bungkusan permen. Ada tiga butir permen coklat didalamnya. Seketika Wina teringat salesman yang sempat membuatnya hampir naik darah itu. Tentang ucapannya tentang ibunya, coklat dan emosi. Wina akhirnya mengikutinya. Permen coklat itu mulai dikunyahnya perlahan. Meskipun giginya terasa agak lengket, tapi entah kenapa bibirnya terus tertarik untuk menikmati lebih lanjut permen coklat itu.


            Ega hendak mengatakan bahwa ia ingin mengendarai mobilnya sendiri kepada kakaknya saat lampu merah menghentikan lajunya yang kencang itu. Tapi Ega merasa sangat segan dan sedikit takut kalau-kalau Kakaknya itu tidak menyetujui dan malah berbalik memarahinya. Akibat yang lebih fatal pun akan terjadi jika Ega melawan perkataannya.
“Kenapa kau diam saja?” Tanya Silia melajukan mobilnya kembali.
“Tidak. Aku hanya sangat merasa lelah.”
“Lelah? Bukankah menyanyi itu hobimu?”
“Memang, tapi aku juga punya energy yang bisa habis kapan saja.”
“Baiklah. Di rumah aku belum memasak apapun, jadi kita akan makan di luar hari ini.”
“Terserah kau saja.”
Mobil berwarna hitam itu mulai melaju kencang lagi. Pada sebuah jalan besar, Silia meminggirkan mobilnya.
“ChocCafe? Kakak tidak salah?” Ega tampak heran terhadap kakaknya. Biasanya setiap ia makan di luar bersama Silia, ia pasti akan mencari restoran yang ia faforitkan. Meskipun Ega tidak terlalu suka dengan masakannya. Tapi selama itu, ia tetap berusaha senang dan diam.
“Aku mulai jenuh dengan masakan para chef mata sipit itu. Aku hanya ingin bernostalgia dengan coklat.” Silia tersenyum menjawab. Wajahnya tampak lebih rapi dari keadaannya di saat mengendarai mobil.
“Ayo cepat masuk! Cacing-cacing di perutku sudah mulai berdemo.”
Silia mendahului membuka pintu café itu. Sedangkan Ega masih diam selama beberapa detik lalu dengan segera menyusul Silia ke dalam café.
“Mau pesan apa?” Tanya Silia seraya melihat dengan cermat daftar menunya. Ega tampak berpikir. Dilihatnya jelas-jelas bahan makanan yang disediakan disini. Hampir seluruhnya mengandung coklat.
“Satu Choc Ice sama Chick’en Choc ya!” kata Silia pada pelayan yang sudah siap mencatat pesanan pelanggannya itu.
“Satu Coffee Latte dan Salmon BBQ and Choc!” kata Ega akhirnya. Sang pelayan pun pergi setelah mengulang kembali pesanan Silia dan Ega. Sedangkan Silia mulai sibuk dengan hanphone-nya dan dorongan Ega untuk membiacarakan tentang mengendarai mobil muncul lagi. Tapi, masih saja ada rasa enggan untuk mengatakannya. Ega pun akhirnya mengalihkan pikirannya pada interior café itu. Semua dindingnya dihiasi dengan berbagai pernak-pernik bernuansa coklat dan permen. Seperti pada negeri lollipop dan coklat. Bangku yang sedang didudukinya pun berbentuk seperti sebuahcoklat batangan. Kemudian Ega memperluas pandangannya pada para karyawan yang ada disini. Juga meneliti ekspresi para tamu yang sedang menikmati makanannya.
“Ega, jika kau tinggal sendiri si rumah bagaimana?” Tanya Silia tiba-tiba.
Ega tampak mengerutkan dahinya. Tanda bahwa ia tidak mengerti maksud kakaknya.
“Memang kakak mau kemana lagi?”
“Aku tidak kemana-mana. Maksudku, kau tinggal sendiri jika aku menikah nanti. Bagaimana?” Silia terlihat canggung mengatakan kalimat itu. terlebih kata menikah terdengar sangat jarang disangkut pautkan dalam pembicaraan Silia. Tapi Ega mulai mengerti. Ia tidak akan menanyakan kenapa atau sebagainya yang akan membuat Silia menjadi kaku lagi. Mungkin inilah saatnya.
“Sejak Ayah dan Ibu pergi, hanya aku dan Kakak yang mendiami rumah itu. Dan selama itu pula aku mulai belajar untuk hidup mandiri. Kakak tidak lupa kan berapa kali kakak meninggalkanku di rumah hanya bersama Bibi Ane untuk pergi ke luar kota?”
“Tapi, jika misalnya aku menikah, entah dengan siapapun, maka aku akan mengikuti kemana lelakiku tinggal.”
“Produser yang pernah menawariku rekaman pernah berkata padaku, bahwa kemanapun kumbang pergi, maka serbuk sari yang menempel pada kakinya akan turut serta. Jika nanti kakak tinggal di kota lain, aku tidak akan apa-apa disini. Umurku sudah 20 tahun, kakak tak perlu mengkhawatirkan keadaanku seperti memperhatikan anak 15 tahun.”
“Jadi selama ini kau merasa kuperlakukan seperti anak 15 tahun?”
Ega terdiam sejenak. Ditatapnya mata kakaknya lekat-lekat kemudian kembali mengalihkannya pada makanan yang baru saja disajikan pelayan.
“Maksudku bukan begitu, kak. Tapi aku hanya ingin kakak bisa menikmati hidupmu seperti seorang wanita dewasa lainnya. Ketahuilah kak, sebenarnya kakak tidak perlu menjeputku setiap aku pulang kuliah atau setelah selasai bernyanyi. Sebenarnya aku sering mengendarai mobilku sendiri ketika kakak berada di luar kota. Tapi bukan maksudku untuk membuat perkara dan membuatmu khawatir, tapi semisal kakak sudah berumah tangga dan semakin sibuk, apakah aku harus menungumu selesai menidurkan anakmu atau selesai merapikan rumahmu untuk datang menjeputku?”
Silia tak bersuara. Ia hanya menatap Ega dengan binar-binar yang memenuhi matanya. Sesuatu tengah dipikirkan, ditimangnya  untuk memutuskan sesuatu hal kecil yang bisa berdampak besar pada masa depannya jika diambilnya adalah keputusan yang salah.
“Kak, selama ini perintah dan segala aturan yang kau buat sudah aku turuti. Jadi, bolehkan aku minta sesuatu padamu?”
“Apa?” Tanya Silia lirih.
“Aku minta kau melupakan kesakitanmu terhadap cinta dan biarkan aku yang berbalik menjagamu sebagai seorang saudara dan laki-laki dewasa. Percayalah padaku, kak..”
Silia bergeming lagi. Kali ini binar-binar itu mulai meleleh, terjun menuju pipi merahnya yang tampak pucat. Kemudian ia menuju bangku Ega dan memeluknya.
“Ega, aku minta maaf. Karena selama ini aku lupa bahwa aku punya adik lelaki yang sudah dewasa.”
Ega tersenyum dan memeluk erat kakaknya. Beban pikirannya dan segala hal yang ia pendam seperti menjadi hilang saat itu juga.
“Tapi kak, kali ini aku minta satu hal lagi dan ini sangat darurat.”
“Apa?”
“Perutku sakit dan perlu penanganan segera.”
Silia seketika melepaskan pelukkannya. Ia tampak heran dan tertawa geli melihat tingkah Ega yang kesakitan menahan perutnya yang mules.

            Baru saja Tuan James membersihkan badannya dan berniat mencari air hangat untuk merendam kakinya. Hal itu dilakukannya setiap kali ia pulang dari berjalan-jalan. Maklum saja, usianya yang kini menginjak 65 tahun membuatnya harus extra hati-hati merawat kekuatan tulang dan sendinya. Jika tidak, mungkin nasibnya akan sama seperti para manula yang menghabiskan sisa hidup mereka di rumah saja. Tuan James adalah orang yang suka petualangan. Sewaktu muda, ia dikenal teman-temannya sebagai  si Kompas. Karena hampir seluruh nama jalan, lokasi ini dan itu diketahuinya di kota ini. Namun, ketika tulang kaki dan punggungnya sudah tidak kuat untuk menempuh jarak jauh, Tuan James hanya bisa berjalan-jalan sampai taman kota. Disanalah ia sering menghabiskan waktu sendirian, kadang ditemani oleh orang-orang yang kebetulan mengenalnya atau bahkan hanya ditemani burung-burung yang berterbangan bebas mencari sisa remah-remah yang tertinggal. Ia juga sering melihat senja, tapi bukan dari atas bukit atau pelabuhan, senja yang sering ia lihat adalah senja di balik gedung toko itu. Entah kenapa, seperti kemarin, ia rasanya tak sanggup meninggalkan pemandangan yang terpampang jelas di depannya itu. Maka dari itu, sampai malam menjelang, ia baru akan kembali ke rumahnya.
“Ayah, belum istirahat ya?” Tanya Rima saat mendapati Tuan James masih setia pada acara faforitnya.
“Kau tidak lihat aku sedang beristirahat sambil menonton televise?”
“Yah, tubuh ayah memang terlihat berbaring, tapi pikiran ayah kurasa masih membawa sesuatu yang berat.”
“Kau tak usah mengkhawatirkan aku, Rima. Aku hanya memikirkan bagaimana tim faforitku menang melawan tim faforit suamimu.”
Rima diam sejenak. Memikirkan sesuatu yang seharusnya ia ucapkan pada Tuan James saat itu. Tapi itu urung ia lakukan lantaran melihat ekspresi ayah yang sama sekali datar. Wajah tuanya yang berkeriput membenamkan keceriaanya saat sebuah bola yang direbut 22 orang itu hampir memasuki gawang lawan.
“Baiklah, jika ayah butuh teman, akan kupanggilkan Joe. Lagipula besok dia libur bekerja.”
“Tak usah. Aku lebih senang menonton sendiri sekarang. Kau tak mau bukan kalau suamimu aku marahi karna timnya menang?”
“Well, terserah ayah saja. Tapi jangan sampai ayah bergadang. Ingatlah bahwa ayah bukan lagi anak muda seperti Justin Bieber.” Rima menutup pintu kamar Tuan James dan berlalu. Sejak beberapa tahun silam, sikap ayahnya mulai berubah dan menjadi pemurung dan suka menyendiri. Tapi lain hal jika cucu-cucunya pulang sekolah dan mengganggunya membaca Koran. Tuan James pasti akan mengikuti kemauan cucu-cucunya, terlebih si kecil Diego yang sangat senang bermain sepak bola.
            Sementara kembali ke ruang kamar Tuan James, ia tampak sudah sangat lelah. Tapi pikirannya tidak mau bekerja sama dengan fisiknya untuk sejenak memikirkan hal berat itu.
“Tuhan, kuharap besok hal seperti ini tidak akan kuulangi.” Ia berusaha memejamkan matanya yang mulai redup dan akhirnya berhasil terlelap. Sedangkan televise masih senang menyiarkan berita kemenangan tim terbaik dalam pertandingan malam itu.


“Ma, boleh aku bertanya sesuatu?” Wina mengambil duduknya tepat menghadap Mamanya yang sedang sibuk meracik sarapan.
“Mau nanya apa, Win?” Mamanya balik bertanya tetapi pandangannya masih sibuk pada bahan-bahan yang ada di hadapannya.
“Ayah, orangnya bagaimana dulu?” Wina menatap mamanya dengan rasa penasaran. Tetapi lain hal dengan Mamanya. Seketika ia berhenti memotong wortel yang masih setengahnya. Kepalanya masih menunduk. Dalam pikirannnya berkelebat banyak sekali peristiwa-peristiwa. Dadanya mulai berdebar.
“Mama?”
“Eh, kenapa?” Tanya mamanya agak gugup.
“Kenapa mama diam?”
“Tidak, hanya sedang memikirkan akan ku apakan wortel ini selanjutnya.”
“Lalu bagaimana dengan pertanyaanku tadi?”
Mamanya kembali diam. Pikirannya mulai tersadar akan waktu. Bahwa Wina sudah dewasa dan mungkin juga ia harus mengetahui semuanya.
“Ayahmu? Dia adalah seorang pekerja keras. Dan wajahnya mirip sepertimu.”
“Benarkah? Lalu apa dulu ayah juga seorang penyanyi?”
“Iya, pada masanya ia adalah penyanyi dan musisi terkenal.”
“Andaikan ayah masih ada. Aku sangat ingin bertemu dengannya. Aku yakin pasti aku bisa banyak belajar darinya.”
Mamanya tersenyum kemudian mengalihkan pandangannya pada potongan wortel di depannya. Kesakitan yang selama ini ia pendam kini terkuak kembali. Air matanya hampir saja berlinang deras jika saja ia tidak sadar bahwa Wina sedang berada di sana.
“Ma, hari ini aku tidak punya kesibukan. Jadi, apa mama mau ikut denganku mengunjungi rumah Ega?”
“Baiklah. Tapi apakah kamu sudah mandi?”
Wina terkekeh. Di tandaskannya jus yang dipegangnya dari tadi dan segera beranjak menuju kamar mandi.
            Setelah Wina selesai membersihkan tubuhnya dan mamanya telah selesai menyelesaikan tugasnya, mereka pun berangkat. Jarak rumah Wina dengan Ega tidak terlalu jauh, sekitar 1,5 km. perlu diketahui, Wina dan Ega sudah bersahabat dari sejak SD. Mereka selalu berangkat ke sekolah bersama-sama dan pulang juga bersama-sama. Tapi ketika memasuki jenjang SMA, mereka berpisah. Saat itu kedua orang tua Ega meninggal akibat kecelakaan pesawat. Lalu Ega diasuh oleh paman dan bibinya yang berada di Australia. Namun, ketika Ega sudah menamatkan kuliah seninya di sana, ia pulang ke Indonesia dan segera menemui Wina sahabatnya.
            Ding-dong… Wina menekan bel rumah Ega beberapa kali. Kemudian, keluar sosok perempuan yang juga tak asing bagi Wina dan Mamanya.
“Wina, tumben kesini? Sama Tante Sarah lagi.” Sapa Silia tersenyum. Tatap matanya seakan menandakan sesuatu yang mengambang. Begitu dengan Sarah, mama Wina. Sesuatu yang baru saja dimunculkan lagi oleh putrinya kini mulai menemui tahap pendobrakan dalam hatinya.
“Iya nih. Mumpung liburan, jadinya aku kesini deh. Ohya, Eganya ada kak?” Tanya Wina sambil celingak-celinguk ingin mengetahui situasi di dalam.
“Tuh orangnya lagi main gitar. Mungkin juga lagi mikirin kamu.” Silia terkekeh. Sedangkan Wina merona merah. Ia lalu memasuki rumah yang tidak begitu banyak berubah dari semenjak terakhir kali ia kesini. Dilihatnya Ega sedang melamun, memeluk gitarnya dan di sampingnya ada sebuah buku catatan.
“Kamu sedang membuat lagu ya?” ucap Wina mengejutkan Ega.
“Eh, e, Win, sejak kapan kamu disini?” Ega gugup. Segera ditutupnya buku catatan yang sejak tadi terbuka kemudian meletakkannya di atas laci mejanya.
“Mmm… tak cukup lama. Hanya saja aku sempat mendeteksi apa yang sedang kamu lamunkan.”
“Benarkah? Lalu apa hasil pendeteksianmu?”
“Aku rasa kamu sedang memikirkanku kan?” Wina tertawa. Merasa berhasil menuntaskan pendeteksiannya yang abal-abalan itu. Wajah Ega langsung berubah merah, seperti seorang pemain iklan kosmetik khusus blush on.
Tapi Ega tak mau menanggung malunya sendiri, ia berusaha mengembalikan wajahnya agar normal kembali dan tersenyum.
“Saat kamu tertawa barusan, instingku mengatakan bahwa kamu juga sedang merindukanku. Iya kan?” ucap Ega sambil menaik-naikkan sebelah alisnya.
Sontak Wina pun berhenti tertawa. Kini dialah yang menjadi pemain iklan kosmetik itu. Wina menunduk dan tetap diam.
“Benar kan?” Ega tertawa. Sementara Wina mengumpulkan kembali penolak malunya untuk mencubit lengan Ega.
“Eits, mau apa?” Ega langsung menyergah tangan Wina dan menjulurkan lidahnya. Wina pun jadi makin kesal dan berusaha melepaskan tangannya. Tapi ketika tangannya berhasil terlepas, Ega sudah lebih dulu melesat dan berada di belakangnya. Jadilah mereka seperti serial kartun Tom dan Jerry yang saling berkejaran berebut sepotong keju.


            Silia dan Sarah sedang menyiapkan makanan untuk mereka. hal ini sering terjadi lantaran Silia sering meminta bantuan kepada Sarah untuk mengajarinya memasak setiap kali ia mengunjungi rumah Silia.
“Lia..” ucap Sarah pelan.
“Ada apa tante?”
“Kau tau tentang keadaannya sekarang?”
“Siapa maksud tante?”
“James.”
Seketika Silia berhenti mengaduk sayurnya yang baru saja diberikan bumbu.
“Memang, kurasa sangatlah konyol menanyakan seseorang yang seharusnya dilupakan. Tapi, aku hanya ingin mengetahui keadaannya.” Suara Sarah mulai terdengar lirih.
“Aku tidak beranggapan seperti itu. Hanya saja, kebetulan beberapa hari lalu aku bertemu dengannya di dekat taman. Ia sedang duduk dan melamun memandangi sebuah toko.”
“Apa kau sempat berbincang dengannya?”
“Ya, awalnya Tuan James lupa padaku. Tapi akhirnya ia ingat juga. Saat kutanya, ia bilang hanya tertarik pada sebuah benda. Entah apa benda tersebut karena di dalam toko itu terdapat banyak sekali benda-benda.”
“Toko apa yang kau maksud?”
“Sebuah toko alat music.”
Sarah terdiam. Kali ini pikirannya yang melayang jauh. Sementara Silia baru tersdar akan sayurnya yang hampir kekurangan air. Ia cepat-cepat mengambil air, menuangkannya dan mengaduk sayuran itu kembali.
            Ketika itu, mulailah Ega dan Wina mengusik suasana masak Sarah dan Silia. Mereka saling berkejaran. Hampir juga sayur yang sudah disajikan di atas mangkuk oleh Silia tumpah.
“Wina, jangan kejar-kejaran begitu dong.” Ucap Sarah pada Wina.
“Ega duluan, Ma.”
“Bohong Tante! Wina duluan!” celetuk Ega.
“Ya sudah, daripada kalian berantem, lebih baik kalian makan siang dulu. Tante sama Kak Silia sudah buatin kalian makanan kesukaan kalian.”
“Awas ya kamu!” gerutu Wina dengan wajah kesal. Kemudian mereka pun akhirnya  duduk di meja makan dan menandaskankan hidangan yang telah disajikan. Sekilas mereka benar-benar mirip seperti Tom dan Jerry.

….

“Ayah mau kemana?” Tanya Rima ketika melihat Tuan James sudah berpakaian rapi.
“Sudah lama ayah tidak melihat perkembangan restoran ayah sejak itu aku limpahkan pada suamimu.”
“Jadi ayah mau kesana? Dengan siapa?”
“Di kota ini ratusan taksi siap mengantar ayah kan?”
“Tapi ayah, tidak bisakah ayah istirahat sehari saja di rumah? Restoran ayah pasti baik-baik saja.”
“Aku akan sakit jika hanya diam di rumah.”
Rima menghela napas panjang. Keras kepala ayahnya tak dapat ia lawan. Lelaki tua ini memang benar-benar petualang sejati. Dan mungkin jiwa seperti itu akan diikuti oleh cucu lelakinya, Diego. Pasalnya, meskipun hari ini masih pagi tapi Diego, anak pertama Rima sudah bermain-main dengan teman-temannya di halaman belakang. Sering terlihat Diego dan teman-temannya itu berdiam diri di rumah pohon yang dibuat Joe, ayah Diego. Entah apa yang mereka bicarakan, yang jelas setelah keluar, Diego tampak memegang secarik kertas yang habis diremas-remas.
“Pasukan siap!” jerit Diego pada teman-temannya yang sudah berjejer rapi.
“Kita punya misi penting dan telahasia!” jeritnya lagi.
“Misi kita hali ini apa komandan?”
Diego sejenak berdehem. Melegakan kerongkonganya yang serak. Kemudiam ia membaca tulisan yang ada dalam kertas yang sejak tadi ia genggam.
“Siap semuanya???”
“Siap komandan!!!” teriak teman-temannya kompak. Sedetik kemudian mereka sudah bersembunyi di balik semak dan pohon. Misi para petualang cilik itu pun mulai dilaksanakan.
“Diego!” panggil Rima dari dalam rumah. Tapi tak ada suara yang menjawab.
“Diego, kakek mau ke restoran. Kamu mau ikut?” teriaknya lagi.
Tak juga ada sahutan dari Diego. Teman-temannya juga tak ada yang berisik.
“Anakmu itu sedang asik bermain. Mungkin sedang memainkan cerita yang kau ceritakan semalam.”
“Hhh, anak itu sudah cukup keras kepala seperti ayah.”
“Sudahlah, Diego masih anak-anak. Aku pergi dulu.”
Tuan James lalu melangkah pergi. Di depan seorang sopir dengan taksinya sudah menunggu. Kemudian mobil itu melaju pergi. Melenggang diantara kendaraan lain di tengah-tengah sibuknya kota saat pagi.


            Wina dan mamanya sedang berjalan-jalan di mall di pusat kota. Mereka hendak membeli pakaian bayi untuk kemanakan Wina yang baru saja lahir kemarin malam.
“Ma, setelah ini kita singgah dulu yak e toko depan taman?” kata Wina.
“Mau ngapain?”
“Aku mau beli senar gitar.”
“Lho, memangnya senar gitar yang lusa kamu beli kenapa?”
“Senarnya gak bagus. Jadinya cepat putus.”
“Ya sudah tapi jangan lama-lama ya.”
Wina mengangguk tersenyum. Setelah mendapat pakaian yang cocok untuk kemenakan barunya itu, Wina dan mamanya segera pergi ke toko yang disebutkan Wina tadi.
“Mama gak ikut masuk?”
“Mama tunggu di sini saja.”
Wina langsung masuk ke toko itu. Sedangkan Sarah menunggu di dalam mobil. Sambil menunggu, sekilas pikirannya teringat tentang cerita Silia kemarin. Ia kemudian memperhatikan toko yang dimasuki Wina tadi. Apa yang menarik dari toko ini sampai-sampai dia memandanginya setiap hari? Tanya Sarah tanpa suara. Karena penasaran Sarah memutuskan untuk keluar dari mobil. Tapi, ketika tubuhnya keluar, seseorang pejalan kaki menabraknya dari belakang.
“Maaf, Nyonya. Saya tidak sengaja menabrak Anda.” Kata lelaki itu.
Sarah lalu berbalik untuk melihat orang yang menabraknya. Tapi setelah melihat orang itu, tiba-tiba dadanya merasa sangat sesak. Air matanya seketika mengalir membasahi pipinya yang berkeriput.
“Kau?” kata lelaki itu.
“Apa kabar, James?” ucap Sarah lirih. Matanya yang berkaca-kaca berusaha menatap lelaki yang sudah bertahun-tahun tidak pernah dilihatnya itu.
“Kau masih ingat padaku?” Tanya Tuan James berbalik menatap Sarah.
“Tak ada yang memintaku untuk melupakan semuanya.”
“Kau terdengar konyol. Aku ini adalah orang yang telah segan meninggalkanmu hanya demi kepentingan dan obsesiku.”
“Mungkin benar kau adalah orang yang sesegan itu. Tapi kau tahu perasaan seorang perempuan?”
“Yang aku tahu kau adalah wanita yang kuat. Seperti Wonder woman kubilang.”
“Tapi wonder woman juga punya hati dan bisa terluka. Pernahkan kau membaca cerita akhirnya?”
“Aku tak suka membaca cerita hero anak-anak seperti itu.”
Sarah sejenak terdiam. ternyata saat pertama kali bertemu stelah sekian lama pun ia juga tak bisa mengelak bahwa lelaki itu tak bisa aku kalahkan dalam debat seperti ini.
“Lia bilang kau selalu berdiam diri di taman sambil menatap toko ini.”
“Ohya? Lia memang tak bisa menjaga rahasiaku. Dan jika itu benar kau mau apa?”
“Aku hanya ingin tahu sesuatu yang menarik dari toko itu.”
“Kau ada disini sejak tadi, tapi kau juga tidak tahu apa yang berbeda dari benda yang terpajang disana?”
“Bukan seperti itu…”
“Lihatlah gitar itu!”
Tuan James menunjuk gitar berwarna putih itu. Terlihat sama seperti gitar lainnya, tapi ketika Sarah mendekat dan menelitinya, barulah ia sadar.
“Senarnya?”
“Kau tahu Sarah? Gitar itu gitar yang pernah kau hadiahkan padaku saat ulang tahu pernikahan pertama kita.”
“Tapi senarnya? Apa itu kau putuskan dan akhirnya menjualnya?”
“Salah satu senarnya putus ketika aku sedang mengamen di emperan toko. Dan ketika aku kehabisan uang untuk membiayai hidupku dan Rima, aku terpaksa menjualnya.”
Sarah menatap Tuan James lekat-lekat. Dadanya terasa makin sesak setelah mendengar kalimat itu. Bibirnya terasa kaku untuk melontarkan kalimat yang terbenam lama di otaknya.
“Ohya, dengan siapa kau disini?” Tanya Tuan James menoleh ke sekeliling Sarah.
Sebelum Sarah sempat menjawab, Wina keluar dari dalam toko. Dengan membawa tas belanja toko itu.
“Ma, siapa ini?”
“Mmm, ee, ini Tuan James.”
“Halo tuan, Saya Wina Collin.”
Tuan James tampak kaku. Wajahnya seketika memucat dan matanya mengarah pada Wina. Pikirannya seketika berkelebat hebat. Apakah ini anak bungsuku? Oh Tuhan..
“Tuan, are you ok?”
“Eh, e, Of course. Senang bisa bertemu dengan kamu, Nak.”
“Sama-sama pak. Tapi saya dan Mama mau pulang dulu.”
“Yeah, taka pa. lagipula saya juga akan pergi.”
“See you next time, Tuan James.”
“Jaga saja Mamamu. Jangan sampai ia salah memotong sayuran hingga jarinya terluka lagi.” Wina hanya tersenyum. Sedangkan Sarah hanya diam dan mendengar pembicaraan Wina dan Tuan James tadi. Mereka akhirnya memasuki mobil dan melaju pulang.
“Wina, kau tau siapa Tuan James sebenarnya?”
“Ya tentu tidak, Ma. Tadi baru pertama kali aku bertemu dengannya.”
“Tuan James itu Ayahmu.”
Wina seketika menginjak rem. Mobilnya berhenti di tengah keramaian kota saat itu.


 “Halo Ega? Kau sedang dimana?” Silia menyuarakan kekhawatirannya pada orang yang di seberang.
“Kak, tadi aku tidak bisa menunggumu lebih lama karena Pak Bebe terus saja meneleponku. Jadi aku pergi ke studionya dengan taksi.”
“Kau sudah di studionya?”
“Sudah beberapa menit yang lalu aku disini. Hanya untuk memastikan lagu yang akan aku nyanyikan.”
“Oh, baiklah. Jam berapa kau pulang?”
“Kenapa? Kakak mau menjemputku?  Ah, tidak perlu kak. Ada orang yang berbaik hati untuk mengantarku pulang.”
“Siapa? Kau jangan gampang percaya dengan kebaikan orang.”
“Hahaha… Aku jadi teringat waktu aku kecil dan kau pasti selalu mengatakan seperti itu.”
“Aku tidak sedang melucu, Ega. Biar ku jemput kau!”
“Tidak usah kak. Sekarang aku sudah berada di mobil orang baik itu.”
“Kau sudah pulang?”
“Ya, lima menit lagi aku sampai di depan rumah.”
Silia tak menjawab suara Ega. Hanya desah nafasnya yang terdengar. Kemudian kontak terputus. Di lain pihak, Ega sedikit kaget.
“Aku rasa sampai di rumah nanti, Silia pasti akan memarahiku.” Katanya pada sang pengemudi mobil yang ditumpanginya. Sang pengemudi hanya tertawa. Wajahnya menyiratkan perasaan tak sabaran yang terus mendobrak.
            Ternyata Silia sudah lebih dulu sampai di rumah. Wajahnya mulai cemas ketika tak melihat tanda-tanda kedatangan adiknya. Ia lalu mencoba menelepon Ega lagi, tapi sedetik itu pula sebuah mobil hitam mewah memasuki rumahnya. Ega ternyata adalah orang yang berada dalam mobil itu. Ia turun terlebih dulu kemudian disusul sang pengemudi yang memakai kemeja putih bergaris dan jas hitam itu.
“Halo, Nona Silia Edwar.” Sapa lelaki yang tadi keluar dari mobilnya itu. Silia tampak kaget dengan kedatangan lelaki klimis ini ke rumahnya dan yang paling mencengangkan adalah lelaki itu tau siapa namanya. Silia lalu melirik Ega yang hanya tersenyum melihat ekspresi kakaknya yang terheran-heran.
“Apa Ega terlalu terkenal sampai kau tau siapa nama kakaknya?”
“Hhaha… Ega mungkin sudah mulai terkenal, tapi itu bukanlah jawaban atas keheranmu, Nona.”
“Lalu? Darimana kau tau namaku? Dan kenapa kau terlalu baik terhadap Ega sampai-sampai kau mengantarnya pulang?”
“Nona Lia, apa kau tidak mengingatku?” lelaki itu mengeluarkan sebuah amplop lusuh dari dalam kantong kemejanya. Amplop itu mungkin sudah berusia lama dan penutupnya pun masih rapat menempel.
“Silahkan bukalah amplop ini maka kau akan tau siapa aku..” lelaki itu lalu menyerahkan amplop itu kepada Silia. Dengan pandangan heran dan sedikit curiga, Silia menerima amplop itu dan membukanya.
“Bukankah ini fotoku sewaktu SMP? Darimana kau mendapatkannya?”
“Coba lihat tulisan yang ada di balik foto itu.”
Silia lalu membalik foto-foto itu. Setiap foto itu tertulis sebuah kalimat yang menjelaskan tentang foto itu. Dan kalimat pada setiap foto kurang lebih seperti ini:

Foto pertama,
“Kamu terlihat sangat cantik ketika rambut hitam pendekmu itu terurai lembut.”

Foto kedua,
“Ini adalah alasan kenapa aku suka memperhatikanmu, senyum yang manis itu.”

Foto ketiga,
“Ini adalah pertama kali aku memberanikan diri meminta berfoto berdua denganmu. Tapi kurasa ini juga yang terakhir karena kita berada dalam acara perpisahan sekolah waktu itu.”

Foto terakhir,
“Saat pertama kamu mendatangiku dan mengatakan bahwa kamu akan pergi jauh untuk beberapa waktu, aku membuatkan sebuah hadiah untukmu. Foto ini akan menjelaskan hadiah yang akan kuberikan padamu saat kamu kembali nanti.”

            Silia bergeming. Tubuhnya seketika terasa membeku setelah mengetahui foto-foto itu. Foto yang menjelaskan siapa lelaki yang sedang berdiri di depannya kini. Juga mengingatkannya pada angan semasa kecilnya.
“Kau?” ucap Silia tersendat.
“Kau sudah mengingatku?” lelaki itu balik bertanya.
“Apakah kau William?”
Lelaki itu hanya tersenyum memandangi wajah Silia yang mulai memerah. Alangkah senangnya ia ketika Silia mengingatnya.
“Ah, aku tak percaya kau adalah William, yang ku tahu Willi itu tak serapi kau, Tuan. Dulu sewaktu SMP setiap hari kulihat ia selalu memakai seragam yang belum disetrika, rambut yang tak tersisir dan sampai di kelas selalu terlambat sampai ia dimarahi wali kelas.”
“Hahaha… Willi yang sekarang memang jauh berbeda dari yang kau kenal dulu. Kau tau, Lia? Setelah pertemuan terakhir kita itu, aku mulai sadar, bahwa kau mungkin tidak akan pernah menyukaiku jika aku tetap seperti anak yang setiap pergi ke sekolah dikejar anjing tetangga hingga berantakan. Willi yang sekarang adalah siapa yang kau lihat di depanmu.”
Silia kembali terdiam. Dilihatnya lelaki yang mengaku teman sekelasnya sewaktu SMP itu dengan teliti. Dari ujung sepatu yang terlihat berkilau, pakaian yang tanpa mengkerut sedikitpun, wajah yang terlihat cerah dan rambut klimis terpotong dan tersisir rapi.
“Kau terlihat berbeda sekali dengan Willi yang ku kenal.”
“Kau masih tidak mempercayaiku sebagai William? Baiklah, aku akan menunjukkan sesuatu padamu.” Lelaki itu kembali mengeluarkan sebuah kertas yang juga tampak lusuh dari kantong kemejanya.
“Kau ingat kertas ini? Coba bacalah surat itu.”
Silia lalu membukanya. Tulisan yang ada dalam surat itu seperti tulisannya. Kata-katanya pun tidak asing baginya.
“Itu adalah surat permintaan maafmu kepadaku karena kau telah membuatku masuk rumah sakit untuk pertama kalinya. Kau ingat? Kau pernah melemparku dengan batu hingga mengenai kepalaku. Padahal waktu itu, bukan aku yang mencuri diarymu.”
“Kau tau peristiwa itu?”
“Tentu saja aku tahu, Lia. Aku yang menjadi korbanmu waktu itu. Kau lupa?”
“Jadi kau benar William teman SMPku?”
“Buat apa aku berpura-pura dan mengaku sebagai teman SMP yang mungkin paling kau benci dulu?”
Silia tersenyum. Matanya mulai berbinar, ingin menangis tapi itu tak mungkin. Karena jika benar, lelaki teman kecilnya itu pasti meledek atau paling tidak menertawainya.
“Jika kau ingin menangis karena terharu melihatku menjadi pangeran William sekarang, maka menangislah di pelukkanku..”
Tanpa berpikir lagi, Silia menghamburkan tubuhnya pada lelaki itu. Tubuhnya yang kekar dan terasa hangat itu seketika menenangkan hatinya.
“Coba dari dulu aku seperti sekarang, pasti kau sudah menjadi pacarku kan?”
“Haha.. satu yang tak berubah darimu, kau selalu percaya terhadap statement dirimu.”

….


            Rima sedang membereskan ruang tamunya yang berantakan akibat ulah Diego yang menghamburkan mainannya kemana-mana. Untung saja sekarang ia sudah tertidur jadi Rima bisa lebih leluasa memunguti mainan-mainan itu. Ketika ia hendak pergi ke dapur, tiba-tiba bel rumah berbunyi. Ia cepat-cepat menuju pintu dan membukanya.
“Selamat siang Nyonya.” Kata sang tamu ramah.
“Selamat siang juga, maaf Anda siapa?” Tanya Rima sembari membalas senyuman sang tamu.
“Saya Wina, kedatangan saya kesini adalah untuk menemui Tuan James.” Kata Wina tetap tersenyum.
“Sudah membuat janji sebelumnya? Karena sekarang Tuah James sedang tidak berada di rumah.”
“Oh, kalau boleh saya tahu, Nyonya ini siapa?”
“Saya anak Tuan James. Panggil saja saya Rima.”
“Mmm… apa boleh saya bertemu Ibu Nyonya?”
“Maaf Nona, kenapa anda menanyakan hal seperti itu?”
“Apa Ibu nyonya bernama Sarah Lee?”
“Bagaimana anda tahu nama Ibuku?”
Wina hanya tersenyum lalu tiba-tiba memeluk Rima yang tampak kaget. Air mata Wina mengalir deras. Perasaan sedih bercambur senang tak bisa ia tahan.
“Kak, aku Wina Antonio Lian. Adik bungsumu.”
Rima seketika melepas pelukkanya. Menatap Wina yang berurai air mata. Aku punya adik? Pikirnya dalam hati. Selama ini, yang ia tahu bahwa ia tak mungkin punya saudara karena ayah dan ibunya sudah berpisah lama, sewaktu ia masih berusia 8 tahun.
“Ibuku memang bernama Sarah Lee, tapi ia dan Tuan James ayahku sudah berpisah lama. Jadi tidak mungkin aku mempunyai saudara.”
Sedetik suasana menyepi, terdengar suara dari arah lain. Ternyata Sarah telah menyaksikan dan mendengarkan percakapan mereka.
“Rima.” Kata Sarah lirih.
Rima tampak kaget. Wanita paruhbaya yang berhadapan dengannya ini adalah orang yang mungkin sangat dirindukan oleh hati kecilnya. Ia menatap Sarah lekat-lekat. Memandangi inci demi inci raut wajah yang mulai mengkerut itu. Jantungnya mulai berdebar ketika berjalan mendekati wanita yang sampai saat ini masih suka memakai pakaian warna gelap itu.
“Mama, apa kau benar Ibuku?”
“Tentu saja jika kau masih menganggapku sebagai yang melahirkanmu.”
Rima seketika memeluk Sarah erat. Seerat ikatan bathin yang membuatnya selalu merindukan sosok seperti ini dalam hidupnya.
“Rima, kau perlu tahu satu hal. Kau punya seorang adik.”
“Jadi, gadis ini benar adikku?” Rima terkesiap mendengarnya. Ditatapnya Wina dengan lekat kemudian ia memeluknya.
Pertemuan ia menjadi peristiwa yang sama sekali tak pernah dibayangkan Wina sejak dulu. Yang ia ketahui hanya ia tidak lagi punya keluarga yang lengkap. Punya Ayah dan saudara yang mirip dengannya. Betapa bahagianya hati Wina ketika mengetahui bahwa ia juga mempunyai keponakan dan kakak ipar. Yang ia kira selama ini bahwa, di dunia ini ia hanya hidup berdua bersama Sarah.
            Ketika pertemuan itu memecahkan kesunyian rumah itu dan mempertemukan cerita-cerita di antara dua yang telah berpisah lama dan jauh, maka ketika itu pula sang sosok yang menjadi peran utama datang. Tuan James membuka pintu rumahnya sambil heran melihat mobil yang sedang terparkir di halaman rumahnya itu. Kemudian segera ia berteriak memanggil Diego yang masih tertidur dalam lelapnya mimpi kecilnya. Karena tanpa ada jawaban, Tuan James menuju ruang tamu dan disanalah terjadi kembali pertemuan klimaks yang sekali lagi tak dapat disembunyikan kerinduannya.
“Ayah.” Ucap Wina tiba-tiba. Kakinya mulai menyongsong tubuhnya menuju tempat berdiri lelaki tua yang termat dirindukan itu. pertama kali dipertemukan dan pertama kali juga Wina punya kesempatan untuk memeluk lelaki yang diciptakan sebagai ayahnya ini. Sementara Tuan James terkaku, menatap sejenak orang yang berada di belakang Wina yang beridiri meneteskan keharuan kemudian menatap gadis yang sedang merangkulnya erat.
“Ayah, kenapa ayah pergi? Apa ayah tidak tahu jika aku akan lahir? Apa ayah tahu bahwa selama belasan tahun ini aku menggangap aku tidak mempunyai ayah lagi? Dan apa kau juga tahu bahwa aku selalu merindukan hari ini?”
Tuan James terdiam. Hatinya mulai terasa sakit lagi mendengar panggilan itu. Matanya mulai berair. Seketika ia mengelus rambut dan wajah gadis yang berada di depannya itu.
“Kau Anakku? Aku kira kau bukan anakku karena kupikir kau tak akan pernah mengetahui dan mengakuinya.”
“Ayah, yang aku tahu selama ini bahwa kau sudah tiada. Tapi sebenarnya nuraniku tak pernah mempercayainya. Oleh sebab itu aku selalu memohon agar Kau dikembalikan.”
“Sudahlah, Nak. Kau sudah punya seorang wanita tangguh yang merawatmu sampai kau sedewasa ini. Jadi untuk apa kau membutuhkanku?”
“Tidak, Ayah. Aku mungkin bisa menjadi dewasa seperti ini hanya bersama Mama. Tapi Mama sangat membutuhkanmu. Yang juga aku tahu dan aku pendam selama ini bahwa Mama selalu memikirkanmu, menangis dan seringkali kulihat membuka lembaran surat yang aku tak pernah tahu isinya.”
“Tapi, Nak…” kalimat Tuan James terhenti ketika Sarah mendekati posisinya. Wajahnya yang terlihat sayu menjelaskan betapa lelah hatinya.
“James, memang ang dikatakan Wina benar. Kau tahu? Setiap malam selama beberapa tahu belakangan ini, aku merindukanmu. Aku juga terkadang merasa takut jika suatu saat nanti Wina akan menanyakan dimana dirimu. Dan ketika itulah aku sadar bahwa kita tidak bisa selamanya seperti ini.”
“Tapi Sarah, selama ini aku sudah menelantarkanmu demi hal yang menguntungkan diriku sendiri. Jadi untuk apa aku kembali ke dalam hidupmu? Itu hanya akan menambah sakit hatimu.”
“James! Sewaktu lalu aku telah merelakan kau pergi mengejar mimpimu dengan meninggalkanku dan Wina. Dan sekarang tidakkah kau merasa bersalah dan ingin menebusnya dengan cara kembali berkumpul seperti keluarga lengkap lainnya?”
Tuan James seketika memeluk sarah yang tak berhenti menangis. Jantungnya berdebar keras hingga tak dapat ia tahan. Perasaan cinta dan kerinduannya telah mengalahkan segala bentuk pertahanan hatinya. Hatinya mulai luluh dan membiarkan dirinya tenggelam dalam rahasia ilham yang tak dapat ia tebak.

….


When I heard you near of me,
I run quickly,
Cause I’m afraid you go away,
From my heart,
Ohh, you’re my soul….

            Sekali lagi riuh tepuk tangan penonton menggema dalam ruangan tersebut. Terpesona dan terbuai dengan alunan nada yang dilantunkan Wina dan Ega. Lagu tersebut mengiringi konser akbar malam itu dengan sempurna. Sesempurna anugrah yang telah mereka terima sekarang.
“Aku sangat bahagia hari ini.”
“Kapan kau tidak pernah bahagia dan terus menerus tersenyum jika berada di sampingku, Wina?” Ega terkekeh. Sementara wajah Wina merona merah.
“Benar kan? Kau tak bisa berbohong padaku, Win.”
Wina tak menyahut. Dirinya terlalu nervous untuk menjawab pertanyaan konyol itu. Tapi tadi, tiba-tiba saja jantungnya berdebar lebih kencang. Kalau bahasa gaul sekarang, Wina dikategorikan sedang berada dalam kondisi Salting alias Salah Tingkah. Cepat-cepat ia mengalihkan pandangannya pada meja hias. Sekadar melihat penampilan dan make-upnya jikalau ada yang kurang.
“Kau terlalu banyak mengoleskan blush-on di pipimu. Terlalu merah dan terlalu jujur.”
“Ha? Aku rasa blush-on milikku sudah hampir habis jadi aku tak bisa menggunakannya terlalu banyak seperti menurutmu.”
“Tapi lihatlah, pipimu merona seperti mawar..” Ega mengelus pipi Wina lembut. Jantungnya ikut-ikutan berdetak kencang. Melaju mendorong sebuah hasrat yang tak bisa dibantah dan ditahan lagi.
“Kau tau, Win? Selama ini aku menganggapmu bukan sebagai sahabat.”
“Maksudmu apa?”
“Maksudku adalah selama ini, aku menyimpan sebuah rahasia besar yang sejak kecil aku pendam sendiri. Karena aku takut, kau tak bisa membalasnya.”
Wina mengernyitkan dahinya. Bertanda bahwa ia sama sekali tak mengerti dengan kalimat yang dilontarkan Ega barusan.
“Tapi sekarang, aku rasa ini waktu yang tepat membongkarnya. Seperti juga lagu yang kita nyanyikan tadi, aku tidak ingin kau pergi.”
“Ayolah Ega, jangan membuatku semakin bingung.”
Ega terdiam. lalu menarik napas panjang dan perlahan menghembuskannya. Berusaha mengumpulkan energy dan keberanian untuk mengungkap rahasinya hari ini.
“Wina, selama ini, kebersamaan kita, waktu-waktu ayng telah kau dan aku lewatkan, dari semenjak pertama kali aku mengenalmu. Itu telah membuatku menjatuhkan hatiku padamu. Mmm.. dengan kata lain, aku, mencintaimu, Win.”
Suasana ruangan yang terletak di belakang panggung itu menjadi senyap. Terlalu senyap karena disana hanya ada mereka berdua. Bahkan cicak yang biasanya muncul di setiap dinding pun tidak terlihat. Hanya lampu-lampu, hanya meja, kursi dan cermin yang menjadi saksi biksu kejadian yang melibatkan dua hati ini. Tak lama, terdengar suara napas Wina yang kemudian memecahkan keheningan tersebut.
“Jika kau sudah jujur padaku kali ini tentang perasaanmu. Aku juga akan melakukannya dan mengatakan perasaanku.” Beberapa detik keheningan kembali menyeruak. Tapi Wina segera melanjutkan kalimatnya lagi.
“Bahwa aku tidak bisa menerimanya.”
Ega seketika murung. Mimik wajahnya seratus delapan puluh derajat berubah. Hatinya terasa hancur seperti belahan kepingan botol.
“Well, never mind! Setidaknya aku telah mengatakan perasaanku.”
“Ega, kau tidak mengerti! Aku belum menyelesaikan kalimatku. Aku memang tidak bisa terima jika kau hanya mengatakan bahwa kau mencintaiku, aku ingin kau menanyakan apakah aku bersedia menjadi milikmu atau tidak, hanya itu.”
“Kau serius?”
Wina menganggukkan kepalanya seraya tersenyum malu menatap Ega yang kemudian menekukkan salah satu kakinya, berlutut di hadapan Wina.
“Wina, would you like to be mine?”
Sekali lagi jantung Wina bertedak semakin kencang. Wajahnya semakin merona disertai anggukan yang menyatakan penerimaan atas pertanyaan Ega.
“Really?”
“Jika aku berbohong, maka nanti hidungku akan bertambah panjang seperti pinokio.”
Ega tertawa, mengelus rambut Wina dan memeluknya erat. Erat sekali seperti hubungan mereka yang akhirnya menjadi sepasang kekasih.
            Tiba-tiba hanphone Ega bordering. Telepon dari Silia.
“Halo? Ega, dimana kau? Sudah sejam aku menunggumu disini!”
“Maaf, aku lupa bahwa harus menjemputmu. Tapi sekarang aku akan menuju tempatmu.”
Ega menutup teleponnya. Dengan terburu-buru ia mengambil tas dan jaketnya. Sementara Wina bingung melihatnya.
“Mau kemana buru-buru?”
“Aku lupa harus menjemput Kak Lia. Ia baru saja selesai fitting gaun pernikahannya.”
“Kak Lia akan menikah? Dengan siapa?”
“Jika aku ceritakan sekarang, pasti membutuhkan banyak waktu dan membuat Silia akan memusuhiku.” Ega lantas menarik tangan Wina. Mengajaknya menuju mobil dan melaju menuju butik tempat Silia berada.
           
“Jadi, pria ini calon suami Kak Lia?” Tanya Wina sedikit kaget ketika lelaki yang sempat membuat kesal dan diomelinya ini berada di hadapannya.
“Perkenalkan, aku William. Dan jika aku boleh tau, bagaimana perasaanmu setelah merasakan permen coklat itu?” William tersenyum.
“Mm, e, permen coklat itu, cukup enak. Seperti yang kau katakan.”
“Jadi kalian sudah pernah bertemu?” Silia menengahi.
“Ketika aku dan karyawanku mempromosikan coklat di jalan, aku bertemu dengan gadis ini dengan ban mbilnya yang pecah dan kupikir ia sedang kesal. Jadi kuberikan permen coklat kepadanya untuk sedikit mengurangi rasa kesalnya.” Papar William.
Wina menundukan kepalanya, malu dengan kejadian itu.
“Hahaha.. kau tak usah malu, Wina. Aku tidak dendam padamu karena kau telah mengusirku.”
“Tapi, kau mau coklat itu lagi Wina?” Tanya Silia merayu sambil mengeluarkan sebungkus permen coklat dari tasnya.
“Aku tau kau sangat menyukai coklat sama seperti Ega. Dan aku pikir, sekarang kau pulang saja bersama Ega, karena ada beberapa hal yang aku lupakan tadi.”
Wina tersenyum sumringgah. Diterimanya bungkusan coklat itu seperti anak kecil yang malu-malu menerima pemberian orang lain. Sedangkan Ega tertawa terbahak melihat tingkah Wina. Ega lantas menggandeng Wina. Berjalan menuju mobilnya, melaju dengan kecepatan standard dan berhenti kembali pada sebuah tempat yang sering dikunjungi dua insane ini sewaktu kecil.

….

           
            Hal-hal yang semua menjadi terahasia untuk Wina kini menjadi sesuatu yang menakjubkan baginya. Selain mengetahui sosok ayah kandung yang dari lahir tak pernah dilihatnya, mempunyai seorang saudara perempuan dan keponakan yang teramat lucu. Bahwa ternyata ia juga punya sahabat dekat yang mencintainya.
            Kemarin saja, Mamanya, Sarah telah menceritakan sebuah rahasia yang selama ini dikubur dalam-dalam. Bahwa ternyata Tuan James dan Sarah terpisah karena ketidaksukaan ayah Sarah terhadap Tuan James. Suatu sebab kecil yang memunculkan kemarahan yang tak tebantahkan. Bahwa Tuan James hanya tidak bisa bermusik. Ia lebih senang menjadi pengusaha daripada menjadi seniman. Tetapi, karena cintanya kepada istrinya yang sejak itu baru melahirkan, maka Tuan James akhirnya mengikuti kemauan mertuanya. Ia berusaha mempelajari music, berusaha menjadi seniman yang professional dan tetap bertahan sampai beberapa tahun kemudian, tepat ketika Rima berusia 8 tahun, Tuan James mulai mengikuti kata hatinya dan menentang apa yang dijalaninya waktu itu. Ketika itulah semua berawal, ketidaksukaan orang tua sarah kepada Tuan James kembali muncul. Karena tak mampu lagi menahan segala kejenuhannya, Tuan James pergi. Angkat kaki dari rumah yang menjadi peraduan keluarga kecilnya dan meninggalkan Sarah dan Rima.
“James, tidakkah kau memintaku untuk ikut?” Tanya Sarah lirih.
“Tidak, Sarah! Disini adalah rumahmu. Jikapun kau bersamaku, apa yang akan dipaksakan lagi kepadaku? Apa aku akan disuruh menubur mimpiku lagi? Maaf Sarah.”
Tuan James mengambil tasnya, hendak menuju keluar rumah. Tapi Sarah tiba-tiba mendekat dan merangkulnya.
“James, ketahuilah bahwa semuanya tak seperti yang kau bayangkan. Aku bisa saja membujuk ibu agar tidak memaksamu lagi dan kau bisa merintis usahamu.”
“Aku bisa menerima tawaranmu, mungkin. Tapi keputusanku sudah bulat! Aku harus pergi dari rumah ini.”
Air mata Sarah mengalir semakin deras. Ia tak bisa membantah lagi keputusan suaminya itu. Tuan James terlalu gigih untuk hal-hal seperti ini.
“James, jika kau ingin pergi, maka pergilah. Tapi aku ingin memberitahu kepadamu bahwa Rima akan punya seorang adik, hanya itu.”
“Baguslah. Rima pasi tidak akan merasa kesepian jika punya saudara. Dan ia pasti bisa menjadi dewasa tanpa seorang ayah sepertiku.”
Tuan James menuju pintu. Tapi sebelum mencapai daun pintu, terdengar suara Rima yang terbangun akibat suara-suara kedua orang tuanya.
“Ayah mau kemana?”
“Ayah mau pergi. Kamu diam saja di rumah bersama Mamamu.”
“Pergi? Kemana? Ayah tidak mengajakku?”
“Tidak Rima, tinggal saja bersama Mamamu.”
Tuan James beranjak pergi. Dengan berat hati dan perasaan bersalah yang teramat besar, ia meninggalkan Sarah dan Rima, juga anak bungsunya yang berada dalam kandungan Sarah.
“Ayah, tunggu!!!” Rima berlari mengejar ayahnya.
“Aku ingin ikut ayah, kemana pun ayah pergi!”
“Tapi, Mamamu akan kesepian di rumah.”
“Mama yang menyuruhku untuk ikut bersamamu, Yah. Dan ia memberikan ini pada Ayah.”
Rima menyodorkan sebuah gitar pada Ayahnya. Dalam gitar itu terdapat secarik kertas. Rangkaian kalimat tertulis rapi disana, “Sebenarnya gitar ini adalah hadiahku untuk hari ulang tahunmu besok. Tapi, kau memutuskan untuk pergi, jadi aku minta Rima untuk bersamamu dan memberikan gitar ini. Juga agar Rima bisa menjaga dirimu, memberitahumu bahwa sikap batumu menjadikanmu sedikit egois. Semoga mimpimu terwujud!”

….

            “Halo, Win, kau dimana?” Tanya Sarah dari seberang telepon.
“Aku masih di rumah, Ma. Ega belum datang.” Balasnya seraya memastikan penampilannya pada cermin.
“Baiklah. Tapi segeralah kesini. Acara akan segera dimulai.”
“Weel, Bye mom.” Wina menutup teleponnya. Mengambil tasnya dan bergegas keluar. Tak lama, sekitar lima menit Ega datang, tapi tak sendirian. Ada Diego di dalam mobilnya yang kemudian melambaikan tangan pada Wina.
“Diego?”
“Yah, tadi dia mengetahui bahwa aku akan naik mobil untuk menjemputmu. Lalu merengek untuk ikut.”
“Bukankah disana ada Kak Rima?”
“Dia sedang sibuk membantu Kak Lia berias.”
“Ok, lebih baik kita segera pergi saja.”
Ega mengiyakan perintah Wina. Mobilnya melaju di tengah kelap-kelip kota. Sedangkan di dalam mobil, Diego sibuk mengobrak-abrik robot mainan yang dibawanya sedari tadi. Sepertinya ia sedang mencari sesuatu pada robot itu. Tapi karena tidak juga menemukannya, Diego kesal dan melempar mainannya.
“Diego? Kamu kenapa?” Tanya Wina menoleh ke belakang.
Diego tak menjawab. Hanya menggelengkan kepalanya dengan ekspresi duck face.
Wina pun ikut terdiam. sejenak saling berpandangan dengan Ega.
“Mmm…. Diego mau eskrim?” Tanya Wina.
Lagi-lagi Diego geleng-geleng kepala.
“Atau mau eskrim sama pizza?”
Diego tak bersuara juga tidak geleng-geleng kepala atau menganggukan kepalanya. Kemudian Ega menepikan mobilnya di sebuah café kecil. Wina akhirnya keluar lebih dahulu dari mobil dan membukan pintu belakang mobil.
“Diego, kakak mau beli eskrim sama pizza rasa sosis nih. Mau ikut gak?” Tanya Wina berusaha membujuk Diego. Sedetik tak ada respon dari Diego, tapi akhinya Diego tak tahan dan segera keluar dari mobil dan berlari menuju tempat pemesanan di café itu.
Sementara Wina dan Ega kembali saling berpandangan, menahan rasa geli mereka melihat tingkah lucu Diego.

            Acara resepsi pernikahan Silia dan William sedang berlangsung. Para tamu dimanjankan dengan aneka sajian lezat yang bernuansa coklat. Sedang Silia dan William bercengkrama dengan saudara-saudara mereka. Acara malam itu berlangsung amat ramai. Tak sedikit para tamu yang mengajak anak-anak mereka sehingga tak heran Diego begitu bersemangat, berlari-lari, mengejar dan bersembunyi dari intaian teman-temannya.
Dari balik panggung, Diego melihat teman-temannya kebingungan mencarinya. Kemudian ia melirik ke alat-alat sound system yang luput pengawasan karena yang bertanggung jawab sedang mengantre mengambil makanan. Diego mendekati alat-alat itu dan sebuah Compact disk kecil dikeluarkannya dari saku bajunya. Beberapa lama Diego tampakberpikir tentang cara kerja alat yang sering Ayahnya gunakan ini. Kemudian ia teringat bagaimana kakeknya mengajarinya memasukkan Compact disk tersebut ketika ia baru saja membeli film cartoon terbaru kesukaanya. Setelah berhasil Diego kembali berpikir dan tiba-tiba terdengar suara seperti suara tembakan dan langkah kaki serdadu perang. Seketika semua tamu kaget dan spontan menunduk, memegangi kepala mereka masing-masing. Tapi, ketika Diego keluar dari tempat persembunyiannya, sontak Wina sadar dan tertawa.
“Sepertinya Diego punya bakat seni kak!” katanya sambil melanjutkan tertawaanya. Rima yang awalnya berpikir akan memarahi anaknya itu ikut tertawa. Kemudian para tamu tak terkecuali para panitia sound system yang mengira peralatanya macet ikut terbahak melihat ekspresi Diego yang terlihat canggung di atas panggung.

“Seperti halnya senar gitar, hidup adalah sebuah hal yang sederhana tetapi memiliki sebuah rahasia indah yang mampu melamunkan manusia pada Sang Maha Keagungan.”
-The End-

Komentar

Postingan Populer