Cerpen Pendek_"CdR"
Cerita dari Rahasia I
Eps.
Peneduh
Diceritakan
ada sepasang kekasih muda yang saling mencintai dan mengasihi. Pasangan muda
yang sudah dua tahun lebih menjalin kasih tersebut dikatakan oleh orang-orang
yang mengenal atau melihat mereka sebagai pasangan yang teramat sangat serasi.
Bagaimana tidak, pasangan itu berasal dari keluarga yang beradab. Yang
laki-laki berasal dari keluarga dokter sedangkan yang wanita merupakan anak
seorang menteri. Dari segi fisik pun mereka hampir mendekati sempurna karena
sang wanita adalah wanita yang sangat cantik dan baik hati, begitu pula dengan
sang laki-laki, tampak berwibawa dan pekerja keras.
Suatu hari, disaat mereka berlibur dari aktifitas sehari-hari,
laki-laki yang sering dipanggil Ken itu menjemput kekasihnya, Julia. Ketika
sampai di depan pintu rumahnya, Ken mengetuk pintu dan pintu pun segera
terbuka. Tampak sosok cantik yang dikenalnya telah berdiri dihadapannya dengan
dress yang pernah dibelikan Ken untuk Julia.
Singkat cerita, Ken dan Julia sedang duduk bercengkrama di
sebuah bangku panjang di tepi sebuah danau yang sangat indah. Mereka
mengobrolkan tentang kenangan-kenangan mereka dari awal pertemuan sampai usia
hubungan mereka hampir menginjak 3 tahun.
“Julia, bolehkan aku
bertanya sesuatu padamu?” Tanya Ken seraya menatap kekasihnya itu lekat-lekat.
“Tentu saja Ken. Kau
boleh bertanya apa saja kepadaku.” Jawab Julia tersenyum.
“Apakah kau benar-benar
mencintaiku?” Tanya Ken.
“Tentu. Tentu aku sangat
mencintaimu, Ken.” Kata Julia lembut sambil menggenggam tangan Ken.
“Kalau begitu, jika
suatu saat nanti aku bangkrut dan jatuh miskin, apakah kau akan bersedih dan
tak ingin lagi bersamaku?”
“Kenapa kau bertanya
seperti itu?” Tanya Julia.
“Karena aku tidak ingin
kau meninggalkanku, Lia.”
Julia tersenyum mendengar perkataan kekasihnya itu. lalu ia
menghirup udara di luar tubuhnya secara perlahan dan kembali menghebuskannya
dengan lembut.
“Ken, jika suatu saat
nanti kau berubah menjadi tanah kering, maka aku tidak akan mau menjadi tanah
kering juga.” Katanya sembari menatap riak danau yang menenangkan di depannya.
“Kenapa? Apakah itu
berarti kau tidak mau hidup miskin denganku?” Tanya Ken kecewa.
Julia tak langsung
menjawab. Ia justru tersenyum lebar mendengar kalimat yang diucapkan Ken.
“Maksudku bukan seperti
itu. Jika kau menjadi tanah kering, aku akan menjadi hujan yang akan membuatmu
kembali subur sehingga rumput dan tanaman akan kembali tumbuh padamu.”
“Begitu pula jika suatu
saat nanti kau jatuh miskin, maka aku tidak akan bersedih. Karena untuk apa aku
bersedih jika itu hanya akan membuatmu makin terpuruk dan terbebani? Malah aku
akan mentertawaimu karena sifat cerobohmu membiarkan perusahaanmu jatuh.” Julia
menhela nafas panjang. Dilihatnya sejenak wajah Ken lalu Julia kembali
melanjutkan kalimatnya.
“Dan satu hal yang kau
perlu tahu, Ken, bahwa aku hanya akan meninggalkanmu apabila Tuhan telah
memanggilki.”
Julia pun tersenyum
begitu juga dengan Ken. Mereka lalu saling berpelukan disaksikan matahari senja
yang segera kembali ke peraduannya.
Teman-teman, cerita sederhana Ken dan Julia telah mengingatkan
kita akan kisah Rama dan Shinta, Romeo dan Juliet, Pangeran Kodok dan Putri
Jelita serta kisah-kisah cintai dari orang-orang lain yang menceritakan tentang
pengorbanan, pemberian, ketulusan dan kasih sayang yang indah. Juga
mengingatkan kita bahwa cinta bukanlah bagaimana kita menangis ketika mereka
bersedih tetapi cinta adalah bagaimana kita tetap tegar dan tersenyum untuk
memberi semangat bagi orang-orang yang kita sayangi.
The End
By: Ratih Present’s
Cerita dari Rahasia II
Eps.
Evin dan Kampanye
Ini adalah kisah seorang
anak kecil berusia lima tahun yang bernama Evin. Evin adalah seorang anak kecil
yang lincah, hiperaktif dan sangat menyukai serta selalu ingin tahu tentang
papaun yang sedang terjadi atau dibicarakan disekitarnya. Meskipun begitu, Evin
adalah anak yang penurut, ia juga suka membantu Ibu Made, orang yang telah
mengasuhnya bersama belasan teman-temannya yang bernasib sama dengan Evin. Ya,
Evin adalah sorang yatim piatu. Ia ditemukan tergeletak sambil menangis
ketakutan di depan pagar sebuah panti asuhan yang kini menjadi rumah dan tempat
ia bermain.
Suatu hari yang cerah, seperti biasa setelah selesai membantu
Ibu Made membuat pisang goreng, Gio teman sekamar Evin memanggilnya.
“Ada apa Gio?” sahut
Evin seraya membersihkan tangannya yang belepotan karena adonan pisang goreng.
“Ayo kita ke lapangan!”
kata Gio yang telah membawa sebuah bola sepak yang diberikan seorang dermawan
kepada anak-anak di panti asuhan tersebut.
“Dimana teman yang
lain?” Tanya Evin lagi. Karena biasanya Gio, Komang, Adri, Husman dan Zales
beramai-ramai mengajaknya bermain sepak bola di lapangan.
“Mereka sudah di
lapangan! Sahut Gio. Kemudian Evin mengambil sepedanya dan membonceng Gio pergi
ke lapangan.
Sesampainya di lapangan, Evin dan Gio terkejut. Karena keadaan
lapangan tidak seperti biasanya. Lapangan itu kini penuh dengan tenda-tenda, tiang-tiang
mendera, spanduk serta dipenuhi orang-orang dewasa yang memakai baju berwarna
dan berisi tulisan yang sama.
‘Sepertinya kita tidak
bisa bermain disini.” Kata Husman terengah-engah setelah berlari menuju Evin
dan Gio yang keheranan.
“Siapa bapak-bapak ini?”
Tanya Evin. Sementara Husman yang ditanya hanya geleng-geleng kepala.
“Sepertinya yang dikatakan
Ibu Made benar. kita tidak bisa bermain bola karena lapangan ini akan selalu
ramai dan sesak selama 10 hari.” Celetuk Koamng yang baru datang bersama Adri
dan Zales.
“Ohya! Akau baru ingat
kata Ibu Made 10 hari ini adalah hari kampanye terbuka!”
tambah Husman tiba-tiba.
“Kampanye?” kata Evin
dalam hati. Ia lalu teringat akan kata-kata gurunya tentang kata kampanye.
Beliau bilang bahwa jika waktu pergantian dan pemilihan Pak Presiden tiba, maka
para calon baru akan memperkenalkan dirinya dan mengajak orang-orang dewasa
untuk memilihnya…
Selama kata-kata gurunya
terngiang di otaknya, mata Evin sibuk memandangi bapak-bapak serta beberapa
Ibu-ibu yang asyik berjoged diiringi alunan music yang beradu dengan tangisan
anak-anak sesusia Evin yang bahkan tak terdengar oleh orang tuanya sendiri.
Makin lama Evin semakin heran melihat perilaku orang-orang dewasa itu. Bahkan
sempat dilihatnya juga penyanyi yang menghibur acara tersebut membagikan uang
lembaran merah muda kepada para orang dewasa itu.
Tiba-tiba dalam hati Evin timbul sebuah pertentangn. Ia lalu
tanpa sadar menuju belakang panggung dan hendak bertemu dengan orang yang tadi
bebricara di atas panggung.
“Permisi paman, bolehkan
saya bertanya?” Tanya Evin sopan.
“Adik mau Tanya apa?”
kata orang itu seraya mengelus rambut Evin.
“Apakah paman calon
presiden?”
“Ya, memangnya kenapa,
Dik? Adik mau menjadi presiden juga?”
Evin tersenyum, lalu
dijawabnya pertanyaan orang itu.
“Ya! Saya ingin menjadi
presiden jika saya sudah besar nanti. Tapi…” wajah Evin seketika murung.
Kemudian dilihatnya lagi orang-orang dewasa yang asyik berjoged sambil
memasukkan selambar uang ke sakunya.
“Tapi saya tidak sekaya
paman yang mampu menyewa penyanyi terkenal dan membagikan uang kepada
bapak-bapak dan ibu-ibu itu. karena saya hanya seorang yatim piatu. Dan lagi
pula, jika suatu saat nanti saya jadi presiden, saya ingin sekali orang-orang
memilih saya karena hati nurani dan mereka benar-benar mempercayai saya sebagai
pemimpin bukan karena saya kaya dan terkenal.” Setelah berkta demikian Evin
lalu pergi berlari menuju teman-temannya yang sedari tadimenungunya. Sementara
orang itu terdiam, merenungkan kalimat-kalimat seorang anak kecil yang bahkan
selalu terpinggirkan oleh kehausan kuasa dalam benak orang-orang yang
seharusnya menjadi contoh dan layak disebut dewasa.
The End
By: Ratih
Present’s
Cerita dari Rahasia III
Eps.
^_^
Ini berawal dari
perkenalanku di suatu media social di internet. Waktu itu ia mengirimkan sebuah
pesan yang memintaku untuk memberikan nomor handphoneku. Tapi meskipun ia
mengirimkan berulang-ulang pesan yang sama, aku tetap saja tidak membalasnya.
Karena seperti halnya laki-laki lain, pesan atau permohonan seperti itu
pastilah sekadar keisengan belaka.
Berhari-hari kemudian, aku hendak membuka akun sosialku.
Kudapati begitu banyak pesan yang ia kirimkan kepadaku. Dan akhirnya aku
memutuskan untuk membalas puluhan pesan itu dengan sebuah kata Tanya yang
teramat singkat.
“Kenapa?” ketikku pada
komputerku. Dan seperti biasa ia membalasnya dengan banyak pesan entah itu
berupa pesan ekspresi ataupun kata-kata yang menandakan bahwa ia begitu senang
akan pesan balasanku.
Singkat cerita, laki-laki itu telah menyimpan nomor handphoneku
di hanphonenya. Suatu ketika ia mengirimkan sms padaku untuk pertama kalinya.
Dan itu pun langsung aku balas dengan kata Tanya yang sama. Juga seperti
laki-laki lainnya, ia begitu ingin tahu dengan apa yang aku lakukan, dengan
pemikiranku terhadapnya serta terkadang menceritakan semua masa lalunya yang
membuatku tertarik menceritakan masa laluku terhadap cinta pertamaku.
Dari kejadian-kejadian dan cerita-cerita itulah aku mulai dekat
dan mengenal laki-laki itu. ceritanya yang selalu membuatku tertawa, rayuannya
yang kadang membuatku tersipu, atau sifat naturalnya yang sederhana. Kesemua
itu akhirnya membuatku luluh dan kuputuskan untuk menerimanya sebagai pacar.
Beberapa bulan pertama kami pacaran, aku mulai tahu sesuatu dari
laki-laki itu yang membuatnya terlihat berbeda. Ia tak pernah sungkan
menerangkan keburukannya padaku juga mengungkapkan segala yang sebenarnya tidak
disukainya dariku. Namun, laki-laki itu tetap memberi perhatian padaku. Ia
selalu menanyakan waktu makanku, baju yang aku pakai ketika pergi bersamanya,
cara dudukku dan sebagainya.
Hingga pada suatu hari, setelah bertemu denganku, ia langsung
pergi begitu saja tanpa aku ketahui. Tak lama setelah itu, seorang temannya
mengatakan sesuatu yang membuat jantungku berdegub kencang dan ingatanku runtuh
seketika. Ya, pagi itu aku mendengar bahwa ia mengalamai kecelakaan dan kini
sedang berada di puskesmas. Tanpa sanggup berkata apa-apa lagi, aku segera
menuju puskesmas dan kulihat laki-laki yang pernah kuanggap gila itu terbaring
tak berdaya di atas kasur dorong. Tampak tangannya, baju putih yang ia kenakan dan
wajahnya dilumuri begitu banyak darah yang keluar dari luka-lukanya. Tubuhku
seketika lemas. Mataku mulai basah beruarai air mata ketika para suster
membawanya ke rumah sakit menggunakan ambulans. Semakin lama kupandang ia
semakin jauh dan akhirnya semuanya gelap.
Ketika kubuka mataku, aku langsung sadar akan keadaan sekeliling
yang menatapku dengan penuh keprihatinan. Dalam hati aku menerka-nerka apa yang
telah terjadi pada laki-laki bodoh itu.
“Beristirahatlah dulu.
Nanti kami akan mengantarmu menjenguknya.” Kata seseorang yang seringkali
mengajakku pergi ke tempat-tempat yang sebelumnya tak pernah aku ketahui.
Orang-orang lain
disampingnya lalu tersenyum. Tapi dadaku masih berdegup cepat dan perasaanku
masih sangat kacau.
Selama hari itu, orang-orang dekatku mulai membujukku untuk
makan. Tetapi sayangnya rasa cemas yang menderu di hatiku lebih besar daripada
rasa lapar perutku.
Akhirnya aku tiba jug di rumah sakit tempat laki-laki itu
dirawat. Dari langkah pertamaku, sudah kulihat ia masih hanya terbaring di
ranjangnya dengan beberapa tempelan perban di wajah dan tanganya.
“Aku tahu kau pasti akan
memarahiku.” Katanya sambil menunduk.
“Tentu saja! Aku sangat
marah padamu dan aku tidak akan mengurungkan pemikiranku bahwa kau memang
laki-laki gila dan bodoh!” sahutku kesal.
“Maaf…” ucapanya lagi,
lirih.
Sementara aku masih
berusaha menjelaskan padanya bahwa aku memang benar-benar marah. Tapi sayangnya
lagi aku bukanlah seorang artist Hollywood yang telah mendapat banyak
penghargaan. Aku tak bisa menahan luapan air mataku dan tak kuasa untuk segera
memeluknya.
“Jangan memelukku jika
kau tak menciumku dulu.” Celetuknya.
“Terserahlah apa katamu.
Kali ini aku akan lebih gila darimu!” Ia tertawa, seakan-akan tak ada
sedetikpun peristiwa seperti ini dalam pengalamannya. Sedangkan aku tetap
memeluknya erta dan membiarkan air mataku jatuh menguraikan penat dan cemas
yang sempat menderu di hatiku.
The End
By: Ratih
Present’s
Cerita dari Rahasia IV
Eps.The
Last Child
Aku menyadari bahwa kami telah tumbuh dewasa dengan cepat. Masa
kanak-kanak yang dulunya kuanggap sebagai masa yang paling menyenangkan dalam
fase hidupku, kini tidak berlaku lagi. Sekarang kami telah remaja, kami punya
banyak tugas-tugas yang harus diselesaikan dan kami tidak lagi bisa melompati
kotak-kotak yang kami gambar diatas tanah atau sekadar mencari teman kami yang
sangat pandai bersembunyi bersama-sama.
Kini, kami punya teman lain di tempat-tempat yang berbeda. Kami
hanya focus pada diri sendiri dan menghiraukan guyon-guyon yang pernah membuat
kami terbahak-bahak bersama. Kami berada pada jurang yang berbeda sehingga
sangat sulit hanya bertegur sapa.
Karena hal itulah, aku lebih sering mendiamkan diri di kamar dan
membuat keasikan sendiri daripada harus linglung memandangi halaman rumah yang
sepi. Hanya sesekali kudengar tawa dan tangis adik-adikku yang dengan riangnya
berlarian saling mengejar. Sedangkan aku, tetap hanya diam. Terkadang juga aku
harus menghempaskan emosiku akan hal-hal yang sebenarnya tidak aku mengerti.
“Tuhan, apakah hal
seperti ini harus dialami smua ciptaan termasuk aku?” tanyaku pada Tuha. Tetapi
setelah lama kutunggu, Tuhan tak memberikan jawaban apapun.
“Tuhan, akankah ini akan
berlangsung lama?” tanyaku lagi, tetapi tak satupun kata yang terucap.
“Tuhan, adakah kesalahan
berat dan besar yang harus aku tanggung hingga hari ini?” aku mencoba bertanya
lagi, lagi dan lagi sampai Tuhan mau memberikan jawaban. Tetapi Ia tetap saja
membisu. Tetap tak beruarasampai aku mulai merasa sangat dan teramat lelah.
Aku mulai marah, aku mulai membenci diriku dan kehidupan yang
aku dapatkan, aku tidak lagi bertanya pada Tuhan, aku selalu mengeluh dan aku
mulai memaki-maki diriku yang tidak pernah beruntung.
Orang-orang disekelilingku mulai menggapku aneh, abnormal atau bahkan
ada yang mengatakan aku gila. Mereka menjauhiku dan itu juga yang membuatku
akhirnya jatuh dan menangis.
“Menangislah dan
keluarkan semua kekesalanmu, seluruh kegundahanmu, dan segala yang selama ini
kau pendam sendiri.” Kata sebuah suara dari sosok bercahaya putih.
Aku pun menangis semakin
deras dan kencang. Tak peduli berapa banyak sosok lainj yang menatapku dengan
berbagai pandangan. Yang jelas kali ini aku memang benar-benar lelah dan hampir
saja menghakhiri hidupku.
“Kau tak perlu khawatir
dan takut dengan orang-orang di luar dirimu. Karena pada dasarnya mereka sama
sepertimu. Hanya saja mereka terlalu naïf untuk mengakuinya.” Ucap sosok
bercahaya putih itu lagi.
Setelah mendengar kalimat itu, hatiku mulai merasa tenang.
Tangisku juga mulai mongering dan mataku menatap lekat sosok itu.
“Siapa kau?” tanyaku
akhirnya. Sosok itu tidak langsung menjawab, ia tersenyum lebar dan tampak
matanya yang jernih menyiratkan sebuah ketenangan.
“Aku adalah penerang.
Tetapi bukan matahari yang kau lihat setiap pagi hari atau lampu pijar yang
menemani malammu yang panjang. Aku adalah yang bertugas menerangi diriku
sendiri dan orang-orang yang sangat membutuhkanku. Aku adalah dirimu.” Jawab
sosok itu lembut.
Lalu setelah itu, aku sontak membuka mata dan terbangun.
Ternyata itu hanyalah mimpi. Mimpi yang awalanya selalu melayang dalam
pikiranku tapi batal terjadi. Karena pada dasarnya Tuhan telah memberikan
jawaban yang begitu jelas atas segala pertanyaan yang mungkin belum sempat aku
pikirkan. Tuhan telah menyatakan bahwa sudah semstinya aku mensyukuri apa yang
kau dapatkan, meski itu adalah hal terburuk sekalipun. Juga aku telah menyadari
bahwa banyak sekali orang-orang yang memperhatikanku dan selalu menyayangiku.
“Just believe that the peoples who always mocking
you, are who caring dan loving you always.”
The End
By: Ratih
Present’s |Nyepi’s Day, 2014|
Komentar
Posting Komentar