Cerpen :)




The Thorny Rose


“Hei! Sedang apa kamu disana?” Seorang berteriak kepada gadis kecil yang terlihat begitu polos itu. Ia lalu mendekati gadis yang segera menghentikan kegiatannya.
“Sedang apa kamu di tamanku?” Tanya orang itu lagi.
“A,a aku hanya ingin melihat bunga merah yang ada disini. Tapi jika aku tidak diijinkan untuk melihatnya saja, aku akan segera pergi.” Gadis mungil itu sejenak terdiam. Memandangi kaki orang itu tanpa pernah mau melihat wajahnya.
“Apa aku pernah mengatakan bahwa aku melarangmu untuk melihat tamanku?” Seseorang itu membungkukkan sedikit tubuhnya untuk melihat wajah gadis mungil itu dengan lebih jelas. “Kenapa diam? Apa kamu juga takut kepadaku seperti orang-orang lain?” Seseorang itu tersenyum sinis. Tubuhnya kembali tegak dan melangkah melewati gadis mungil itu. “Jika kamu menginginkan bunga itu, ambil saja. Dan aku tidak akan memarahimu.” Orang itu lalu kembali ke teras rumahnya yang sepi tanpa melihat lagi bagaimana gadis yang termangu di belakannya.
“Aku tidak takut kepadamu. Aku hanya tidak ingin dianggap tidak sopan olehmu. Karena jika itu terjadi Ibuku pasti akan mengomeliku sepanjang hari.”Gadis itu angkat bicara. Nada suaranya sedikit naik ketika menceritakan bagaimana ia akan dimarahi Ibunya atas tingkah lakunya. Seseorang itu tetap berjalan mendekati kursi yang hampir reyot di teras rumahnya. Bibirnya menyunggingkan senyum yang tidak seperti biasanya. Gadis mungil itu terlalu polos untuk berbohong akan segala hal. Itu terlihat jelas dari matanya yang berbinar seperti berlian yang digantungkan pada kalung yang melingkari leher kecilnya.
“Selama ini belum pernah ada orang yang mengatakan hal itu kepadaku, jadi kamu adalah orang pertama. Dan kamu tau alasanya?” Gadis kecil itu terdiam. Kepalanya tidak tertunduk lagi. Sekarang terlihat jelas berlian yang berkilau di matanya itu.
“Karena orang-orang itu tidak bisa mengartikan aku. Mereka tidak pernah mengerti bagaimana sisi internalku. Mereka hanya mengandalkan apa yang mereka lihat saja.” Seseorang itu sedikit demi sedikit meneguk minuman dalam cangkir yang ia suguhkan untuk dirinya sendiri. Hanya secangkir teh hangat tanpa peneman apapun.  
“Dan soal mengapa orang-orang itu akhirnya takut padaku, itu karena aku seperti bunga di tamanku. Apa kamu tau namanya?”
“Nama bunga itu?” Gadis itu menaikkan sebelah alisnya. “Tentu saja aku tau bahwa bunga itu adalah mawar. Bunga yang menurutku paling indah.” Sambungnya.
“Paling indah? Tapi apa kamu tau ada banyak duri di batangnya?” Tanya orang itu lagi.
“Tentu saja. Ibuku sering menasehatiku agar aku seperti bunga mawar. Yang melindungi rangkaian kelopak-kelopak indahnya dari tangan-tangan jail yang akan merusak kecantikannya. Karena itu juga Ibuku memberikanku nama yang sama seperti bunga itu. Mawar” Gadis itu tersenyum. Senyuman manis yang memperlihatkan betapa ia sangat bangga dengan namanya.
Seseorang itu bergeming. Sorot matanya tertuju pada satu titik khayal yang memutar episode-episode lampau tentang kehidupannya. Dan sinar mentari yang menyentuh wajahnya berhasil memperjelas buliran air yang menggenangi pelupuk matanya.
“Kamu menangis? Apa aku telah mengatakan yang seharusnya tidak kukatakan kepadamu?” Gadis kecil itu lalu mendekati seseorang itu. Tangan mungilnya spontan menyentuh wajah orang itu yang terasa begitu lembut. “Ibuku bilang, jika kamu menangis, segera usaplah air matamu agar orang lain tidak bersedih karenamu.” Tangan mungil itu mengusapnya dengan lembut dan tulus. Sorot matanya menggambarkan betapa ia tidak ingin melihat orang yang berada didepannya itu menangis. “Apa akan ada orang yang bersedih karena aku menangis? Tapi kurasa tidak.”
“Orang-orang yang mencintaimu akan melakukannya. Mereka pasti merindukan sosok dirimu yang terdahulu. Periang dan tersenyum.”
“Apakah itu juga kata Ibumu?”
Gadis itu tersenyum malu. Wajah bulatnya tampak semakin bersinar ketika angin menyibakkan helai-helai rambutnya yang terurai.
“Kamu sama sepertiku dulu. Selalu bisa membuat orang lain tersenyum karena ulahmu. Karena itu banyak orang yang merindukanmu.” Orang itu mengusap lembut rambut gadis kecil itu. Hatinya tampak tenang setelah gadis kecil itu datang seperti sebuah siulan seruling yang terbang membelainya dalam mimpi indah yang mengantarkannya menuju jiwanya yang sebenarnya.
“Apa kamu tau siapa namaku?” Tanya orang itu lirih.
“Dari awal kamu tidak pernah memperkenalkan diri kepadaku.”
“Baiklah, aku akan memperkenalkan diri padamu, namaku sama seperti namamu. MAWAR. Ibuku juga yang memberikan nama itu.”
“Benarkah? Huuff.. aku kira hanya aku yang bernama Mawar di dunia ini. Tapi tak apa, itu berarti aku punya teman.”
Mawar dan Mawar itu tertawa. Keceriaan berhasil tercatat lagi dalam halaman kehidupan para insan itu.
“Mawar, apa kamu tau tentang apa yang kulakuan ketika aku sendiri di rumah ini?” Tanya seseorang itu tiba-tiba.
“Keberadaanku disini sekarang adalah yang untuk pertama kalinya. Karena selama ini Ibuku selalu tidak mengijinkanku untuk bermain di rumah ini.”
“Mengapa? Apa ibumu takut kamu akan terluka setelah pulang dari rumahku?”
Orang itu berdiri, memandangi bunga-bunga mawar di taman yang tampak lebih indah dari kehidupannya ini. Air matanya kembali berlinang. Dadanya semakin terisak mengingat betapa ia sangat merindukan orang-orang yang ada dalam kehidupannya dulu.
“Ibuku bisa saja berpikir seperti itu. Tapi aku yakin kamu adalah orang yang baik. Orang-orang itu pasti sangat menyesal telah menjauhimu.” Gadis kecil itu berusaha meyakinkan bahwa orang yang bernama sama dengannya itu adalah orang yang memiliki arti besar dalam kehidupan orang-orang yang menyayanginya.
“Kamu yakin aku tidak akan menyakitimu?”
“Tentu saja. Ibuku melarangku untuk berpikir buruk terhadap orang lain sembarangan.”
“Kamu memang benar-benar anak yang berbakti. Aku juga yakin bahwa suatu saat nanti, kamu akan menjadi seseorang yang dirindukan banyak orang.”
“Aku hanya berusaha menjadi mawar yang memerindah taman itu.”
Gadis kecil itu lalu tersenyum kembali. Senyuman dan binary matanya seperti air yang menyejukkan hawa panas. “Aku akan sering menemuimu disini.” Gadis dan senyuman yang semakin melebar itu lalu menghilang di balik pintu gerbang rumah itu. Kembali tercium aroma mawar yang setia menemani mimpi orang itu. Matanya tetap focus pada suatu titik khayal. ‘Berusaha menjadi mawar…’ ujarnya dalam hati.

Komentar

Postingan Populer