Cerpen ---- Berhentilah Disini
Berhentilah Disini
Telah
terbayang hampir setiap waktu film tentang dahulu. Tentang masa dimana kita
sebagai sepasang kekasih. Tentang kau dan aku. Tapi kini sudah lebih dari
setahun aku tidak pernah melihatmu lagi. Hanya sebentar dan itupun hanya lewat
mimpi-mimpi malamku. Sebanarnya aku ingin sekali mengatakan ini kepadamu, tapi
aku terlalu muak untuk melihatmu. Menatap mata tajammu yang akan terus
memandangiku sampai aku lumpuh. Aku benci jika kau sekarang melakukan itu
tetapi aku sangat merindukannya. Aku merindukan masa itu. Tapi bayangan itu
pasti selalu kuusir jauh-jauh karena rasa benci dan marahku akan selalu muncul
terhadap semua yang menceritakaanmu.
Pernah waktu itu, kau kembali
menghubungiku. Berkata bahwa kau masih memiliki perasaan yang pernah kuberikan
untukmu dulu. Kau berkata dengan bermacam-macam diksi yang ada dalam kamus
cinta. Dan aku muak dengan semua itu. Apa sebegitu mudahnya seseorang sepertimu
meminta cinta yang dulu pernah kau hianati? Mungkin itu bisa meluluhkan kembali
hati orang lain yang akan menerimamu kembali, tapi tidak denganku.
“Hatiku
terlalu sayang dibuka lagi untuk orang sepertimu!” kataku tanpa menoleh
kearahnya. Meskipun tidak langsung melihatnya, tapi dengan dia berada tepat di
belakangku cukup membuatku naik pitam. Selalu bayangan menyakitkan itu
terngiang di otakku dan berhasil membuat mataku perih.
“Tapi
apakah aku tidak berhak atas kesempatan kedua? Apa aku tidak dapat lagi
memilikimu seperti dulu? Atau kau sudah punya kekasih yang lain?” tanyanya tak
mau mengalah.
“Kesempatan
kedua? Kau pikir segampang itukah?! Tidak!” aku mencoba mengendalikan emosiku
yang semakin tidak karuan. Perkataannya telah membuat mataku makin perih.
“Dan
soal apakah aku sudah punya kekasih lain atau tidak, it’s not your problem!!”
Aku lalu pergi dari tempat menyebalkan itu. Perasaanku jadi kacau balau
gara-gara orang itu. Dan aku terisak. Sekali lagi ini karena perasaanku yang
tidak bisa kuhapus kepada orang itu. Isakkanku makin menjadi sebuah penolakan
atas apa yang telah kukatakan tadi.
Dalam buaian angin laut yang berhembus
menuju pantai bersama deburan ombak yang kian menyeret kepingan-kepingan hati
yang rapuh dan akhirnya pecah itu, aku bergeming. Tatapanku terfokus pada
matahari yang hampir terbenam di kejauhan. Sore itu aku memutuskan untuk
menenangkan diri disini. Tapi keinginanku tidak sesuai dengan apa yang
kurasakan. Kupikir kali ini aku yang telah salah memilih tempat ini sebagai
tempat menenangkan diri. Bayangan tentang dia malah semakin kuat kurasakan.
Seperti seseorang yang frustasi, suaranya melantunkan sebuah lagu yang ia
nyanyikan untukku sayup-sayup terdengar. Bahkan jika pertanyaan ini muncul,
‘apakah aku masih ingat?’ jawaban yang akan terlontar adalah “YA” aku masih
ingat, ingat sekali bagaimana ia menutup mataku dengan kedua tangannya, mencoba
memberikan surprise pada hari ulang
tahunku. Setelah kubuka mata, tampak sebuah meja dengan dua kursi saling
berhadapan lengkap dengan berbagai pernak-pernik dan hiasan lilin serta
setangkai mawar merah. “Silahkan duduk, Tuan Putri…” ucapnya lembut bak seorang
pelayan yang sedang melayani tamu istimewa. Aku pun duduk dengan perasaan
berdebar dan teramat senang. Kurasakan indahnya pantai yang begitu indah
bersamanya saat itu…
“Huss!!!
Kenapa aku masih mengingatnya? Come’on guys, it’s past which needn't be remembered!!”
aku berusaha memberontak hatiku. Mencoba move
on dan move up menjalani
hari-hari yang membuktikan bahwa aku memang bisa tanpa dia.
“Kau
yakin dengan perkataanmu kemarin?” katanya saat tiba-tiba dia sudah berada
disampingku pagi itu. Aku menghela nafas panjang. Mencoba agar mataku tidak
berair lagi setelahnya.
“Aku
yakin dan sangat yakin! Apa aku harus membuatkanmu surat keputusan untuk hal
ini? Tapi kurasa tidak. Karena perbuatanmu dulu sudah cukup menguatkan
pernyataanku kemarin!” kataku sedikit membentak. Kulihat ia tampak sangat
kecewa dengan jawabanku. Wajahnya menunduk sehingga aku cukup berani untuk
sekadar melihatnya lekat-lekat. Dan astaga!! Jantungku berdebar sangat kencang.
Kurasa ia akan keluar dari rangka tubuhku dan berlari-lari atau bahkan
melompat-lompat tak menentu. Kurasakan hangat yang sedang menjalari tubuhku
sekarang. Mataku tak berkedip menatap kepala yang menunduk itu. Dalam benakku
muncul pertanyaan yang seringkali berputar di otakku. “Kenapa kau menghianatiku
dulu hingga membuat hatiku sakit sekali? Tapi mengapa aku tidak pernah
melupakanmu? Mengapa aku selalu saja tidak berhasil membunuh kenangan kita dari
pikiranku? Dan kenapa kau masih tetap ada disini?! Tolong jawablah!!!” nafasku
terengah-engah. Aku seperti seseorang yang telah memuntahkan segala isi hatinya
habis-habisan. Tapi pertanyaan-pertanyaan itu hanya dapat berputar tanpa suara.
Mungkinkah dia mendengarnya?
“Meskipun
kau mengatakan berbagai kebencianmu terhadapku saat ini, tapi hatiku sangat
yakin jika kau adalah orang yang ditujukan untukku dan aku juga yakin kau masih
memiliki perasaan yang sama sepertiku.” Ucap lelaki itu mantap. Matanya yang
tajam itu mulai menatapku dan itu tak berani kulihat. Giliranku yang menunduk.
Perlahan bendungan mataku tak mampu menahan air yang memberontak keluar.
Akhirnya aku terisak lagi. Sekali lagi dan begitu seterusnya hingga semakin
deras.
“Luna?
Kau menangis? Apakah kehadiranku mengganggu sampai kau berurai air mata?
Baiklah, aku akan pergi..” lelaki itu bangkit dari posisinya dan hampir menjauh
dariku. Namun sesuatu kembali memberontak. “Sam,” ucapku lirih. Lelaki itu
berhenti tetapi punggungnya tetap menghadapku. “A, aku, bolehkah aku meminta
satu hal padamu?” tanyaku tetap lirih. Lelaki itu tidak membalikkan badannya,
hanya menoleh sekejap.
“Apa?
Kau memintaku untuk sekali lagi menjauhimu? Baiklah, meski sulit tapi aku akan
berusaha agar kau senang.”
“Bukan,
Sam. Aku hanya ingin kau berhenti berusaha untuk meluluhkan hatiku kembali. Karena
hatiku sudah mengeras dan membatu…”
“Itu
sama saja!” pekiknya memotong perkataanku.
“Sam,
hatiku memang telah membatu, tapi apa pernah kau sadari? Bahwa kau ada di
dalamnya! Dan aku memintamu untuk berhenti meluluhkan hatiku karena hatiku akan
selalu luluh jika berhadapan denganmu, Sam! Jadi aku mohon kepadamu,
berhentilah seperti ini. Karena kau selalu berhasil membuat aku menangis
seperti sekarang. Kau, kau telah membuatku lumpuh, Sam..” air mataku kembali
mengalir. Kini diiringi dengan isakkan yang mungkin dapat didengarnya. Dia,
Sam, mendekatiku. Tangan panjangnya seketika merengkuhku dan aku terbenam dalam
pelukan itu. Kali itu untuk pertama kalinya setelah sekian lama aku memendam
rasa benci, amarah dan kerinduanku terhadapnya. Jantungku berdebar dan rasa itu
kembali merasuki ruang yang telah lama merindukan penghuninya. “Luna,
ketahuilah jika aku akan selalu mencintaimu dan menghapus air mata yang
mengalir karena kesalahanku.”
“Dan
ketahuilah juga, Sam, selama ini aku sangat berharap kau berhenti, berhenti di
hatiku..”
Komentar
Posting Komentar