Cerpen_Bidadari Dari Bumi
Bidadari Dari Bumi
Dia datang dari surga
yang diidamkan para pendeta, Rsi dan Pendeta. Dia lahir dari sebuah tanah elok
yang disebut khayangan. Tempat para peri dan dewa bekerja dan tertidur. Dia
adalah saksi dimensi lalu dan akan datang yang membuatnya harus melangsungkan
kehidupan dalam perjuangan yang harus tidak mengenal keluh dan putus asa. Dia
adalah bagian dari para sakti yang dapat
mengubah semua dalam hidupnya. Dia adalah dewi cinta dan kasih saying dari
surga tadi. Dia adalah yang termulia dan selalu dihormati meskipun Dia tidak
pernah menginginkan persembahan itu. Karena Dia hanya bekerja sesuai profesinya
sebagai yang telah melahirkannku. Dia adalah Ibuku.
“Saat nanti kamu
dewasa, jadilah orang yang selalu menebar senyum.” Begitu katanya ketika aku
sama sekali tidak mengerti bagaimana caranya untuk hidup seperti manusia bijak.
Namun ketika aku kembali bertanya untuk keseribu kalinya, dia tetap menjawab
hal yang sama. Dan Dia sama sekali tak memberikan penjelasan padaku tentang
senyuman itu.
“Kamu nanti akan
mengerti. Ketika kamu dewasa, Nak.” Otot pipinya kembali menarik rahang untuk
melengkung manis padaku. Bibirnya yang merah terlihat tidak asing bagiku karena
bibir itulah yang selalu berucap ketika aku melontarkan setiap kalimat Tanya
yang tak penting. Juga matanya yang selalu menyorotkan betapa berartinya
kata-kata yang sedang diucapkannya padaku. Tangannya pun tak letih atau bahkan
pegal untuk selalu mengelus rambut hitam yang ia wariskan padaku. Dan saat aku
terbaring lemas di perbaringan yang dibuatkan senyaman mungkin sebagai alasku
memimpikan segala hal ajaib, Dia akan selalu siaga kalau-kalau aku membutuhkan
seteguk air atau segenggam nasi, dia akan segera melangkahkan kembali kedua
kakinya yang tampak sangat kuat tanpa letih mengambilkan air dan nasi yang
kuminta.
Saat itu sama sekali ia
tak menyadari bahwa aku telah dewasa. Karena ia terlalu sibuk dengan usahanya
untuk mengabulkan segala permintaanku entah sulit atau sangat konyol untuk
diwujudkan. Aku telah mengerti bahwa hidup adalah perjuangan yang harus
kulakukan untuk membayar semua peluh yang Dia teteskan untukku. Bahwa aku harus
membayarkan tidak dengan uang koin atau kertas atau bahkan kartu kredit tapi
dengan usahaku untuk membanggakan dan membuatnya tetap ternyum. Aku harus membayar
segala suara yang ia naynyikan sampai serak hanya demi menenangkan dan
menidurkanku dalam pelukkanya. Aku harus membayar pengelihatannya yang tidak
henti-hentinya memperhatikanku ketika aku bermain dan segera berlari kencang
karena aku terjatuh dan menangis. Aku harus membayar pegal tangan dan kakinya
ketika ia menggendongku sambil berdiri karena aku akan menangis jika Dia
meninggalkanku di atas kasur karena hendak membuatkan makanan untukku. Dan Aku
harus membayar retak tulang-tulangnya ketika ia bekerja melayani pembeli yang
hendak membeli barang dagangannya demi memberikanku segala perlengkapan sekolah
yang kusukai.
Ketika Dia belum juga
sadar bahwa dongeng yang selalu Dia bacakan untukku setiap malam dan terus
berulang-ulang adalah cerita dengan tokoh nyata yang kutemui sekarang. Dia
punya gaun indah seperti Putri Jasmine yang membuatnya selalu tampil cantik di
hadapan ayahku. Dia punya tongkat ajaib seperti peri biru yang akan
membuatkanku makanan kesukaan dan membersihkan ranjangku setiap hari. Dia juga
punya sepatu kaca seperti Cinderella yang menguatkan langkah dan pendiriannya
untuk mengajariku satu persatu tata krama yang sebelumnya asing kudengar.
Terakhir Dia punya mahkota seperti Ratu Elisabhet yang membuatnya selalu
terlihat agung dan bijaksana dalam kedudukannya sebagai seorang Ibu.
Jika suatu ketika nanti
aku dewasa dan paham kalimatmu,
Maka aku sangat berdosa
jika tidak mengindahkamu,
Karena bukan saja
Pinokio yang hidungnya panjang jika berbohong,
Atau pangeran buruk
rupa yang berubah seram karna berbuat sombong,
Aku juga seharusnya
tidak memakimu kau menasehatiku,
Karena aku hanya ulat
yang tak akan berubah menjadi kupu-kupu jika kau tak memberikanku kemampuan
untuk menjadi kepompong,
Aku juga tidak akan
bisa terbang kalau saja kau tak meniadakan perut laparku untuk membuat
sayap-sayapku tumbuh kuat,
Maka Ibu, berikan aku kesempatan untuk sekadar
mengusap peluh dan air mata yang mengalir karena aku…
Baru saja aku terbangun dari mimpi ajaib dari negeri
logikaku. Ketika itu mentari sudah mendahului kesadaranku terjaga. Burung
kenari milik pamanku pun sudah mulai bernyanyi mengiringi derung kendaraan di
jalanan. Orang-orang sudah sibuk kembali mengejar mimpi-mimpi yang belum
terselesaikan agar terwujud. Saat itu juga kucium aroma semerbak melati di
samping kamarku. Juga suara wajan dan spatula serta aroma nasi goreng tak kalah
menyibukkan waktu yang baru dimulai ini. Aku segera beranjak dari ranjangku dan
ikut menyibukkan diri. Mulai dari mandi dan menggenakan pakaian seragam yang tak
pernah lelah membalut ragaku selama tiga tahun ini. Lantas aku menuju ruang
makan. Kulihat Ibuku telah selesai menyiapkan makanan untuk aku, ayah dan
adikku.
“Bu, tumis kangkungnya
mana?” Tanya adikku dengan dahi mengkerut.
“Kemarin kan sudah ibu
buatkan khusus buat kamu. Sekarang ya Tahu pedas manis untuk kakakmu.” Sahut
ibu seraya menyendokkan sesendok nasi untuk adikku.
“Ah, kakak curang.” Omel adikku lagi.
“Ah, kakak curang.” Omel adikku lagi.
“Lha, curang gimana?
Kakak kan gak ada nyuri makanan kamu semalam.” Jawabku menjulurkan lidah.
“Ih, Bu bilangin kakak
tuh! Aku diledek, Bu!” rengek adikku.
“Sudah-sudah ini masih
pagi. Jangan berantem ah!” sahut ibu lagi.
“Kalian ini, tiap pagi
pasti ribut. Ayo habiskan nasinya. Kalian gak mau telat kan datang ke sekolah?”
kata ayah menimpali.
Aku dan adikku pun
diam. Sedangkan Ibu dan ayah hanya tersenyum melihat tingkah kami berdua.
Hhh… pagi itu hari yang
sangat cerah. Mawar di tamanku bermekaran lebih banyak dan kicauan si kenari
semakin nyaring terdengar sampai aku mengikuti jejak langkah para orang yang
menjadi sukses berkat baktinya kepada sang bidadari dari bumi. Ibu,
terimakasih…
23 Nov’2013- Ratih Present’s
Komentar
Posting Komentar