Cerpen_Mate sama Tika


MATE-saMA-TIKA

Berbeda  dan sangat tidak biasa dengan hari ini, tapi mengapa Dia tetap bersikeras duduk disana? Tanpa seorang pun yang berada dalam tempat umum yang sepi itu. Dia selalu melesatkan matanya pada semua arah, tak terdeteksi atau tidak seperti bilangan rasional yang bisa dijabarkan menjadi bentuk pecahan. Tak juga seperti satu angka dibagi satu tapi nol dibagi satu tatapan yang tajam Dia layangkan pada orang-orang yang menanyakannya.
“Mbak, mau beli kacang rebus?” Tawar seorang pedagang.
“Tidak.” Jawabnya ketus.
Dan tanpa berbicara lagi, pedagang itu pergi membawa setimbunan kacang yang sepertinya baru saja di angkat dari kuali.
Dan dia, juga kembali pada ritunitas awalnya. Menunggu sesosok tubuh datang menghampirinya, tapi bukan pedagang asongan beserta daganngannya yang belum sempat terjual itu.
“Did so long you waiting here?” Tanyaseseorang. Ketika melihat orang itu, sontak tubuhnya terbangun dan memeluknya. Pelukkan yang akan sedikit membayar persentase kerinduannya terhadap orang itu.
“Kau tetap seperti dulu, dan kurasa kau semakin tinggi.” Kata orang itu sambil mengusap rambut Tika, orang paling setia menunggunya sampai sekarang.
“Kau juga, kau tak pernah bisa membuatku tidak menantimu, Mate.” Dan mereka saling tersenyum. Binar-binar kebahagiaan terpampang jelas pada wajah mereka yang memiliki campuran Ras yang berbeda.
“Did you very missing me, Tick?” Tanya Mate seraya membuka kopernya yang berisi banyak barang, mencari sesuatu.
“Oh Mate, don’t call me Tick, please if you really recognizing me.” Tika tampak kesal, tapi Mate sudah menebak lebih awal bahwa itu akan terjadi. Ia lalu mengeluarkan sebuah kotak, warna orange dihiasi pita kecil berwarna kuning.
“What it is? Kau coba menyogokku lagi ya?”
“Hahaha…. Apakah terlalu sering aku seperti ini sampai-sampai kau juga hapal dengannya?”
“Well, kali ini aku terima lagi sogokkanmu. Tapi jika kali ini isinya sama, aku tidak akan memakannya karena aku punya terlalu banyak di rumah.”
Tika membuka kotak itu. Dan isinya bukan yang seperti biasa, tapi sebuah benda yang tak sedetikpun sempat ia bayangkan.
“Necklace? This is for me?”
“Another people here?” Mate merangkulnya. Terlihat sangat jelas bahwa pipi Tika memerah dan menghangat tapi bukan karena efek globalisasi yang tidak sadar mencairkan es di kutub utara.
“Are you ok, Tick?” Mate membelai pipi merah Tika. Memastikan bahwa orang yang disayanginya itu baik-baik saja.
“Ya, aku baik-baik saja. Hanya aku heran akan hadiah ini.”
“Aku hanya ingin melihatmu memakai kalung itu di lehermu, bukan hanya coklat yang kau makan ke kerongkonganmu. Apa ada yang salah?” Mate tersenyum sambil mengernyitkan dahinya. Sedangkan Tika masih melongo.
“Honey? Sudahlah, kita pulang saja. Lagipula Ibumu pasti tengah menunggu anakknya yang cantik ini.” Mate kembali merangkulnya. Tika pun mengikuti jejak Mate seraya tersenyum bahagia bahwa kalung itu telah melingkar pada lehernya dan selalu membuatnya dag-dig-dug ketika melihatnya.
“Mate, terimakasih.” Kata Tika tersenyum menatap orang itu.
“Ayolah, Tick. Ibumu bisa-bisa dehidrasi menunggumu.”    

“Ah, ada-ada saja kau.” Mate dan Tika tertawa. Pertemuan mereka menerbitkan secercah kebahagiaan. Sama seperti sebelum mereka terpisah oleh jarak dan menumbuhkan kerinduan dengan skala yang besar.
Hhh… tapi, kenyataan tidak akan slalu seperti matriks yang tetap tersusun rapi pada baris dan kolom. Tapi untuk mewujudkan sebuah keinginan, kau perlu seperti statiska, melewati tahap-tahap tersistem dari awal sampai akhir maka kau akan dapat  hasilnya.

      Cahaya berkelebat, menyilaukan dan menyembulkan sesosok tubuh dengan bayangan hitam. Tetapi, Tika tidak tau siapa sosok yang selalu muncul entah dari mana. Tetapi, ketika ia terjaga, barulah Tika tersdar bahwa sosok itu adalah mimpi. Mimpi yang tidak pernah pergi dari setiap tidurnya hingga membuatnya selalu dan terus-menerus memikirkannya.
“Mate, kau kah itu?” bisiknya dalam hati. Pandangannya melesat jauh entah kemana. Kosong, hampa dan tanpa menyadari bahwa seseorang sedang memperhatikannya.
“Kau harus bisa merelakan kepergian Mate, Tika.” Ucap Ibu Tika yang seraya membawa sepiring nasi dan segelas air untuk Tika.
“Tapi, Bu, aku sangat merindukannya. Yang hanya ku tak habis pikir, kenapa Mate begitu kejam dan rela meninggalkanku disini??” bulir-bulir air mata mulai membasahi pipi Tika. Tak sanggup rasanya membayangkan betapa perihnya ditinggalkan oleh orang yang sangat disayanginya.
“Bu, andaikan saja aku bisa memutar waktu, aku ingin kembali dan mencegah semuanya. Mencegah agar kecelakaan itu tidak terjadi!” bulir air mata Tika semakin deras. Ia mulai tak bisa menahan pikirannya.
“Nak, kamu tidak bisa melawan takdir. Kepergian Mate adalah sebuah takdir yang harus kau terima dan kau harus merelakannya. Karena jika tidak, Mate pasti juga akan sedih dan merasa tidak tenang disana.” Ibu Tika mengelus rambut anaknya dengan lembut. Hal itu sedikit membuat Tika tenang. Tetapi hatinya masih sangat tersayat akan kejadian 3 hari lalu. Hari pertama pertemuannya dengan Mate dan sekaligus hari terakhirnya.
“Ibu, apakah Mate akan tetap mencintaiku?”
“Tentu saja. Tetapi kau juga harus menjalani hidupmu selanjutnya.”
“Apakah dengan begitu Mate akan tenang?”
Ibunya tersenyum. Tampak binar ketenangan dari sorot matanya yang dalam.
“Mate pasti akan bahagia disana.”
Tika pun berusaha mengusap air matanya yang sedari tadi bercucuran. Bibirnya mulai menarik sebuah senyuman semangat. matanya mulai menyiratkan binar keceriaan seperti sebelumnya.
“Baiklah, Bu. Aku tidak akan mengurung diri dalam kamar lagi, dan akan menjalani hidup ini seperti sedia kala. I’m Promise!” ucap Tika mantap.
“Nah, sekarang makanlah. Ibu khawatir penyakit maag-mu kambuh lagi. Ibu tidak ingin kau yang masuk rumah sakit.”
Tika tersenyum lebar menatap ibunya. Ia pun melahap makanan yang dibawakan untuknya sampai tandas.

Fiuhh… Seperti sebuah roda pada sebuah sepeda, kau harus mengayuhnya agar dapat membawa sepedamu pada tempat tujuanmu. Begitulah hidup, harus kau jalani dengan perjuangan dan pengorbanan hingga kau mendapatkan sebuah kebahagiaan yang akan membuatmu tersadr bahwa, hidup itu indah karena Tuhan i mengerti…

Ratih Presents’

Komentar

Postingan Populer