Kepada Soneta_Cerpen



Suara riuh segera menyeruak seketika setelah sebuah suara lonceng nyaring mengaum di antara udara yang kering. Anak-anak usia Sekolah Dasar berlari-lari, seakan berkejaran dengan waktu. Atau ada yang terburu-buru karena sudah ditunggu. Ditunggu tugas, pengepul, keranjang, barang-barang bekas dan keluarga yang menunggu kehadiran Sang Tulang Punggung ini.
Ya, anak-anak ini adalah sebagian dari orang-orang yang harus bersusah dan menelan kepahitan dunia mentah-mentah. Mereka adalah anak-anak yatim, piatu, yatim piatu atau bahkan hidup sebatang kara dengan orang lain yang sama sekali tidak punya hubungan darah dengannya. Sepulang sekolah, ya, anggap saja gedung tua yang hampir roboh itu adalah gedung sekolah yang menjadi tempat anak-anak ini membekali diri demi, untuk dan agar mereka sanggup menjalani hidup yang semakin mencekik ini. Gedung itu sejatinya memang dibangun sebagai sekolah untuk anak-anak di pemukiman kumuh kampung ini, tetapi seperti halnya orang “berjabat” lain yang rakus dengan kuasa, harta dan sensasi, setelah pembangunan sampai peresmian dengan mengundang sejumlah saksi berupa awak media, dan seusai berita menyebar di surat kabar dan Televisi, maka selesai juga acting orang-orang itu sebagai karakter baik tapi dengan sejuta tujuan yang mulia untuk hidupnya sendiri.
Beberapa tahun dari sejak pembangunan pertama kali, tak ada renovasi kecil apalagi secara keseluruhan. Bisa dibilang gedung sekolah itu sudah tak dianggap keberadaannya. Malahan, mereka yang dulunya membangun gedung tersebut kembali membuka gedung lain dan memerankan perannya, sekali lagi hanya untuk kuasa, harta dan sensasi.
Tapi Soneta, cerita ini bukan menceritakan tentang orang-orang perut besar yang kerjanya makan duit orang lain itu, tapi ini tentang anak-anak tadi. Anak-anak yang selayaknya menggunakan waktu mereka untuk belajar dan bermain. Tetapi disini akan kuceritakan betapa kejam dunia sampai mereka harus mencari lembar-lembar agar bisa memberi sebungkus nasi untuk Ibu, Bapak, Adik, Kakak yang sedang tergolek lemah di rumah gubuk atau juga payah mengejar lembar-lembar berharga itu.
“Ini punyaku, kamu cari yang lain saja! Aku yang lebih dulu mendapatkannya!
Seorang anak lelaki berteriak kepada temannya yang tanpa mampu berkata apa-apa pergi, mencari tempat lain. Tempat lain yang dimana barang-barang bekas, botol-botol tak terpakai, Koran, kardus, besi atau lainnya sedang berkumpul menunggu mereka.
“Beta, kemari kamu!” seorang anak laki-laki lain memanggil gadis kecil yang tadi diteriaki temannya itu.
“Ada apa Bang?” Gadis kecil itu mendekat dan mendapati keranjang yang dibawa anak lelaki itu telah terisi penuh.
“Kamu sudah dapat hari ini?”
Gadis kecil itu hanya menggeleng pelan, menunduk.
“Tampaknya kamu harus banyak belajar dariku bagaimana agar kamu tak dimarahi lagi oleh Pak Lee.” Anak lelaki itu terkekeh lalu menurunkan keranjang yang berisi penuh barang-barang bekas itu dari punggungnya.
“Ini kamu ambil saja sebagian dari hasilku. Mumpung aku lagi berbaik hati hari ini!
Gadis kecil itu menatap lelaki yang sering dipanggilnya Abang itu dengan heran.
“Abang serius? Ini sudah hampir sore  dan jika aku mengambil hasilmu maka Abang pasti tidak akan dapat mengisi celenganmu hari ini.”
“Haha, itu tak apa! Lebih baik aku hanya tidak bisa menabung sekali daripada kamu dan Kakakmu tidak bisa makan hari ini.”
“Tapi Bang, aku bisa cari lagi di kompleks sebelah. Barangkali masih ada yang tersisa dan mumpung masih ada waktu sebelum jam penyetoran berakhir.”
Gadis kecil itu tersenyum seakan semangat ketika ia bangun tadi pagi kembali datang tiba-tiba. Sementara anak lelaki di depannya itu menatapnya dengan ragu.
“Baiklah kalau kamu yakin akan mendapatkan barang-barang bekas dengan cepat, kamu tidak harus mengambil hasilku. Tapi jika kamu tak dapat juga, maka mau tak mau kamu harus merasa enak hati untuk mengambilnya.”
Gadis kecil itu mengangguk mantap. Dengan segera ia menuju komplek B untuk mencari sisa-sisa yang dapat ia jadikan penopang hidupnya dan kakaknya hari ini.

“Kenapa lu olang nggak dapat apa-apa hah? Liat tuh si Bobi gendut, dia bawa banyak balang ha!” Pak Lee sedang marah-marah kepada Gadis kecil yang bernama Beta itu. Bisa diketahui dari namanya, orang itu memiliki darah Cina, juga dari matanya yang sipit tapi tidak pada kulitnya yang lebih cenderung berdebu daripada putih bersih seperti orang Cina kebanyakan. Pak Lee sehar-harinya adalah pengepul barang-barang bekas yang disetorkan kepadanya. Biasanya Pak Lee akan baik sekali apabila melihat ada anak buahnya yang membawa banyak barang bekas kepadanya. Tapi berbeda ketika ia tau kalau ada yang tidak membawa satupun barang bekas. Seperti Beta , gadis kecil itu hari ini. Ia sangat takut ketika Pak Lee memarahinya. Jadi terpaksa Beta pulang dengan tangan kosong. Tidak ada uang, berarti tidak ada sebungkus nasi untuk kakaknya dan dirinya. Ya, kesimpulannya ia akan puasa lagi hari ini.
“Sudah kubilang kan kamu pasti akan kena marah!” anak laki-laki yang tadi menawari Beta untuk membagi hasil ‘mulung’ tadi menghampirinya setelah cukup lama menunggu Beta selesai diceramahi Pak Lee.
“Tidak apa-apa Bang, ini mungkin adalah peringatan bagiku agar selalu bekerja lebih keras lagi.” Beta tersenyum. Ia merasakan senyumnya itu terlihat kaku dan juga ia merasakan perutnya meraung-raung minta diisi. Tapi Beta berusaha tetap terlihat tenang dan sehat karena hal semacam ini bukanlah pertama kali. Sudah berulang kali Beta pernah tidak mendapatkan satupun barang bekas. Salahnya juga yang terlalu percaya diri bahwa ia akan mendapatkan banyak hasil memulung dan bisa membelikan kakaknya sebungkus nasi. Tapi anggannya itu hanyalah sebuah angan. Hasilnya ya seperti ini. Menahan lapar sampai esok pagi menjelang.
     Abang melihat wajah temannya itu memucat. Tetapi seperti biasa, Beta selalu berusaha tampak sehat. Ia tak pernah mau menjadi orang yang dicemaskan oleh orang lain apalagi oleh kakaknya. Karena sejauh yang Abang tau, Beta sangat menyayangi kakaknya. Ia rela tidak makan dan tidak tidur semalaman asalkan kakaknya bisa makan dan tidur dengan nyenyak. Sekali lagi, Abang menatap wajah Beta dengan prihatin.
“Apa kamu sudah makan hari ini?” Tanyanya pada gadis kecil yang tiba-tiba berhenti dan mencari tempat duduk.
“Sudah,” jawab Beta pendek.
“Benarkah? Uang darimana? Kamu punya simpanan?” Tanya Abang lagi menyusul duduk di sebelah Beta.
Beta tidak menjawab. Ia merasa tenanganya sudah mulai habis sampai tidak bisa berbicara. Kakinya pun terpaksa ia istirahatkan sebentar dan memutuskan duduk. Kepalanya juga mulai terasa nyeri dan perutnya seakan sudah melilit rapi karna saking kosongnya. Ia terpaksa diam.
“Dasar keras kepala! Aku tau kamu sangat lapar sekarang. Aku tau kamu tidak mau berterus terang kepadaku. Tapi tolong jangan siksa dirimu seperti itu. Kau mau aku kelelahan gara-gara menggotongmu ke rumah karena kamu pingsan? Ayolah Beta, makan ini!” Abang sudah tidak tahan menahan rasa kesalnya terhadap sikap gadis kecil itu yang terlalu sering seperti batu. Ia lalu mengeluarkan sebungkus nasi dari tas karungnya dan menyodorkannya kepada Beta.
“Abang…aku tidak mau.” Tolak Beta lirih.
“Kamu ini benar-benar seperti batu! Tapi kali ini aku sudah tidak bisa mentoleransi sikapmu itu. Kamu sudah terlalu melunjak!” Abang segera membuka bungkus nasi itu dan mengambilnya sejumput dengan tangannya hendak menyuapi Beta.
“Ayo buka mulutmu!” Perintah Abang yang sudah amat jengkel.
Beta hanya melirik tangan Abang yang berisi nasi itu sekilas lalu membenamkan kepalanya pada tangannya. “Aku tidak mau memakan makanan orang lain, Bang!
Beta berusaha berteriak. Tetapi ia rasa itu cenderung seperti pekikan orang yang sedang dicekit lehernya. Sebenarnya Beta bisa saja menerima makanan dari Abang. Tapi ia sudah berjanji pada dirinya bahwa ia tidak akan pernah meminta apapun dari orang lain.
“Beta! Makanan ini kubelikan untukmu. Kamu tidak usah khawatir karena aku sudah melahap habis makanannku di warung Bu Jin tadi. Jadi kamu tidak usah merasa enggan. Anggap saja ini adalah ucapan rasa syukurku karena mendapat banyak uang hari ini. Jadi tolong Beta, jangan biarkan aku bersikap kasar kepadamu!” Abang bicara dengan sedikit menggebu-gebu. Ini benar-benar membuatnya ingin berteriak kencang menghadapi Gadis batu seperti Beta. Tapi sekali lagi, ia tidak tega meneriaki gadis kecil ini.
“Abang… kamu… marah?” Beta tersentak melihat ekspresi Abang yang ia rasa hampir meledak akibat ulahnya itu. sejenak ia hampir melupakan perutnya yang menari keroncong itu, ia terlalu kaget melihat wajah anak laki-laki itu, sedikit ngeri juga melihat tatapan tajam Abang kepadanya. Ia merasa kinilah saatnya Abang murka kepadanya…
Setelah dapat mengatur kembali napasnya dan emosinya perlahan kembali turun, Abang dapat melihat ekspresi Beta yang ketakutan. Gadis ini pasti kaget melihatnya seperti tadi jadi Abang cepat-cepat mengubah air mukanya dan mencoba memasang sutas senyum yang terkesan dipaksakan.
“Maaf Abang, aku tidak bermaksud membuatmu marah seperti itu. Kamu tau aku tidak gampang menerima pemberian orang lain apalagi itu sebenarnya bukan hakku. Sekali lagi aku minta maaf…” Beta bicara menunduk.
Abang menatap mata Beta lekat. Mata itu selalu bisa meluruhkan segala emosi di pikirannya. Ia lalu menghela napas dalam.
“Baiklah, aku juga minta maaf karena sudah memaksamu. Aku hanya ingin kamu bisa makan hari ini. Maaf, aku salah menilaimu. Kamu memang gadis kecil yang tangguh. Tapi sekali lagi tolong makanlah. Aku akan merasa berdosa bila kamu tak makan hari ini.” Kali ini ekspresi Abang seperti anak seorang Ayah yang memelas kepada anaknya agar mau makan.
Beta mengernyitka dahinya sebentar lalu terkekeh. “Abang baik, tapi terlihat konyol dengan tampang seperti itu. Tapi baiklah, aku akan menerima nasi itu dengan syarat.”
Kali ini Abang yang menaikkan sebelah alisnya, “Bukankah yang memberi pertolongan adalah aku? Tapi kenapa kamu yang memberi syarat?”
“Ya sudah kalau tidak mau. Aku juga tidak akan memakan nasi itu.” kata Beta hendak berdiri.
“Dasar Gadis Batu! Jadi apa syaratnya?” Abang mendengus jengkel.
“Syaratnya, aku boleh memberikan nasi itu kepada Kak Nela. Itu saja.” Kata Beta tersenyum.
“Apa? Kamu ingin memberikan makanan kepada orang lain sementara kamu sendiri hampir pingsan gara-gara belum makan seharian. Bodoh!
“Kak Nela bukan orang lain. Dia keluargaku satu-satunya. Dia juga pasti belum makan seharian ini karena dia, dia… kamu tau sendirilah.”  Ekspresi Beta tiba-tiba kembali murung dan Abang melihatnya. Ya, Nela, saudara kandung yang dimiliki Beta satu-satunya itu sedang sakit. Sakitnya bukan sakit flu atau batuk. Tapi Nela mengalami gangguan jiwa setelah kedua orang tuanya tewas secara menggenaskan di depan matanya. Saat itu Beta baru berusia 4 tahun. Jadi ia tidak ingat bagaimana kejadian tersebut walaupun ia salah satu korban selamat dalam kecelakaan maut 7 tahun yang lalu.
“Baiklah, kamu berikan saja ini kepada kakakmu.” Abang meraih tasnya lagi dan mengeluarkan sebungkus nasi lagi.
“Kenapa kamu beli banyak makanan?” Beta menatapnya heran.
“Sudahlah, jangan jadi Gadis batu yang cerewet, sudah ku bilang kan anggap saja ini sebagai rasa syukur atas rejekiku hari ini.” Abang tersenyum lalu mengambil tangan Beta dan menyerahkan bungkusan nasi itu padanya. “Dan yang sudah terlanjur dibuka ini sebaiknya cepat kamu habiskan. Tidak baik kalau makan makanan yang lama-lama terkena udara.Kamu bisa masuk angin.” Penyakit jail Abang sepertinya kambuh lagi. Ia lalu melirik Beta dan mendapati wajahnya yang heran.
“Apa hubunganya?” Beta mulai melahap nasi itu tanpa mengacuhkan kata-kata temannya itu.
“Tentu saja itu berhubungan. Ini sudah hampir malam kamu tau? Dan perutmu itu pasti sudah terlalu banyak terisi angin. Dan apabila kamu makan nasi yang lama dibiarkan terkena udara, itu akan membuat perutmu kembung dan masuk angin. Kesimpulannya, besok pagi kamu bisa merasakan betapa uang koin 100 rupiah saja berharga untuk tubuhmu.” Abang tersenyum semakin lebar dan sesekali menatap gadis kecil yang sedang makan dengan antusias itu. Pikirannya terasa kembali normal.
“Aku tau, tapi itu sama sekali tidak ada hubungannya Bang. Ngaco kamu!” Beta mendengus dan mendapati anak laki-laki itu tertawa.
“Kenapa tertawa? Sama sekali tidak ada yang lucu.” kata Beta lagi.
“Aku ingat saja, kalau anggapanku tentang kamu yang kupikir tidak akan pernah menerima pemberianku itu benar. Tapi buktinya, sekarang kamu telah menghabiskannya.” Abang tertawa lagi.
Sementara Beta merasa bahwa dia sedang diledek. Tapi apa boleh buat, itulah kenyataanya. Bahwa temannya itu berhasil membujuknya menerima nasi itu dan juga menunjukkan bahwa memang ia tidak bisa hidup sendirian. Tanpa Kak Nela sebagai alasanya bekerja keras, tanpa Pak Lee yang memberinya uang, tanpa Bobi yang mengingatkannya agar tidak kasar dan selalu sopan dan tentu saja tanpa kawannya ini, Abang yang selalu berhasil membuatnya tersenyum seperti sekarang.

Soneta, tadi itu memang belum cerita paling baik yang bisa aku tuliskan kepadmu. Tapi aku yakin, cerita ini setidaknya dapat membantuku untuk mengutarakan pikiranku. Setidaknya aku bisa berhubungan denganmu, lewat kata, lewat lagu, lewat imajinasi…
Terima kasih Soneta…  -10 Mei 2015-

Komentar

Postingan Populer