Cerpen_Cinta Melompat Sebelah Kaki
Cinta
Meloncat Sebelah Kaki
Hal-hal
yang sama kembali terulang dan berhasil membuatku kalut. Apa yang sebenarnya
sedang direncanakan dalam hidupku?
Dan hal yang terakhir terjadi yakni aku
memutuskan untuk menerima lelaki yang telah sekian lama menungguku.
Hal-hal yang merupakan awalan….
Baron Wijaya,
lelaki beruntung yang telah berhasil meluluhkan hatiku. Ketika kali pertama aku
mengatakan ya pada dirinya saat ia mengutarakan perasaanya untuk kesekian
kalinya. Dan kami akhirnya resmi berpacaran. Memang, sejujurnya tak ada
perasaan istimewa yang mengkangku untuk mencintainya terlalu dalam. Namun sudah
terjadi. Aku tak bisa menyakiti banyak orang lagi. Dia telah banyak bersabar
menanti kapan benteng hatiku akan terbukan lagi, setelah sekian lama tertutup sejak
aku perna mengalami patah hati, dulu.
“Biarkan aku
menjadi sebagaimana diriku sendiri.” Kalimat itu aku lontarkan sebagai
permntaanku pada Baron. Dan sungguh juga kuakui, dia lelaki tersabar yang
pernah mengenalku dengan kepribadian naturalnya.
^^^
Waktu memang berjalan terus dan cepat
sekali. Aku masih belajar menerimanya seutuhnya. Dan berlahan-lahan aku yakin
bisa. Baron bisa menerima dengan lapang dada sifat cuek bebekku, jutek dan
bahkan berpura-pura tidak saling mengenal ketika aku dan dia dalam situasi
formal. Profesionalitas, orang sering menyebutnya demikian.
“Sayang,
I miss you..” sebuah pesan singkat
berhasil kubaca. Dari Baron, seperti biasanya.
“Aku
rasa bukan setahun atau sebulan kita tak bertemu.”
“Ya,
mau gimana lagi? Aku terlalu cinta sama kamu.”
“Ohya?”
“Of
course!
I love you so much!”
“Bisakah kamu tidak terlalu
sering mengucapkannya? karena aku tidak terlalu suka dan aku bukanlah tipe
wanita yang haus dengan kata-kata cinta.”
Setelah pesan itu berhasil
kukirim. Beberapa menit tak ada balasan. Tapi ketika aku hendak merapikan
pekerjaanku, handphone ku bordering lagi.
“Baiklah. Akan kuturuti apa
maumu. Maaf sayang..” itu pesan singkat terakhir dari Baron karena aku tidak
membalasnya. Kulanjutkan pekerjaan yang sedikit tertunda sampai akhirnya aku
lupa dengan semua hal tadi.
Tiada satupun suara yang terdengar
Meski
malam belum larut benar
Kedinginan
tubuhku pun mulai menyebar
Aku
bergemetar
Darahku
terasa membeku dan hayalanku berputar
Karna
kehangatan sudah jauh terlempar
Menjauh
sampai aku terkapar
Aku
tak sadar…
Satu lembar kertas kosong telah
berhasil kutulisi dan sama seperti hari ini yang berhasil kulewati tanpa suara
handphone yang biasanya terdengar nyaring kerika aku hendak pergi ke istana
mimpi malam itu.
Sampai
pagi ini, kulihat layar hanphone ku bersih dari pemberitahuan pesan singkat
yang entah penjang atau menggelikan. Tersiar sedikit keheranan dalam benakku,
kenapa Baron kemarin malam dan hari ini? Apakah dia kehabisan pulsa atau
ketiduran dan belum terbangun? Pertanyaan
seperti itulah yang muncul pagi ini. Entah karena terbiasa atau karena aku
memang merindukan – ya paling tidak aku berpikir bahwa Baron mulai melakukan
sesuatu yang sama sekali tidak aku sadari.
Ketika pagi itu, kicauan burung
liar kecil berhasil mengusik hayalanku yang hampir melayang jauh sekali. Dari
balik dahan-dahan pohon dekat jendela kamarku aku melihat mereka saling
bersahutan seakan akan membicaraka tentang mimpi mereka kemarin malam.
Sementara aku masih sibuk mengucek-ngucek mataku, aku mencium bau yang tidak
asing. Aku segera berlari menuju ruang makan dan kulihat seporsi tempe goring
pedas manis ala Ibuku terpajang di meja
makan. Perutku langsung mengadakan pagelaran music keroncong. Dan dengan tanpa
berpikir panjang aku melayangkan tanganku pada piring dan sendok nasi.
“Eits, mau ngapain kamu?” ibu
segera menyergahku untuk memindahkan makanan lezat itu ke piringku.
“Ya aku mau makanlah, Bu.”
“Udah mandi belum?”
‘Belum, entaran aja, Ibuku
tersayang. Makan dulu ya..” aku tersenyum memohon dan berusaha menyergam nasi
dan tempe itu lagi.
“Eits, gak boleh makan apa-apa
sebelum kamu mandi! Kan kasian tamunya entar makanannya pada bau badan kamu aja
jadinya.”
“Tamu? Emang tamu kerajaan ya
sampai segitunya?” celotehku.
“Ini bahkan lebih penting dan
istimewa dari tamu kerajaan.” Ibuku menutupi kembali hidangan lezat tersebut.
Dan yang makin parah, pagelaran music keroncong di perutku mulai mencapai
klimaks. Akhirnya tanpa seruan apa-apa lagi, aku hanya bisa menyeruput segelas
air bening untuk sekadar membuat pagelaran itu kebanjiran dan diam.
Aku pu akhirnya go away ke kamar
mandi dan membersihkan sisa-sisa mimpi buruk yang mungkin saja nempel di
otakku. Ohya, sekarang adalah hari minggu. Jadi waktunya aku untuk
bermalas-malasan di rumah dan mengunjungi semua siaran stasiun televisi yang
jelas-jelas menayangkan siaran yang bersyarat: menghibur, dan sedikit membuat
penonton sepertiku tertawa tanpa mengetahui bahwa Kakek Oesman, tetanggaku
sangat terganggu meskipun sebenarnya dia tidak bisa mendengar menantunya
membicarakannya di sebelah kursi ayunnya.
Tiga puluh menit
kemudian, badanku telah bersih, mulutku sudah bersih, rambutku sudah bersih dan
hatiku pun sudah bersih dari kudeta yang semalam membelengu.
“Nah gitu dong! Kan gak malu sama
calon kakak iparmu.” Komentar Ibu setelah aku mengambil sikap duduk manis di
kursi meja makan.
“Kakak ipar?” keherananku tak
terjawab. Bel pintu rumah keburu berbunyi nyaring dan memaksaku untuk angkat
pantat untuk membuat di pemencet bel itu dapat masuk.
“Mbak Yunita? ! astaga, ternyata
tamu istimewa yang ditunggu emang Mbak ya?” aku suminggrah. Cepat-cepat ku
gandeng tangan wanita yang usdah lama ku kenal bahkan sebelum kak Izal pacaran
dengannya.
Ibu pun segera
memanggil kak Izal. Mbak Yunita terlihat sangat cantik dengan dress simple yang
ia kenakan pagi ini. Pantas saja Kakakku bisa luluh karnanya.
“Mbak, kapan
balik kesini? Kok gak ngabarin? Kan bisa aku jemput di bandara.” Seperti biasa,
beberapa pertanyaan yang bagiku hanya sebagai awalan dan cukup membuatku
diwisuda menjadi Miss Cerewet tahun ini.
“Kemarin Mbak
dijemput Kak Izal. Terus kata Izal Mbak gak usah kasi tau ke kamu kalo mbak
udah nyampe disini.”
“Yah, pantas aja
kemarin tuh Kakek lampir hilang ditelan bumi. Dasar!!” aku menggerutu. Izal
yang sempat mendengar celotehanku segera membalasnya.
“Kamu tuh yang
Nenek lampir. Lagian kemana-mana maunya ngekor terus. Nanti kalo aku nikah
masak ikut-ikut juga.” Giliran Izal yang nyeloteh.
Segera setelah
itu ibu kembali dari dapur dengan semangkuk besar tahu santan dan lagi-lagi itu
membuat pagelaran itu bersuara dan bahkan lebih dasyat.
“Kamu ini
laper apa gimana sih? Makannya lahap banget.” Izal lagi-lagi berkomentar.
Aku tak
menggubrisnya. Kubiarkan nasi dalam mulutku tertelan habis barulah aku membalas
komentar yang acap kali dilayangkan kepadaku.
“Biarin.
Daripada kak Izal makannya kayak ulet. Aku jamin tahun depan baru habis tuh.”
Aku menjulurkan lidah pada Izal. tapi seperti halnya Tom dan Jerry, tak ada
yang mau saling mengalah meskipun usia aku dan Izal terpaut jauh.
“Hei, kalian
ini kenapa sih? Mau sarapan, makan siang, makan malam, gak pernah sepi dari
acara berantem.” Ibu mulai unjuk gigi
sebelum perang dimulai lagi.
“Kak Izal yang
duluan, Bu!”
“Kamu tuh yang bawel. Dasar Nenek
lampir!”
“Kak Izal tuh udah mau nikah juga masih
aja kayak anak kecil.” Aku tak mau kalah. Segera aku berlindung di belakang Ibu
untuk menghindari serangan dari si Kakek Lampir.
“Bisanya cuma sembunyi doang.”
Celotehnya lagi.
Mbak Yunita yang sedari tadi hanya menjadi
penonton yang baik, segera menghentikan adegan gila ini.
“Mengalah sama adik sendiri kenapa sih?”
kata Mbak Yunita. Sontak Kak Izal jadi bungkam. Aku menjulurkan lagi lidahku
berupaya meledek dan bangga dengan perlindungan Mbak Yunita.
“Awas ya kamu.” Izal sedikit berseru. Ia
pun segera melanjutkan sarapannya begitupun aku dan yang lain. Akhirnya perang
itu berhasil diredam dengan sedikit meninggalkan kontroversi hati dari Izal.
Hahaha……
^^^
Anak kecil itu terus bejalan menyusuri aliran deras
yang membentang membelah daerah rumahnya dengan sekolah, tempat ia menuntut
ilmu. Tak pelak baju seragamnya pun harus basah kuyup serta harus dapat
menerima bahwa ia akan terlambat lagi...
Suara dari
acara televise itu pun berhenti ketika aliran listrik di rumahku juga berhenti.
Kipas angin dan lagu rock yang mengalun keras dari rumah Kakek Oesman juga
sontak berhenti.
“Sayangnya,
kamu gak bisa nonton kartun Spongebobs-mu sampai malam nanti. Tapi setidaknya
kamu masih bisa menonton adegan ring tinju atau pertandingan tengah malam.”
Ibuku menyahut dari arah dapur. Ia juga tampak sedikit kecewa terhadap kematian
listrik yang membuat kue buatannya tidak akan matang meskipun seharian
didiamkan dalam oven.
“Sayangnya
juga Ibu tidak bisa memaksa aku untuk menjadi juri untuk kue ciptaan Ibu.” Aku
terkekeh. Kulihat ibu melepaskan celemek dapurnya dan menuju ruang keluarga.
“Jadi selama
ini kamu terpaksa memakan kue ibu?”
“Mmm… tidak
juga. Hanya kebetulan saat itu perutku mengalami komplikasi.”
“Hahaha…
ada-ada aja kamu. Mendingan kita ke panti aja yuk!” Ibu beranjak menuju kamarnya
dan sedikit membenahi dandanannya.
“Ina, mau ikut gak?” Tanya Ibuku dari
arah mobil.
“Tunggu!!” aku segera mengambil tas dan
menuju mobil. Dan kami pun melesat menuju arah panti milik keluargaku.
Setelah
sampai di panti, aku langsung dikerubuti anak-anak yang memang sudah
mengenalku. Setiap aku pergi kesi ni, biasanya aku membagikan permen atau kue
buatan Ibu. Dan kali ini aku yakin mereka juga pasti mengharapkan hal yang
sama.
“Adik-adik, maaf ya hari ini kakak gak
bawa permen sama kue buat kalian. Kuenya belum matang.” Kataku setelah mereka
tidak mengkerubutiku lagi. Tampak wajah mereka kecewa. Anak-anak yatim piatu
ini memang sangat senang bila mendapat perhatian dari siapapun. Karena sudah
tentu mereka adalah anak-anak yang kekurangan atau bahkan tidak pernah mengecap
bagaimana rasanya berada di tengah-tengah keluarga yang sebenarnya.
“Tenang aja, nanti pasti kalian akan
dapat permen sama kue.” Ujar Ibuku ketika ia mengeluarkan sebuah kardus dari
bagasi mobil.
“Maksud Ibu apa?” aku merasa heran
dengan tingkah Ibuku hari ini. Apa mungkin hari ini akan terjadi hujan permen
dan kue?
“Kamu juga tenang aja. Nanti teman kamu
akan membawakan permen dan kue untuk mereka.” Ibu lalu berlalu begitu saja
menemui Bu Ana dan Bu Ani, orang yang dipercaya mengelola dan mengasuh
anak-anak di panti asuhan ini.
Tak
lama berselang, sebuah mobil warna hitam datang. Sepertinya aku tak asing
dengan mobil itu. Apa itu …
“Baron?? Ngapain kamu kesini?” ujarku padanya ketika ia baru saja keluar
dari mobilnya.
“Lho, emangnya aku gak boleh kesini?”
sahutnya.
“Bukan begitu. Tapi…”
“Ayolah, aku sedang berusaha menjadi
seperti yang kamu inginkan. Ohya, ini permen dan kuenya.” Baron menyerahkan
beberapa kantong berisi permen dan kue. Ibuku lalu keluar bersama Bu Ana dan Bu
Ani.
“Anak-anak, siapa yang mau permen sama
kue??” teriak Bu Ani. Anak-anak itu lalu berkumpul dan dengan rapi membuat
barisan. Mereka seperti tak sabar merasakan manisnya permen dan kue yang dibawa
Baron.
“Terimakasih, Nak Baron. Untung ada
kamu.” Kata ibuku tersenyum pada Baron.
“Jadi yang dimaksud ibu itu kamu?”
Baron hanya tersenyum mengiyakan. Ia
lalu berbaur bersama anak-anak panti itu. sedangkan aku masih terpaku. Aku
masih sangat tidak mengerti maksud Baron dan itu juga membuatku semakin
bersalah.
“Hemm…” Izal berdehem melihatku
mondar-mandir tak jelas di ruang keluarga. Sedangkan aku tak sadar terhadap
keberadaanya disana.
“Kurang kerjaan ya? Mendingan bersihin
kamar kakak deh daripada mondar-mandir bolak-balik gak jelas!” Ujar Izal agak
kesal.
“I have something big problem, Kak.”
Sahutku dan langsung mengambil posisi duduk di sebelah Izal.
“Ceilahhh, Gayanya kayak nenek gaul
aja.”
“Aku serius kak! Aku bingung!” ujar ku
datar.
“Bingung aja kerjaanya. Kenapa?” Izal
sebenarnya dari tadi nongkrongin laptopnya yang berisi gambar-gambar bergerak
di layarnya. Game lebih tepatnya. Namun telinga dan pikirannya masih bisa
mengerti dan merespon segala pernyataanku. Termasuk mengetahui saat aku meneguk
sedikit es jeruknya.
“Apa aku bakalan salah besar kalau
mutusin hubunganku sama Baron?” Izal sedikit terkejut mendengarnya. Game-nya
pun sementara ditingggalkan dan memfokuskan pikirannya padaku.
“Alasannya apa?” tanyanya.
“Dari awal, sejujurnya tak ada perasaan
istimewa selain kenyamananku bersahabat dengannya. Tapi entah karena apa aku
menerimanya.”
“Jadi?”
“Aku rasa aku dan dia lebih baik
bersahabat seperti dulu.”
Izal sejenak terdiam, tampak memikirkan
sesuatu.
“Bagaimana menurut kakak?” tanyaku
sedikit tidak sabar dengan jawaban Izal.
“Jika itu adalah keputusan yang kamu
anggap paling tepat, ya lakukan saja.”
“Tapi aku takut Baron akan membenciku.”
“Jika Baron memang tulus menyayangimu,
ia tidak akan melakukannya.”
“Apa kakak yakin?”
“Of course! Lagian kalian kan masih ABG.
Kalian masih dalam masa transisi and BELIEVE ME, sist.”
“Well to the Well, well, well.
Terimakasih sarannya kak.”
“Never mind. Tapi BIASA AJA KALEE…!!!”
Aku segera berlari menuju kamar. Tak
ingin membalas kicauan Izal atau memperbanyak rating acara di televise. Hanya
saja aku telah menghabiskan es jeruk milik Izal. :D
^^^
“Baron, sebelumnya aku minta maaf
padamu.” Kataku pertama kali ketika aku dan Baron telah duduk di sebuah bangku
taman belakang sekolah.
“Tidak apa-apa. Aku sudah bisa menebak
apa yang ingin kamu katakan.” Baron menyandarkan tubuhnya pada bangku itu.
Menengadah dan menatap awan yang bergerak sangat lambat bersama matahari yang
berlahan mulai menuju ubun-ubun.
“Sebenarnya selama ini, selama kita
pacaran, aku tau bahwa kamu tidak pernah mempunyai perasaan lebih selain
perasaan persahabatan padaku. Tapi, aku berusaha yakin dan sangat bersemangat
untuk membuatmu memiliki perasaan yang kurasakan terhadapmu. Aku berusaha untuk
menjadi apa yang kamu inginkan, memenuhi segala persyaratan yang kamu ajukan
dan mengiyakan segala permintaanmu.” Baron menarik nafas panjang dan
membiarkannya berhembus bebas menuju udara luar.
“Dan ternyata, segala usahaku sia-sia.
Akhirnya aku sadar bahwa kamu tidak akan pernah mencintaiku. Saat kemarin di
Panti, itu adalah salah satu usaha yang kurasa mampu membuatmu mengerti. Tapi,
itu juga sia-sia. Aku malah membuatmu semakin heran dan bersalah jika kamu
memutuskanku, kan?”
Aku bergeming. Bahkan untuk sekedar
meliriknya saja aku tak sanggup. Aku terlalu takut mengungkapkan kata-kata itu
padanya, karena aku yakin Baron pasti akan kecewa – sudah kecewa tepatnya.
“Baiklah, Na. Aku rasa aku sudah siap
dan kamu tak perlu takut untuk mengatakannya.” Baron menggenggam tanganku erat.
Sinar matanya memancarkan harapan yang telah pupus. Dan aku tidak mungkin terus
membuatnya seperti itu.
“Baron, maaf jika aku melakukan ini.
Tapi, jika kubiarkan semuanya berlarut-larut, maka aku yakin ini akan menjadi
lebih menyakitkan.” Aku menatapnya lekat-lekat. Bisa kubayangkan betapa
dalamnya luka yang kutancapkan padanya.
“Sekali lagi aku minta maaf..”
“Tidak apa-apa. Aku akan baik-baik saja,
aku tidak akan sakit hati apalagi membencimu. Percayalah..” Baron
menyunggingkan senyum padaku, senyuman yang terlihat tanpa beban, senyuman yang
biasanya aku dapatkan ketika ia berhasil membuatku nyaman.
“Ketika Ibuku
memberiku sebuah apel merah, kemudian Ia berkata, “Makanlah.” Maka aku pun
memakannya tanpa ragu. Ibuku lalu berkata lagi, “Nak, taukah kamu tentang apel
merah itu?” aku heran dan bingung. Tapi Ibuku segera melanjutkan kalimatnya,
“Ketika kamu memakannya, kamu mengurangi sedikit demi sedikit bagian dari apel
merah itu. sampai ketika ia habis dan hanya tertinggal biji, maka janganlah membuangnya.
Tapi seharusnya kamu menanam biji itu yang akan tumbuh menjadi pohon apel yang
baru. Dan seperti itulah cinta.”
>><<
Ketika Perahu Mulai Berlayar. . .
Surat
itu masih aku pegang erat-erat. Perasaanku jadi bercampur aduk tak karuan setelah
membacanya. Apalagi ketika mengetahui isi kotak hadiah itu, sebuah gantungan
kunci bertuliskan namaku tergelatak cantik dalam kotak kecil itu. kututup lagi
kotak itu dan juga menggenggam erat gantungan itu.
Dalam belengu seperti ini, tiba-tiba
hujan menuruni udara dan jatuh membasahi tanah, seperti air mata yang mengalir,
membuat pipiku juga basah seperti tanah dan daun-daun di luar sana. Ketika
hujan semakin menderas, mesih waktu dalam otakku pun kembali ke masa kecil.
Masa-masa yang sama sekali aku rindukan.
^^^
“Mau kemana, Ina? Kok buru-buru?” Tanya
Ibu yang sedang menyiapkan makan pagi.
“Aku mau ke taman, Bu!” jawabku sambil
dengan susah payah memasukkan kakiku ke dalam sepatu.
“Gak sarapan dulu?”
“Nanti aja bu! Aku gak boleh terlambat
lagi. Aku pergi dulu ya!”
Aku melambaikan tangan pada Ibu. Dengan
sepeda pemberian ayah, aku melesat menuju taman yang lokasinya tak jauh dari
rumah.
“Kamu terlambat lagi!” seru Ucky
meledek. Jantungku berdebar dan napasku terengah-engah. Kemudian aku menyandarkan
tubuhku sejenak pada sebuah kursi taman, mengatur napas lalu menatap Ucky.
“Sekarang mana es krimnya?” tagih Ucky.
“Aku gak bawa.” Jawabku tertunduk.
Padahal dari rumah aku ingin membawa es krim itu. tapi keyakinan bahwa aku
tidak akan terlambat membuatku urung membawanya.
“Kenapa gak bawa? Itu kan perjanjian.”
“Aku lupa. Tapi kalo Ucky mau es
krimnya, aku bakalan cari ke rumah sekarang.”
“Gak usah. Kamu disini aja. Nih..”
Ucky menyodorkan es krim coklat ke
arahku. Hal itu sontak membuatku kaget. Aku menatap wajah Ucky dengan heran.
“Mau es krim gak?”
“Ini buat aku?”
“Siapa lagi yang ada disini?”
“Emm, kenapa kamu ngasi es krim ke aku?
Kamu kan gak telat.”
“Ini hadiah aja buat kamu. Kalo gak
diambil dalam lima detik, aku yang makan nih!”
“Eh, iya deh. Makasi ya Ucky.” Aku
menerima es krim pemberian Ucky. Aku sangat heran kenapa dia tiba-tiba
memberiku es krim ini. Tapi dalam hati aku senang menerima es krim dari Ucky.
Aku berniat mengganti es krim coklat
yang diberikan Ucky kemarin dengan es krim vanilla yang ia lupakan. Segera aku
melaju dengan sepeda menuju rumah Ucky. Sampai di depan rumahnya kulihat Bi De
baru saja akan menutup pintu gerbang.
“Bi, Uckynya mana?” tanyaku segera.
“Waduh, Non, Den Ucky baru aja pergi
sama ayah ibunya. Katanya sih mau ke Kanada.”
“Ke Kanada? Ngapain, Bi?”
“Bibi kurang tau, Non. Emangnya Non Ina
gak dikasi tau sama Den Ucky?”
“Berapa lama Ucky disana?”
“Itu juga Bibi gak tau Non. Silahkan
masuk dulu non.”
“Em, gak deh Bi. Aku langsung pulang
aja.”
Aku berbalik arah. Sambil termangu.
Kenapa Ucky pergi? Kenapa dia gak bilang sama aku? Ucky jahat! Jahat!
Aku kesal, marah dan teramat kecewa
terhadap Ucky. Segera aku melaju kencang, menuju suatu tempat.
^^^
Pohon
itu tumbuh seiring dengan perjalanan waktu. Baru kusadari bahwa itu adalah
pohon bunga. Bunga yang entah apa namanya. Warnanya merah cerah dengan aksen
kuning seperti matahari. Sungguh indah sehingga akan menawan mata siapa saja
yang berkunjung ke telaga itu. Dari batang pohon yang menjulur ke samping, tergantung
sebuah ayunan. Mungkin pengelola di taman ini yang telah membuatnya karena
sekarang taman ini bukan lagi tempat pribadi tapi tempat umum yang memungkinkan
siapa saja boleh berkunjung. Aku menaiki ayunan itu, dudukannya terbuat dari
kayu yang masih sedikit lembab sehabis diguyur hujan tadi malam. Lalu, kuayun
tubuhku dengan ayunan itu. rasanya sangat menyenangkan. Tubuhku perlahan
menyusuri udara-udara yang sangat segar hari itu. Hatiku mulai sedikit menjadi
tenang dibuatnya. Tapi tak bisa juga aku musnahkan secara utuh belengu perasaan
itu. Ketika kulihat ikan meliuk diantara teratai-teratai yang menyembul dari
telaga, jantungku mendadak berdebar. Seperti merasakan sesuatu akan terjadi.
Kuusahakan untuk mengendalikan debaran itu, tapi tak bisa. Itu malah makin kuat
dan kencang. Saat kusibuk dengan kegelisahan dalam debaran itu, seseorang
datang. Menutup mataku.
“Siapa ini?” aku agak takut. Tanganku
segera meraba-raba tangan penutup itu. tak terasa asing.
“Tebak dong.” Kata orang itu.
“Kalo gak salah, ini Baron.”
Orang itu, Baron, segera membuka
tangannya. Ia lalu tersenyum padaku, seperti biasanya dan tetap tulus meskipun
kami tidak lagi pacarn.
“Darimana kamu tau aku disini?”
“Kalo gak dirumah dan di sekolah, dimana
lagi? Gak mungkin kan aku cari kamu di bawah tanah.”
“Ah, bisa aja kamu!”
“Ohya, ada yang mau ketemu kamu, Na.”
“Siapa? Pak Obama ya?” aku terkekeh.
“Tidak, tidak!!”
“Pak SBY?”
“Tidaak, tidaakk!”
“Roma Irama?”
“Bang Roma lagi sibuk belajar orasi. Kan
mau mendaftar jadi calon presiden”
“TER-LA-LU. Terus siapa yang mau ketemu
sama aku?”
Baron terdiam. Karena merasa tak
mendapat jawaban yang baik dan benar, aku berusaha menebar pandanganku ke
seluruh area taman itu, Kanan kiri, sampai atas dan ke bawah.
“Raina..” seseorang memanggil namaku.
Deg. Aku terperanjat. Tubuhku seperti membeku oleh es hayalan. Bibirku terkunci
dengan kode misterius yang Cuma Archimedes yang tau. Tiba-tiba aku dehidrasi
dan mengalami kontroversi hati dadakan.
“Itu orang yang mau ketemu kamu.” Baron
menunjuk orang yang memanggilku. Dan ketika aku berhasil berbalik arah, OH MY
NO, OH MY WOW, OH MY GOD!!!
“Lucky?”
“Hai, Na?”
Sebelum aku membalas sapaan itu,
sebenarnya terjadi sebuah pertarungan di dalam sini, dalam benak, hari dan
jiwaku. Ada perasaan kecewa yang telah lama membuatku galau tapi juga ada
perasaan teramat sangat bahagia hingga aku ingin melompat-lompat seperti
lumba-lumba di Pantai Lovina. Aku ingin menangis dan memeluknya segera agar
orang yang sedang berada di depanku tak bisa pergi lagi apalagi tanpa permisi.
Aku ingin menumpahkan segala kerinduan yang selama ini tertimbun bagai emas
tanpa penambang. Aku ingin dia mengusap air mataku jika benar aku menangis di
hadapannya tapi itu telah terjadi, detik ini.
“Ina, kenapa kamu nangis?”
Aku tak menjawab tapi seketika aku
memukul-mukul orang yang terlalu kurindukan ini sampai akhirnya ia memelukku
erat. Sangat erat dan tiba-tiba hatiku terasa hangat kembali.
“Kemana aja kamu selama ini, ha?! Kamu
gak pamit pas kamu pergi! Apa waktu itu kamu lupa sama aku?”
Lucky bergeming. Ia tetap membelai
rambutku dengan lembut. Matanya terpejam. Dan aku merasakan kehangatan itu
semakin dalam.
“Jawab, Ucky!!!” aku melepaskan diri
dari pelukannya. Berusaha membuat agar ia tidak bungkam.
“Maafin aku, Na. waktu itu aku takut
kamu sedih dan kecewa kalo aku pergi..”
“Justru itu yang buat aku kecewa dan
benci sama kamu!”
“Raina, maafin aku. Tapi kalo kamu benci
sama aku sekarang, seterusnya aku gak akan pernah ganggu kamu.” Lucky
membalikkan badannya dan melangkah pergi. Tiba-tiba saja, gerimis datang dan
mengguyur taman itu.
“Tunggu!” teriakku. Langkah Lucky
terhenti. Aku segera berlari ke arahnya dan memeluknnya erat. Erat seperti tadi
ia memelukku.
“Aku gak benci sama kamu, Ky. Tapi aku
benci kalo kamu pergi kayak dulu lagi.”
“Aku gak akan pergi lagi. Tenang aja.”
Lucky tersenyum padaku. Hujan semakin deras menyelusup tanah yang sudah basah
semenjak kemarin. Tapi di sisi lain, katak-katak dalam telaga melompat-lompat
dari satu daun teratai ke daun teratai lainnya. Mereka terlihat sangat bahagia,
seperti aku.
^^^
Kau kira aku tenang tertidur saat kau tak disini?
Malah
aku tidak bisa memejamkan mata,
Karna
setiap kulakukan, kau muncul..
Kau
kira saat aku tersenyum, aku bahagia?
Tidak,
jika kamu berusaha melupakanku..
Kau
pikir aku hanya menangis kehilangan bonekaku?
Salah
besar, karna mataku setiap hari sembab karena kepergianmu dulu,
Ketika
kau tidak lagi bisa menjahiliku,
Ketika aku tidak dapat lagi mendengar tawa banggamu
Setelah
kau berhasil merebut bonekaku seperti kau merebut hatiku, sekarang….
>>>
Saat
ini, matahari begitu terik menyengat kulit-kulit para pejalan kaki. Simpang
siur mereka mencari-cari tujuan dan sambil menutupi kepala karena silau mereka
berlari-lari menuju suatu tempat. Siang hari, ya, aku baru saja pulang dari
sekolah. Sepanjang perjalanan, mungkin orang-orang yang melihatku mengira aku
orang gila, karena sepanjang perjalanan
aku terus saja senyum-senyum sendiri. Ada yang tau? Nanti sore, Lucky akan
mengajakku jalan-jalan. Entah apa yang akan dibicarakan, yang jelas aku tidak
sabar untuk menunggu sore ini. Segera aku berlari menuju rumah dan
bersiap-siap.
“Mau kemana, Na? Kok dari tadi kayaknya
ribet banget.” Tanya Ibuku.
“Aku mau ketemu Lucky, Buk.”
“Nah, terus? Kenapa jidatnya mengkerut
kayak gitu?”
“Aku bingung mau pake baju yang mana.”
Ibuku tersenyum. Ia lalu mendekat dan
menilik satu persatu baju yang berjejer memenuhi kasurku.
“Nah, kamu pake ini aja. Pasti kamu
banget.” Ibu memilih dress selutut berwarna biru tua itu. Desaign-nya simple
dan aku suka itu.
Aku pun segera menggenakan dress itu.
Ibu tampak terkagum-kagum melihatku setelah aku berganti pakaian.
“Wah, anak Ibu cantik sekali! Gak salah
kan dress yang Ibu pilih.”
“Ya, Ibu emang pakar fashion yang
T.O.P-B.G.T deh!” aku memeluk wanita yang wajahnya kuwarisi itu.
“Nah, itu pasti Lucky.” Ujar ibu setelah
bunyi klakson terdengar nyarinng.
“Kalo gitu aku pergi dulu ya, Buk.” Aku
menyalimi Ibu, mencium pipinya dan berharap agar acara ini berjalan lancar.
>>>
Di
sebuah bangku restoran yang berhadapan langsung dengan pantai, aku dan Lucky
duduk seraya memandangi kilauan air laut akibat mentari yang akan permisi dari
hari ini.
“Mau minum apa,Na?” Tanya Lucky
menatapku.
“Emm, apa aja boleh.” Jawabku masih
gugup.
“Baiklah, 2 Coffee Late ya Mbak.”
Katanya pada sang pelayan. Lucky kemudian kembali menatapku. Lekat sekali
hingga aku tak bisa berkutik. Tubuhku terkunci.
“Ohya, aku mau bilang sesuatu.” Ucap
Lucky kemudian.
“Heh, a.. apa?” tanyaku dengan nada
gugup.
“Sebenarnya aku malu bilang ini ke kamu.
Tapi kamu harus tau..”
Aku terperanjat. Apa yang akan dikatakan
Lucky? Apa dia ingin mengungkapkan perasaannya? Atau, astaga! Lucky mau nembak
aku?!
Berbagai spekulasi muncul di benakku
sebelum Lucky mengatakan ‘sesuatu’ itu kepadaku. Tapi berbagai spekulasi yang
tidak ada harmonisasinya sehingga membuat kontroversi segera aku usir
jauh-jauh. Ya, itu tidak mungkin!
“Aku sudah punya pacar. Dan besok lusa
dia akan bersekolah di sekolah yang sama dengan kamu, Na.”
JEDEG!...
Sementara sekmen cerita ini berhenti
karena adanya kesalahan yang tidak sama sekali kubayangkan. Andaikan saja ada
gelas berisi air yang jatuh ke lantai sehingga gelasnya pecah berkeping-keping
dan airnya tumpah membasahi seluruh lantai, seperti itulah keadaan hatiku sedetik
setelah kalimat pendek yang diucapkan Lucky. Hal-hal yang mengatakan bahwa
Lucky memang benar-benar tidak memiliki perasaan apapun terhadapku kecuali
perasaan sebagai sahabat. HANYA SAHABAT, tidak lebih dan tidak kurang.
Kenyataan juga menyatakan bahwa perasaanku selama ini hanyalah aku sendiri yang
merasakan, tidak ada orang lain, apalagi Lucky.
JEBRET.
Segera roda perfilman ironis ini kembali
berlanjut. Akan kusingkirkan dulu pecahan-pecahan gelas dan akan ku pel dulu
tumpahan air itu dengan lap basah.
“O,Ohya? Selamat ya, Ky! Aku jadi tidak
sabar ingin mengetahui siapa yang udah bisa meluluhkan hati sahabatku ini.” Aku
tersenyum lebar. Sangat lebar sampai-sampai seperti bentuk Kepelauan Indonesia
dari Sabang sampai Merauke jika dilihat dari peta atau globe.
“Ya, aku juga gak sabar ketemu sama dia.
Rasanya kangen banget beberapa hari gak ketemu Priska.”
Gila, baru dua hari udah kangen segitu
beratnya?! Bayangin coba berapa tahun aku nunggu kabar dari kamu dan mendem
rasa rindu sendirian? Tau gak gimana rasanya? SAKIT TAU, KY!!! SAKIT BANGET!!!
“Oh, namanya Priska? Pasti cantik
deh.” Aku nyengir. Lalu kusruput Coffee
late di depanku sampai tak sadar, PANAS BANGET CUY!
“Tapi, gak ada yang ngalahin ke-imut-an
kamu, Ina.” Lagi-lagi Lucky menatapku seperti awal kami duduk disini. Sementara
dia menatapku dan aku mengkaku, matahari mulai habis ditelan lautan. Hari
berangsur-angsur meredup dan akhirnya cahaya digantikan oleh lampu-lampu
listrik yang berkelip-kelip. Jalanan kota semakin padat karena, biasalah
Tonight is weekend, so many people go out from their house to enjoying night in
this city. Ada makan di café, sekadar mengukur jalanan kota atau bahkan sekadar
ingin merasakan tebalnya kumis pak Polisi dengan cara ngebut-ngebutan di
jalanan.
>>>
“Waduh, anak ayah baru pulang nih.”
Sambut ayah menghentikan perbincangannya dengan Ibu dan Kak Izal.
“Ayah? Ayah kapan pulang? Kok gak
ngabarin aku? Aku kan bisa pulang cepet jadinya!”
“Ina, Ina, kamu ini emang anak ayah yang
paling cerewet ya.”
“Yee… Ayah baru nyadar ya? Putri
kesayangan ayah ini jelmaan nenek lampir.”
“Iss, Kak Izal tuh yang jelmaan
genderuwo!” aku berusahan melayangkan pukulan pada Izal. Tapi aku kalah cepat,
Ibu segera menghentikan action ku.
“Udah ah! Baru juga dating udah
berantem. Kamu juga Izal, demen banget bikin adiknya kesel.” Aku menjulurkan
lidah pada Izal. Kemudian kualihkan tubuhku pada ayah dan segera memeluknya.
“Katanya Lucky udah pulang ya? Terus
gimana tadi jalan-jalanya?” Tanya ayah penasaran. Tapi, sebelum pertanyaan itu
kujawab, aku malah menangis seperti anak kecil umur 5 tahun. Astaga, betapa
akan bangganya Izal melihatku menangis sehingga ia punya alasan untuk meledekku
besok.
“Lho, kenapa nangis?” Ibu lalu
mendekatiku.
“Ah, palingan patah hati tuh!” celetuk
Izal. Tangisanku malah makin menjadi jadi. Dan Izal mulai berdalih mengambil
Koran dan menutupi wajahnya.
“Patah hati? Itu beneran?” Tanya Ayah
tampak serius. Aku hanya mengangguk sambil mengeraskan volume tangisanku. Dan
Izal kembali muncul.
“Tuh kan bener! Kenapa? Cintanya ditolak
sama Lucky atau Lucky udah punya pacar?” pertanyaan Izal juga semakin menusuk
dan membuatku tak tahan. Aku lalu berlari menuju kamar dan mengunci diri. Ibu
dan ayah tampak heran dan memandang tajam Izal.
“Hehe.. Cuma nebak, Yah.” Izal nyengir.
Ia lalu terbirit-birit menuju kamarnya dan ikut-ikutan mengunci diri. Sedangkan
ayah dan Ibu geleng-geleng berjamaah.
^^^
Cerah,
hari ini seperti kemarin-kemarin. Siulan angin membawa kicauan burung kenari
milik Kakek Oesman ke celah-celah kamarku. Kokok si jago, ayam kakek Oesman
juga tak kalah membuat ramai pagi ini. Tapi, sayangnya sisa-sisa pecahan gelas
kemarin lusa belum juga bisa kubersihkan seluruhnya. Kepingan itu masih
tertancap dan membuat sebuah luka.
“Pagi, Na…” sapa sahabatku yang punya
aksesoris serba Hijau ini, Neni.
“Ya, pagi juga.” Sahutku datar.
“Lha, kamu kenapa Na? Are you ok?” ia
menatapku lekat. Mencari-cari hal aneh yang sedang menyelimuti ekspresiku.
“Aku baik-baik aja. Cuma gak enak badan
dikit.”
“Kalo gak enak badan harusnya kamu
jangan sekolah. Nanti tambah sakit.” Neni menyeloteh seperti Ibuku. Aku segera
berlalu dan menuju kelas.
Dalam kelas, tampak Dine sudah on stay pada komiknya. Sempat ia
melirikku dan menyapaku. Namun aku tak menjawab. Aku malah langsung menghambur
duduk dan melamun lagi.
“Tuh anak kenapa lagi?” ujar Dine pada
Neni. Ia hanya menggeleng dan menempati bangkunya di sebelahku.
Singkat cerita, bel masuk berbunyi.
Tanda bahwa pahlawan tanpa tanda jasa harus berperang lagi melawan kabandelan
ABG-ABG macam kita.
{Kita? Loe aja
kale gue gak usah!}
Next, di kelasku sudah nagkring Pak
Budiman beserta seorang gadis muda. Yah, itu pasti Priska, pacar sahabat yang
kucintai. Dia akhirnya benar-benar bersekolah disini dan dengan suara lembutnya
segera memperkenalkan diri.
“Priska, kamu duduk di sebelah Dine
ya.” Pak Budiman menunjuk arah Dine dan
Priska mengangguk seraya melempar senyum.
“Hai, aku Priska. Kamu siapa?” sapanya
ramah sambil mengulurkan tangannya pada Dine, Neni dan terakhir padaku.
“Kamu pasti Raina kan?” tanyanya padaku.
Sedetik sekmen cerita ini kembali di pause
untuk mengetahui apa yang sedang diproses dalam pikiranku.
Aku terasa ingin hilang tiba-tiba dari
tempatku duduk, pergi ke tempat tanpa penghuni dan berteriak
sekencang-kencangnya. Tapi jreet, rencana itu pudar seketika saat Priska tau
namaku.
Kenapa dia bisa tau namaku? Satu
pertanyaan yang aku rasa akan keluar dari kerongkonganku. Dan benar saja,
pertanyaan itu sudah kukatakan.
“Aku sudah dapat menebak, kamu pasti
akan bertanya seperti itu.” Priska tersenyum. Ia lalu mengambil sebuah foto.
Astaga!
“Ini pasti kamu kan?” Priska menunjuk
fotoku bersama Lucky. Foto yang hilang dari album rahasiaku sejak beberapa
tahun lalu, sejak Lucky pergi tanpa pamit.
“Foto itu? Kamu dapat darimana?” tanyaku
penasaran.
“Waktu di Kanada, aku liat foto ini
jatuh di depan apartement Lucky. Tapi, karena dia udah ke Indonesia, aku
simpan. Mungkin foto ini berharga banget buat Lucky dan benar saja kan?” Priska
menyerahkan foto itu padaku. Dengan tangan gemetar, aku menerimanya.
“Lucky bawa ini ke Kanada?” saat
pertanyaan itu terlontar, jauh dalam hatiku ada perasaan senang.
Pecahan-pecahan gelas kemarin sedikit terekat kembali meski masih sedikit
retak.
Lucky selalu mengingatku? Apa benar?
Atau mungkin foto itu hanya tak sengaja tersangkut pada koper Lucky saat pergi.
Ah! Tidak! Foto itu pasti hanya tersangkut. Dan itu sebabnya foto itu terjatuh
di apartementnya. Ya, hanya kebetulan!
“Hey, kenapa melamun?” Priska sontak
membuyarkan lamunanku.
“Eh, e, anu, aku Cuma mikirin
tugas-tugas. Pusing banget.”
Kemudian semua kembali dalam posisi
belajar semula. Dine dan Neni pun mulai memenuhi catatan mereka dengan
huruf-huruf. Dan, kita lewati saja hal-hal serta lamunan-lamunanku yang tidak
penting itu agar semua tetap berjalan seperti semula.
^^^
“Lagi ngapain, Na?” Tanya Mbak Yunita
heran. Saat itu aku sedang sibuk berkutat dengan barang-barang lamaku. Ohya,
hampir lupa, kakakku dan Mbak Yunita sudah resmi menikah dan kini mbak Yunita
sedang mengandung. Itu artinya aku akan punya keponakan.
“Mau dibawa kemana barang-barangnya?”
Tanya Mbak Yunita lagi.
“Biasalah mBak, mau aku sumbangin ke
panti asuhan Ibu.” Sahutku.
“Perlu mbak bantuin?”
“Eh, gak usah Mbak. Lagian barangnya gak
banyak.” Aku bergegas menuju garasi dan memasukkan barang-barang itu ke mobil.
“Mbak, tolong bilangin sama Ibu kalo aku
ke panti.” Ujarku seraya menyalimi tangannya.
“Hati-hati ya…”
“Iya, tapi Mbak gak apa-apa kan di rumah
sendiri?”
“Kan ada Bi Inun yang jagain Mbak. Kamu
tenang aja.”
Sedetik kemudian moobil yang ku kendarai
sendiri melaju mennuju panti asuhan. Sebenarnya rencana pergi ke panti ini aku
ingin mengajak Lucky. Tapi itu urung kulakukan karena aku tau, ya, Lucky pasti
sibuk mempersiapkan diri untuk acara Night Party dalam rangka HUT sekolah. Dan
tentunya Priskalah yang mengajaknya. Dan pertanyaan baru pasti muncul,
Kenapa aku tidak pergi???
Yah, akan kujawab tapi sebelumnya akan
kujelaskan bagaimana peraturan Night Party di sekolahku yang bersifat absolute
itu.
Firsht,
acara yang digelar setiap tahun ini adalah acara perayaan HUT sekolah sekaligus
acara reuni yang ditujukan kepada seluruh siswa-siswi sekolah dan diwajibkan
ikut dan datang dalam acara ini. Peraturan pertama ini sudah jelas-jelas
menyeret kata DIWAJIBKAN, tapi kenapa aku tidak juga pergi atau bahkan sekadar
sibuk berburu dress-dress lucu, anggun dan mahal atau antre di salon dengan no
antrean 101 sampai rela berjemur kayak ikan dendeng yang hanya tinggal digoreng
dan dan disantap? Nyam,nyam, Enak!
Alasannya sederhana, apada aturan
pertama ada NB {Kepanjangannya Note Book atau Numbang Berita} yang bunyinya:
“Perkecualian untuk siswa-siswi yang punya acara atau musibah tertentu yang
tidak sama sekali memungkinkan untuk datang.”
Dan ada yang tau gak alasan yang aku
kirim lewat sahabatku Neni yang berbentuk surat yang orang sering sebut dengan
DC? Yap, itulah alasan dasyat dan cetar yang kubuat. Untuk surat ijin sakit
dari dokter itu, mudah saja aku buat. Secara githoo pamanku kan dokter THT jadi
aku buat alasan sakit tenggorokan dan harus puasa ngomong selama 1x24 jam.
Well, I Know Bu Desi sekarang pasti
sedang sibuk mencari-cari penggantiku sebagai MC, Host atau sebutan lainnya
untuk acara itu. Dan sebagai siswi yang bertanggung jawab, aku sms Bu Desi dan
bilang kalau Priska cocok menggantikanku.
Next,
peraturan kedua, peserta harus membawa pasangannya masing-masing. Boleh dari
luar dan tentu saja dalam sekolah. Inilah peraturan yang paling aku gak suka.
Karena peraturan ini amat sangat menyengsarakan para jomblowan-Jomblowati yang
bakalan susah nyari orang buat diajak ke pesta itu. Gak mungkin kan mereka
ngajak Mimi Pipi atau Grandpa dan Grandma ke acara gaholnya ABG? It’s
impossible!
Dan aku mungkin gak akan sesusah itu.
bukannya sombong sih, tapi yahh lumayan banyak yang nawarin diri untuk menjadi
pangeran semalamku di Night Party kali ini. Bahkan beberapa ada yang sampai
bertingkah aneh. Sebut saja Bagus, cowok yang terkenal playboy cap tokek ini
menawariku untuk pergi bersamanya.
‘Na, mau gak pergi bareng aku? Kalo kamu
mau, aku bakalan beliin kamu dress yang kamu suka dan pergi ke salon mahal.
Gimana?” dan kujawab dengan tampang dan nada sinis.
“Sorry aku gak bisa! Lagian kamu kan
punya banyak cewek-cewek cantik. Ajak aja salah satu buat jadi pasangan kamu!”
“Mereka udah aku putusin. Demi kamu,
Na.”
Jedog! Demi aku? Heloooo….. I’m not
crazy girls you know! Saat itu, pengen
rasanya aku tampar habisan-habisan wajahnya sampai ia sadar sedang berhadapan
dengan siapa. Dan Blablablabla…. Si Bagus terus saja mencoba merayu tanpa
mengetahui keberadaanku yang sudah terbang jauh ke Kutub Utara. {Yang dimaksud
disini adalah tempat-tempat terahasia di sekolah dan disitulah aku bersemadi
tanpa satupun manusia yang tau sampai seratus tahun kemudian}.
^^^
Perjalanan
ke sekolah pagi ini begitu ku rasakan berat sekali. Selain tas yang ku gendong
penuh berisi buku-buku berhalaman seratus, juga hatiku penuh dengan hal-hal tak
menggenakkan yang selalu berkecambuk menggerogoti pikiranku. Untung saja Izal
mengerti dan tidak banyak cakap seperti biasanya jika ia mengantarku ke
sekolah. Ia hanya diam sambil menyiul-nyiulkan mulutnya hingga sama persis
seperti Mulut bebek yang bersuara Kenari. Sampai di depan sekolah aku segera
turun dari mobil tanpa meninggalkan komentar apapun tentang kecepatan, keamanan
atau kebisingan saat Izal berkendara. Semuanya berlalu begitu saja tanpa suara
mencak-mencak karna Izal hobi banget mengacak-acak rambutku. Namun, setelah
melewati pos satpam sekolah, langkahku berhenti. Entah kenapa, sebuah sinyal
membuat tubuhku berbalik dan OMG! Di depan mata kepalaku sendiri, kulihat
Priska turun dari motor yang dikendarai Lucky. Setelah itu adegan selanjutnya
terekam lagi, Lucky mencium kening Priska. Tampak sangat bahagia bagi mereka
tapi sangat tidak menyenangkan bagiku. Tiba-tiba, darahku naik turun begitu
cepat. Jemariku kaku, leherku kram, kakiku kesemutan, paru-paruku sesak, dan
Hatiku remuk. Gilaa, tragis, ironis dan kronis!
“Raina!” Jrett. Segala peristiwa
hiperbola itu dibubarkan oleh panggilan Priska yang tampak berlari-lari menuju
arahku.
“Kemarin kamu kemana? Kok gak
datang?” Tanya Priska tersenyum sangat bangga dan bahagia terhadapku.
“Eh, e, aku, aku kan sakit
tenggorokan, Pris.” Jawabku sambil memegangi tenggorokan yang sekarang
benar-benar sakit.
“Oh, aku lupa. Mmm… Tadi Lucky
nitip salam ke kamu. Katanya cepet sembuh.”
Seperdetik setelah kalimat itu
diucapkan Priska, sontak penyakit stroke aneh yang timbul dalam tragedy tadi
hilang tak berbekas. Musnah seperti lagu Andra n’the Backbond. Bibirku mulai
tertarik untuk menuai senyum yang lama tak aku siram sampai ia layu. Setelah
itu juga, kakiku seperti melayang, seperti Casper atau Tingkerbell yang terbang
bebas.
“Oh ya? Terimakasih, tolong
katakan padanya.” Ucapku.
“Of course!” Priska menggangguk.
Kami lalu berjalan beriringan menuju kelas. Bersama wanita yang dicintai
sahabat yang kucintai.
>>>
“Raina, jawab soal nomor 2!
Sekarang!” jeritan itu membuyarkan lamunanku. Buset, nih guru makan apaan sih
tadi pagi? Garang banget!
Tek, tek, tek, suara sepatu
terdengar seperti suara sepatu si
Jago-nya Kek Oesman, jelas sekali. Aku baru sadar kalau sedari tadi kelas ini
seperti suasana dalam film horror Indonesia. Penghuninya diam sambil memandang
dalam tatapan kosong dengan teramat pucat dan putih seperti cat tembok rumahku.
Dan ketika aku kian mendekat ke depan kelas, sesosok raksasa seperti sedang
menungguku dengan tatapan tajam. Menunggu mangsa dan akan segera melahapku.
PLAKK! Suara benturan penghapus
dengan papan menyadarkanku. Lagi-lagi imajinasiku terbang jauh melayang-layang.
Huh, Raina, what’s wrong?
“Raina!!! Maju ke depan
sekarang!” teriak pak Kimon.
Sontak aku melonjak kaget. Segera
aku berdiri dan berjalan ke depan kelas. Dan well, yang kujawab bukan hanya
soal nomor 2, tapi juga nomor 3, 4, 5, 6 sampai habis. And then, bell is
ringing. Tandanya aku dan semua anak-anak yang ngebet pulang bisa dengan
leluasa bebas dan menemui pikiran mereka yang sudah dari beberapa jam yang lalu
ada di rumah.
>>>
Dua
jam yang lalu, aku baru saja menerima telepon dari Ibu bahwa ia harus pergi ke
rumah sakit mengantar Mbak Yunita yang akan segera melahirkan.
“Tapi Bu, aku gak bisa kesana. Ada
banyak tugas hari ini.”
“Iya, taka pa. Ibu Cuma pesan kamu
jangan sampai lupa makan dan jangan pulang terlalu sore.”
“Iya bu, sejam lagi aku juga pulang
kok.”
Kututup telepon segera setelah Ibu
cuap-cuap habis-habisan. Sekarang mulailah aku mengobrak-abrik isi tiga tumpuk
buku yang dengan penuh usaha dan perjuangan aku temukan. Ohya, posisiku
sekarang sedang berada di perpustakaan sekolah. Dan memang sekolah membuka
perpustakaan ini lebih lama tiga jam setelah jam pulang sekolah. Kebijakan itu
pertama kali dicetuskan oleh Bu Nari, guru bahasa inggris yang senang dan
sering menghabiskan waktunya setelah mengajar di perpustakaan ini. Seperti hari
ini, aku melihat Bu Nari terdiam seorang diri sambil membaca sebuah buku
bersampul Jingga dengan gambar dua anak kecil laki-laki dan perempuan yang
duduk di atas sebuah ayunan dengan wajah yang sangat gembira.
“Sore, Bu?” sapaku seraya duduk
menghadapnya.
“Sore juga, Na.” balasnya dengan mata
tetap tak berpaling dari ratusan kata di dalam buku itu.
“Mmmm… Ibu suka baca novel juga ya?”
kataku pelan. Selama ini kukira Bu Nari yang terkenal jutek dan dingin ini
menghabiskan waktu di perpustakaan untuk membaca buku-buku sastra inggris atau
sejenisnya. Tapi, judul yang kudapati tertulis pada sampul buku yang ia baca
menjelaskan bahwa buku itu adalah sebuah novel.
“Lumayan.” Jawabnya singkat.
Aku tak berani menanyakan tentang apa
yang terangkum di benakku. Kulihat ia begitu serius meneliti kalimat demi
kalimat dalam novel itu. aku pun melanjutkan tugas-tugasku yang tidak kunjung
selesai. Sesekali aku berhenti sejenak dan melirik Bu Nari yang tetap focus
pada novel itu.
Satu jam kemudian aku telah merapikan buku-bukuku.
Tugas yang diberikan oleh Bu Desi untuk membuat laporan ilmiah juga sudah
selesai.
“Bu, Ibu tidak pulang?” tanyaku dengan
agak canggung.
Bu Nari tetap membungkam. Novel yang a
baca menutupi wajahnya. Pelan-pelan ketika sunyi mencekam ruangan ini, aku
tersentak. Aku mendengar suara isakan. Isakan dari sebuah tangisan. Aku sempat
takut dan cepat-cepat memasukkan buku-buku ke dalam tas. Jangan-jangan di
perpustakaan ini ada hantunya lagi! Hihihi…
Tetapi setelah kuselidiki lebih lanjut,
akhirnya aku tau siapa sumber tangisan itu. Bu Nari. Ya, ia menangis di
hadapanku. Tapi ia berusaha menghapus air matanya ketika ia meletakkan buku
bacaanya.
“Bu? Ibu menangis?” kataku pelan.
“Menangis? Kamu ada-ada saja. Buku itu
berdebu jadinya mata Ibu iritasi.” Ujarnya seraya merapikan barang-barangnya.
“Kamu tidak pulang? Ini sudah sore.” Bu Nari segera beranjak pergi.
“Buk, apa Ibu menyimpan sesuatu?”
ujarku. Bu Nari menghentikan langkahnya dan berbalik menatapku.
“Sesuatu?”
“Ya, sesuatu seperti dalam novel itu.”
Ia terdiam lagi. Kini kulihat dengan
jelas mata Bu Nari berkaca-kaca.
“Maaf kalau saya menyinggung.”
“Taka pa, mungkin cuma Ibu yang harus
lebih tegar.”
“Apa ibu sedang mempunyai masalah?”
“Yah, mungkin memang Ibu harus menceritakan
ini juga pada seseorang.”
Bu Nari menghela napas panjang. Matanya
masih berkaca-kaca.
“Dulu saat aku masih seusiamu, aku
selalu menyendiri. Orang tuaku selalu sibuk dengan pekerjaan mereka dan baru
akan pulang ketika larut malam. Di rumah, aku hanya ditemani seorang pembantu
dan seorang sopir pribadi. Bi Mimin dan Pak Oto namanya. Mereka sangat sayang
padaku melebihi orang tuaku. Dan sampai paada suatu ketika, orang tuaku
bertengkar hebat. Mereka lalu memutuskan untuk bercerai dan aku sangat terpukul
saat itu. aku mencoba kabur dari rumah dan pergi ke tempat yang tidak aka nada
yang menemukanku. Hingga akhirnya aku sampai di sebuah danau. Danau kecil yang
belum pernah aku lihat. Indah dan tenang. Di pinggir danau itu aku duduk
melamun seharian. Aku tak peduli dengan apa saja yang terjadi di sekelilingku.
Aku tetap melamun dan sendirian sampai matahri terbenam.
“Sedang apa kau disini?” Tanya sebuah
suara.
Aku tersentak mendengarnya. Aku pun
segera membalikkan badan dan melihat seseorang telah berdiri dengan pandangan
sinis.
“Siapa kau?” tanyaku.
“Aku yang seharusnya bertanya padamu!
Siapa kau berani duduk di tempatku?”
“Mmm, a, aku, ah maaf, aku akan pergi
dari sini!”
Aku pun beranjak pergi dari bangku yang
sedari tadi aku tempati dan entah akan pergi kemana lagi karena aku tak mau
pulang ke rumah saat ini.
“Tunggu! Siapa yang menyuruhmu pergi?”
Tanya orang itu.
“Tempat ini milikmu bukan? Jadi maaf aku
telah mengganggumu.”
“Tempat ini memang milikku dan belum
pernah seorang pun yang tau kecuali aku dan kau sekarang.”
‘Apa aku sudah mengetahui tempat
rahasiamu ini? Kalau begitu, sekali lagi aku minta maaf dan aku akan pergi!”
“Kau tidak boleh pergi!”
“Kenapa?”
‘Kau sudah tau tentang tempat ini.”
“Lalu?”
“Duduk saja disana dan diamlah! Aku akan
kembali!”
Orang itu beranjak pergi entah kemana.
Sedangkan aku duduk kembali seperti semula seperti apa yang diperintahkannya.
‘Ini untukumu.” Orang itu menyodorkan
sebotol minuman dan biscuit kepadaku. Apa maksud orang ini? Aku jadi curiga
dengan orang ini. Jangan-jangan…
“Hey, cepat makanlah biscuit itu! aku
yakin kau kelaparan.” Ujar orang itu.
“Kenapa kau tau?”
“Mudah saja, akau lihat kau seharian
duduk melamun disini sampai-sampai kau tak sadar alas kakimu hanyut ke danau.”
Aku sontak melihat kakiku. Astaga, sandal kesayanganku
hanya kupakai sebelah. Aku pun berusaha mencari pasangannya tetapi sudah tidak
ada. Saat itu aku menangis seperti anak kecil yang kehilangan balon.
“Dasar cengeng! Ini sandalmu kan?” orang
itu menyerahku sandalku yang hilang. Kenapa itu bisa ada padanya? Aku semakin
curiga dengan orang ini. Apakah dia benar-benar orang jahat bayaran?
“Cepat makanlah biscuit itu! kalau tidak
mau biar aku saja yang menghabiskannya.”
Ia merebut minuman dan biscuit dari tanganku lalu melahapnya.
Astaga, kalau itu berisi racun pasti dia
tidak akan memakannya. Akhirnya aku pun tetap kelaparan dan semakin tergiur
melihat orang itu memakan biskuitnya dengan lahap.
“Ini, ambil dan segeralah makan! Jika
tidak maka kau tak akan mendapatkannya lagi!” lelaki itu menyerahkan lagi
biscuit dan minumannya. Kali ini aku tidak akan menyia-nyiakannya dan
mencurigai orang lagi.
“Terimakasih
ya!” kataku saat aku telah sampai di rumah.
‘Sekali dua kali direpotkan orang lain
itu tak akan masalah bagiku. Tapi jika kau sering seperti ini, aku tidak akan
pergi ke danau lagi.” Ujarnya kesal.
“Tapi..”
“Tak usah pakai tapi-tapian lagi! Jika
kau kesepian di rumah, kau bisa meneleponku.”
“Mmm.. ya sudah. Aku akan menuruti
nasehatmu dan sekali lagi terimakasih untuk hari ini.”
Dia hanya tersenyum memandangiku.
Semenjak hari itu, aku menjadi dekat dengannya dan tentunya mengetahui namanya.
Reyhan.
“Apa yang aku katakan kemarin, Nari?”
“Maaf, aku tidak punya cukup waktu untuk
meneleponmu saja. Hatiku sangat kacau sekarang.”
‘Apa ayahmu memarahimu lagi?”
Aku membungkam. Tetap pada posisi awal
dan tanpa kusadari mataku mulai berair.
“Ayahku ingin menikah lagi dan aku
sangat tidak menyukainya!”
“Aku juga tidak suka dan benci melihatmu
terus-menerus menangis seperti itu!”
Reyhan memelukku. Hal yang paling sering
ia lakukan untuk menenangkanku. Dan entah kenapa jantungku selalu
berdebar-debar saat hangat tubuhnya merasukiku dan melupakan tangisan yang
sebelumnya mengalir deras.
“Terimakasih, Rey!”
“Untuk apa?”
“Untuk semuanya. Untuk pelukan dan
senyuman yang kau berikan padaku.”
“Kau tak perlu berterimakasih. Kau juga
bisa memelukku kapan pun kau membutuhkannya.”
Jantungku semakin berpacu cepat ada
sebuah perasaan aneh yang menyusup di jiwaku. Tapi segera aku usir perasaan
itu.
Senja semakin menggelap. Hari sudah akan
kembali usai. Seharian penuh aku berada di danau bersama Rey, membicarakan
kesukaan dan segala hal.
Rey
menghilang. Sejak dua minggu lalu aku bersama dengannya di danau ini dan saat
itu pula terakhir kali aku melihatnya. Kamu kemana, Rey? Pertanyaan itu selalu
muncul tiap kali aku merindukannya. Di danau, di rumahnya, tak pernah sepi dari
kedatanganku. Tapi tak pernah kutemukan dank u ketahui keberadaanya. Rumahnya
selalu sepi. Hanya dijaga oleh seorang tukang kebun. Pak Budi namanya. Pak Budi
bilang kalau Reyhan dan keluarganya pergi sejak Reyhan sempat pingsan di
rumahnya. Tapi Pak Budi tidak tau kemana dan sampai kapan Rey akan pergi. Aku
hanya bisa terpaku menanti kapan saatnya Reyhan kembali.
^^^
“Pagi,
Buk..” sapaku ramah pada Bu Nari. Pagi itu langit tampak begitu cerah. Bahkan
Bianglala tampak melengkung menghiasi birunya langit yang membuat hati para
insane terpukau dan lebih baik.
“Hey, Na. Pagi juga!” Bu Nari membalas
sapaanku dengan senyuman manisnya. Kulihat Bu Nari sedikit berbeda hari ini.
“Masih merasa sedih?”
Bu Nari tiba-tiba berhenti. Aku jadi
takut Bu Nari akan tersinggung dan memarahiku. Tapi tidak, Bu Nari malah
tersenyum lebar padaku.
“Sedih?” Raina, kita tidak boleh
berlarut-larut dalam kesedihan. Kita harus menjadi orang yang tahan banting.”
“Yah, saya kan gak bisa judo buk. Kalo
dibanting tetep aja tulang pada remuk!”
“Hahaha… kamu ini bisa aja, Na!”
“Mm.. Ohya, Ibu mau kemana?”
“Ibu mau ke kantorlah.”
“Oh, Kalo gitu saya ke kelas aja deh.”
“Kenapa, Na? Sepertinya ada yang kamu
ingin sampaikan.”
“Eh, gak, gak ada kok.”
“Ya udah. Sana gih ke kelas. Sebentar
lagi bel lho.”
Bu Nari berlalu. Tubuhnya hilang di
balik pintu ruang kantor guru. Sedangkan aku masih terpaku disini. Tapi
tiba-tiba sebuah suara memanggilku. Dine berlari-lari menuju ke arahku.
“Ada apa, Din?” tanyaku bingung.
“Nih, ada undangan dari Priska. Besok
dia ultah, terus kita sekelas diundang pergi ke pestanya.” Jelas Dine sambil
menyerahkan undangan warna pink itu kepadaku.
“Ya udah. Besok aku jemput kamu sama
Neni. Kita pergi ke sana bareng-bareng.” Aku lalu beranjak pergi ke kelas.
“Tapi, Na, yang diadain Priska itu
Couple Party. Jadi kita harus bawa pasangan.”
“What?? Aneh-aneh aja si Priska! Dia
jiplak peraturan Night Party sekolah ya?!”
“Ya, itu isi dari undangannya. Lagian
kamu kan punya banyak fans, Na.”
“Fans apaan? Tapi, gak apa-apa kok. Aku
bakalan datang ke sana!”
“Hah? Ciuss kamu? Sama siapa? Jangan
bilang sama Si Bagus!”
“Ushh! Ya gak mungkinlah aku pergi sama
playboy cap tokek itu! pokoknya kamu liat aja besok.”
Aku lalu beranjak pergi. Bel pun sudah
berbunyi sepuluh menit lalu. Dalam otakku tersirat berbagai rencana yang
bakalan cetar dan membahana kayak Syahrini.
>>>
Halaman sekolah mulai sesak lagi setelah
murid-murid keluar dari kelas. Ada yang berlari-lari, ada yang duduk-duduk di
sekitar lapangan basket, ada yang nangkring di kantin, ada yang bingung
mencari-cari lokasi motornya diparkir, dan sebagainya. Sedangkan aku, hanya
berjalan tertunduk lesu. Melamunkan acara besok.
“Raina!” tiba-tiba sebuah suara
memanggilku. Di depan sekolah, kulihat Lucky sedang duduk di atas motornya,
menunggu seseorang, dan itu tentu saja bukan aku, Dine, Neni apalagi Satpam
sekolah. Siapa lagi selain Priska? huhh! Kemudian aku mendekatinya. Seraya
tersenyum seperti biasa.
“Hey, apa kabar Na?” Tanya Lucky.
“Mm… Baik! Lagi nunggu siapa?”
“Ya, nunggu Priskalah. Aku mau anterin
dia buat beli perlengkapan besok.”
“Oh..” aku hanya mengangguk-angguk.
“Kamu besok datang kan?”
“Besok? Oh, ya tentu dong!”
“Baguslah. Kalo gitu aku duluan ya.”
Lucky memakai kembali helmnya. Tampak
Priska datang sambil tersenyum padaku. Kemudian, ia menaiki motor Lucky,
memeluk erat punggung Lucky dan memberi komando agar segera melaju. Sedangkan
aku, layaknya sebatang pohon, tak ada yang menghiaraukan. Pun sebatang pohon
masih ada yang melirik sebagai tempat berteduh, but it’s not me!”
Dan tiba-tiba aku teringat lagi, tentang
siapa yang akan aku ajak ke pesta ulang tahun Priska besok. Kalau aku mengajak
Bagus, seentro sekolahan pasti akan menganggapku tidak waras. Yang benar saja,
seorang Raina bisa luluh dan mengajak pergi si Palyboy cap tokek itu ke Couple
party. Kalau dengan Jono, lelaki berbadan kurus itu baik, tapi tak ada yang
akan mengira besoknya bagaimana. Foto ku dan dirinya pasti akan terpampang di
mading lengkap dengan penjelasannya. Hal itu juga akan membuat aku menjadi
bahan empuk dan pulen untuk gossip. Huhh… Lalu dengan siapa aku pergi? Oh my
God, help me! /~_~\
^^^
Ketika
pikiranku sibuk memikirkan pasanganku untuk pergi ke acara Ulang tahun Priska
sejak kemarin sore, Ibuku datang seraya membawa sebuah kotak besar berwarna
biru muda dengan sebuah pita merah yang mengikatnya.
“Ina, ini ada kiriman buat kamu!”
“Hah? Dari siapa?”
“Entahlah, petugas yang nganterin gak
mau nyebutin siapa pengirimnya.”
“Baiklah. Terimakasih ya Buk!”
Ibu lalu segera beranjak pergi. Tapi
sebelum ia melewati pintu Ibu melihat foto itu, foto kecilku bersama Lucky.
“Na, kok Lucky gak pernah kesini lagi
ya?”
“Mm, itu, dia, dia lagi sibuk ngurusin
ultahnya Priska.”
“Priska? Siapa itu?”
“Pacarnya, Buk.”
“Oh.. Lucky udah punya pacar ternyata..”
“Udah deh Buk, jangan bahas dia!”
Ibuku terkekeh. Ia lalu pergi dan
menghilang di balik pintu kamarku. Sedangkan aku, makin sibuk dengan acara
penasaran akan pengirim hadiah ini. Terlebih setelah aku buka isinya. Sebuah
gaun pesta yang juga berwarna biru muda. Dan di balik gaun itu terselip sebuah
surat.
Dear Raina…
Raina,
semoga kamu suka ya dengan gaun ini. Yahh, meskipun harganya gak mahal-mahal
banget, tapi aku harap kamu memakainya nanti ke Acara ulang tahun Priska. Dan
kamu pasti akan terlihat cantik!… ^_^
-Orang
yang kamu kenal-
Gilaa, siapa sih ini? Orang yang aku
kenal? Helooo… temen-temen sekelas aku aja jumalahnya 39, ditambah kelas-kelas
tetangga, di rumah juga banyak. Tapi masa Kek Oesman? Atau Om Fredy? Ahh, gak-gak! Atau
jangan-jangan Si Kiwil? Anak SMP juragan beras itu? Ahhhh… gak mungkin juga!
Aku hampir gila penasaran oleh pengirim misterius ini. Kepalaku terasa
cenat-cenut memikirkannya. Lalu sebuah nada sms masuk mengembalikan ingatanku.
Dari Baron, ia mengirimkan solusi atas kebingungan, kecenat-cenutan kepalaku
dan apakah mungkin Baron yang mengirimkan hadiah ini?
Anda penasaran?
Sama, saya juga!!!*
*{Nadanya sama
seperti di acara Suka-Suka Uya sebelum iklan lewat}
>>>
Baron tampak begitu takjub dengan
penampilanku malam ini. Ia lalu membukakan pintu mobilnya bak pelayan yang
mempersilahkan sang Putri untuk naik ke mobil.
“Terimakasih.” Kataku tersenyum. Baron
lalu memasuki mobilnya dan siap-siap melaju. Tapi sebelum sempat menghidupkan
starter mobil, tiba-tiba Mbak Yunita memanggilku.
“Ada apa, Mbak?” aku melongo dari balik
kaca mobil.
“Nih sepatu kamu ketinggalan.” Mbak
Yunita menyodorkan sepatu hak tinggi yang biasa aku pakai ke acara pesta.
Kemudian aku menengok kakiku. Sepasang sandal jepit memang masih terpasang di
kakiku.
“Hehehe… Hampir lupa, Mbak!”
“Ckckck… untung aja kamu gak pake sandal
jepit ke pesta. Kan gak sesuai sama gaun yang dikasi Baron.”
“Ihh, Mbak ini. Ya udah deh, aku
berangkat dulu ya Mbak.”
Aku melambaikan tangan pada Mbak Yunita
yang sudah tertinggal cukup jauh di belakang.
“Na, kapan ya aku ngasih kamu gaun?”
Pertanyaan itu sontak membuatku
membalikan badan menghadap Baron.
“Lho, bukannya kamu yang ngirim hadiah
gaun ini ke rumah tadi siang?”
Baron tak menjawab. Ia malah tertawa dan
menatapku yang tampak heran.
“Sumpah deh. Aku gak ada ngirimin hadiah
ke rumah kamu.”
“Lalu kenapa kamu ngajakin aku buat
pergi ke pestanya Priska?”
“Yaa, kalo soal itu, gak ada yang cocok
buat aku ajak selain kamu.”
“Oh..” aku menjadi makin heran. Kalau
bukan Baron, terus siapa dong?
Huhh… lagi-lagi itu membuatku tidak bisa
berkonsentrasi pada perjalananku. Hingga akhirnya Baron menghentikan mobilnya,
kami sudah sampai.
“Hey, Raina!
Akhirnya
kamu datang juga!” Priska tampak suminggrah menyambut
kedatanganku di pestanya. Dengan memakai gaun warna pink dan sepatu hak tinggi
nan tipis, ia tampak anggun. Pantas kalau Lucky bisa jatuh cinta padanya. Dan
ia memang beruntung.
“Hai, happy birthday ya, Pris!” kami
berpelukan. Dan saat itu aku mendengar Priska berbisik.
“Na, malam ini aku mau umumin kalo aku
sama Lucky akan tunangan.”
Jret… Gubrakkk!!!!
Tiba-tiba
gemuruh kembali menyelimuti langit dan menurunkan hujan deras yang menyebabkan
banjir bandang dan menghanyutkan segala isi hatiku.
Ya, aku sangat shock, kaget, terkejut
dan istilah sejenis lainnya. Andai saja aku tidak sama sekali sadar sedang
berada di mana, aku sudah berteriak sekencang-kencangnya sampai pohon-pohon
tumbang pun aku tidak peduli. Karena aku sangat tidak mengharapkan hal itu
terjadi.
“Raina?” Baron memecahkan lamunanku.
Lalu ia tiba-tiba menggengam tanganku, berjalan diantara para tamu, menyusul
Priska dan tentu saja akan bertemu dengan Lucky.
Saat berhadapan dengan Lucky, aku
mencoba melepaskan tanganku dari Baron, tapi itu urung aku lakukan lantaran aku
sudah tidak tahan lagi dengan kemesraan Priska dan Lucky. Aku malah merangkul
lengan Baron, aku tidak mau kalah!
“Kalian balikan lagi?” Tanya Lucky
menatapku dan Baron.
“Mmm.. e, Iya, kami baru aja balikan.
Benar kan, sayang?” aku menatap Baron lekat. Berharap bahwa Baron akan mengerti
posisiku saat ini.
“Iya, ternyata kami baru sadar bahwa
kami masih saling mencintai.”
Huff.., akhirnya Baron mengerti akan
tatapanku. Ia lalu tersenyum padaku, tapi kulihat ada ketidaksesuaian pada
binar matanya.
“Baguslah kalo gitu, jadi kita bisa
sering double date bareng nih.” Priska menatap Lucky, kemudian menatapku juga
Baron. Lalu hal yang ditunggu Priska dan Lucky, serta tamu lainnya, kecuali aku
pun tiba. Seandainya di sebelahku ada headphone yang memperdengarkan music rock
bervoulume tinggi dan sebuah penutup mata, maka aku pun akan segera memakainya,
meskipun orang-orang akan menatapku heran dan dalam benak mereka akan ada
tulisan berjalan, AWAS ORANG KURANG WARAS!
“Are you ok, Raina?” Tanya Baron
memelankan laju mobilnya. Aku sedang menuju rumah sekarang. Jam 10 malam.
Jalanan kota masih ramai. Orang-orang itu masih menunggu tengah malam untuk
pulang dan berisitirahat atau malah berburu midnight
discount besara-besaran di mall-mall.
“Eh, yaa, I’m fine!” kataku tersenyum padanya.
“Terus kenapa dari tadi diem aja? Kamu
capek ya?”
“Enggak, aku gak capek kok. Tenang aja.”
“Hemm, it’s ok kalo gitu.” Baron kembali diam. Mematung sepertiku sambil
memperhatikan mobil, motor, becak, angkot, busway, dan bajai yang masih sibuk
lalu lalang di jalan raya hanya demi mencari segenggam beras untuk keluarga yang
mungkin saja sangat teramat gelisah dan khawatir menanti kepulangan para tulang
punggung keluarga itu.
“Baron, aku minta maaf soal tadi.” Aku
memberanikan diri untuk bersuara dan menatap Baron.
“Apa?” Tanyanya masih focus pada
setirnya.
“Soal kita balikkan lagi.”
“Oh, never mind! Aku udah mengerti kok.”
“Kamu gak marah?”
“Marah? Untuk apa aku marah? Malahan aku
seneng pas kamu bilang kita balikan. Tapi andai aja itu beneran, aku pasti
bakalan bahagia banget.”
Aku terdiam, pernyataan Baron barusan
membuatku tidak bisa berkata apa-apa lagi. Rasa bersalahpun lagi-lagi
menghantuiku. Baron sangat baik kepadaku dan ia masih sangat menyayangiku.
Tapi, bila aku menerimanya kembali, apakah itu akan semakin membuat hatinya
sakit dan menambah kesalahanku? Entahlah, aku tidak bisa menebak apa yang akan
terjadi besok. Akan kubiarkan saja semuanya sementara berlalu sampai hati dan
pikiranku kembali siap menerimanya.
Darahku,
saat itu,
mengalir
begitu lambat membeku,
Kian
lama kian membuat otakku buntu,
Nadi-nadiku
mengkerut, jiwaku menggerutu,
Bagaimana
tidak, kau sudah tidak bersamaku,
Kau
memang tidak menghilang tabu,
Namun
kau telah menjauh dariku,
Kau,
telah melewatkanku,
Karena
kau hanya anggap aku sahabatmu…
>><<
Perahu singgah di
Persimpangan. . .
“Baiklah
anak-anak, pelajaran kita lanjutkan minggu depan..” suara Bu Desi menjawab
pertanyaan murid-murid tentang kapan bel pulang akan dipencet oleh petugas di
kantor guru. Semua teman-teman sekelasku pun ikut berhamburan keluar
berbarengan dengan pasukan kelas-kelas tetangga. Mereka sangat bersemangat
ketika bel itu berbunyi, karena bel adalah rentetan bisikan malaikat dari
surga.
Sementara
aku dengan malas merapikan buku-buku yang berserakan di mejaku. Kemudian dengan
sangat malas juga aku berjalan keluar kelas menyusuri lorong kelas dengan tujuan
sebuah ruangan yang dipenuhi rak-rak dan buku-buku berhalaman setebal kumis Pak
Budiman sampai setipis alis Bu Desi, perpustakaan.
Siang ini, aku ke perpustakaan bukan
untuk mengobrak-abrik isi rak-rak tinggi disana, atau memperlambat jam pulang
petugas perpustakaan. Tapi, aku ingin menemui Bu Nari. Aku yakin dia pasti
sudah duduk diam disana sambil membaca buku dengan gambar sampul yang mungkin
akan menyayat hati meskipun baru melihatnya saja.
“Bu..” kataku pelan setelah aku
mengambil posisi duduk di sebelahnya.
“Ya? Can I help you, sweety?”
“Aku mau curhat.”
“Curhat tentang apa? Lucky? Kakak kamu?
Atau tetangga kamu itu, Kek Oesman ya?”
“Ihh, aku serius Buk!”
Bu Nari tertawa. Ia kemudian meletakkan
buku yang ia baca tadi dan menatapku.
“Hah? Buku komedi? Kok tumben ibu baca
buku komedi kayak gitu?”
“Yeee… emangnya gak boleh? Lagian Ibu
kan lagi seneng banget hari ini.”
“Ohya? Seneng kenapa Bu?” tanyaku
penasaran sampai-sampai lupa dengan tujuanku menemui Bu Nari.
“Mmm… kasi tau gak ya?”
“Yah, Ibu! Kasi tau dong…”
“Ibu, ibu akhirnya di terima kerja jadi
dosen di Inggris!”
“Wahh… selamat ya buk! Tapi…”
“Kenapa, Na?”
“Itu berarti Ibu bakalan pergi dari sini
dong..”
“Cupcupcup… jangan sedih dong. Lagian
kamu kan bisa contact Ibu kapan pun kamu mau.” Bu Nari memelukku erat.
“Ohya, tadi kamu mau curhat apa?”
Aku kembali tertunduk lemas. Mataku
mulai berbinar-binar, mulai berair sampai akhirnya basah oleh air mata.
“Lucky mau tunangan sama Priska.” Ucapku
lirih.
“Tunangan? Kapan?”
“Entahlah, aku gak mau tau soal itu. Itu
buat aku sedih banget, Buk.”
“Udah dong. Jangan nangis lagi. Lagian
mereka kan baru tunangan.”
“Tapi tetep aja Buk, bikin sakit hati!”
“Ya, mau gimana lagi? Masih banyak ikan
di laut kok!”
Aku kembali memeluk Bu Nari. Tangisanku
mulai mereda ketika aku teringat sesuatu.
“Bu, kalo aku balikan lagi sama Baron
gimana?” kataku sambil menatap Bu Nari.
“Yaa, ibu sih setuju-setuju aja. Asalkan
kali ini kamu serius.”
“Tapi aku takut bakalan nyakitin dia
lagi.”
“Tidak kalau kamu yakin sama dia.”
Aku menatap lekat Bu Nari. Kemudian
menyunggingkan senyuman. Aku harap, keputusan ini tidak akan salah dan
membuatku bisa melupakan Lucky.
Oh God, bless me..
^^^
Pagi itu, mentari begitu bersemangat
untuk menyinari bumi dengan sinar orangenya. Seperti biasanya juga, si jago dan
brung kenari milik kek Oesman bersenandung ria melantunkan lagu-lagu faforit
kek Oesman. Ketika aku menuju teras di depan kamarku, kulihat Kek Oesman sedang
sibuk memberikan peliharaanya itu makanan.
“Selamat pagi, kek Oesman!” teriakku
menyapa manula yang mirip dengan artis Ki Daus itu. Tapi saat kupanggil, kek
Oesman tak menjawab. Ya jelas saja, kek Oesman itu pendengarannya udah sedikit
terganggu. Tapi satu hal yang selalu bisa ia dengar dengan jelas adalah suara
si jago dan burung kenari kesayangannya. Entah karena apa, hanya suara binatang
itulah yang paling bisa didengarkan kek Oesman.
“KEK OESMAN, LAGI NGAPAIN?!” aku berteriak lagi dengan
sekencang-kencangnya. Dan akhirnya beliupun mendengarnya.
“Eh, Neng Raina ini, pagi-pagi udah
teriak-teriak! Lagi marah ya Neng?” sahutnya dengan mimik tanpa dosa.
JEGUBRUKk! ! !...
Aku mendadak ingin pingsan atau turun
dan berteriak tepat di telinga kek Oesman. Tapi untung saja, Kek Oesman itu
orang tua, dan orang tua itu patut dihormati, jadi Kek Oesman itu orang tua
yang patut dihormati.*
{*Jika anda
punya volume kesabaran yang melebihi batas normal, silahkan hormatilah. Tapi
jika tidak, maka tamparlah diri Anda karena sudah salah memilih teman untuk
diajak curhat.}
“Ina, kamu gak sekolah? Udah siang lho…”
Ibuku menjerit dari balik pintu kamarku. Segera kubuka pintu dan mengiyakan
perintahnya.
“Ohya, Baron udah nungguin tuh.” Kata
Ibu lagi.
“Suruh tunggu bentar ya, Buk.” Aku
cepat-cepat mengambil handuk dan membersihkan tubuhku dari hal-hal buruk yang
mungkin saja akan membuat mood ku
kembali memburuk.
“Buk, aku berangkat dulu ya!” pamitku
pada Ibu.
“Berangkatnya ke sekolah ya, jangan
kemana-mana!” Izal nyeletuk. Sambil menyalimi tangan Ibu, aku mendelik ke
arahnya. Seakan-akan aku akan menjadikannya mangsa untuk sarapan pagiku hari
ini. Tapi, sebelum aku berhasil menyergapnya, Izal kembali nyeletuk.
“Baron, jagain adik kakak yang puaaling
cantik, imut dan cerewet ini ya!” Izal terkekeh. Di sebelahnya Mbak Yunita juga
senyum-senyum mendengar kicauan nyaring suaminya pagi ini. Sedangkan aku, hanya
tertunduk, sedikit malu tapi kuharap, ada orang yang membelaku kali ini.
“Tenang aja Kak! Aku udah biasa ngadepin
si cerewet ini.” Baron malah ikut tertawa dan itu membuatku makin malu.
“Ya sudah, kalau Raina ngambek lagi kan
gawat jadinya. Kalian hati-hati ya.”
Aku dan Baron kemudian bergegas menuju
sekolah dan Baron dengan sangat hati-hati melajukan motornya. Sedangkan aku, di
belakangnya memegang erat punggung Baron.
You know what? Ada perasaan aneh kali
ini, jantungku berdebar sepanjang perjalanan dan bibirku terkunci. Perasaanku
hari ini sangatlah senang dan mataku terlihat cerah, terang sekali seperti
lampu neon, Philips dan lain-lain. ^_^
>>>
Jam
istirahat kedua, aku, Neni dan Dine baru saja datang dari kantin setelah kami
menyeruput habis Es Puyeng yang rasanya spektakuler di sekolah ini. Kalian tau?
Minuman pelepas dahaga dengan potongan buah-buhan segar warna-warni ini bisa
disebut dengan Es Puyeng karena konon katanya, Nenek-neneknya-nenek dari Ibunya
Mpok Jeje, sang pedagang Es Puyeng, dulu
untuk menghilangkan kegalauannya akibat ditinggal sang pujaan hati waktu
muda, dibuatlah es ini. Dengan rasanya yang manis karena dibuat dengan secangkir
cinta dan seember kasih sayang, makanya Es Puyeng ini jadi faforit di desa
kelahiran nenek-neneknya-nenek dari ibunya Mpok Jeje. Karena laris, resep
pembuatan es ini pun jadi diwariskan sampai akhirnya jatuh pada Mpok Jeje
sekarang.
“Gila, andaikan uang jajan aku masih,
aku beli lagi deh Es Puyengnya Mpok Jeje!” ujar Dine ketika dalam perjalanan
menuju kelas.
“Ih, kamu ini gak perutmu itu perut
karung ya? Udah 3 gelas lho kamu makan es Puyeng.” Celoteh Neni.
“Iya, nanti puyeng beneran baru tau rasa
kamu!” sambungku.
Dine nyengir. Ia tiba-tiba memegangi
perutnya yang secara mendadak terkena komplikasi.
“Nah, bener kan!” Aku dan Neni
geleng-geleng kepala berjamaah. Sedangkan Dine dengan sekilat cepat meringkuk
di balik pintu toilet wanita.
“Raina!” seseorang memanggilku ketika
aku dan Neni sedang menunggu Dine di depan toilet. Ternyata Priska. Dengan
berlarian centil ala-ala dia, Priska menuju arahku.
“Na, besok kamu ikut ke Bogor kan?”
tanyanya sambil merapikan poni yang mirip dengan Amel Karla itu.
“Ke Bogor? Ngapain?”
“Lucky ngajakin kamu, Baron, Neni sama
Dine buat ikut liburan disana.”
“Ohya?”
“Baron juga udah aku kasi tau. Katanya
terserah kamu aja.”
“Mmmm ya udah deh, aku ikut.”
“Aku jugaa!!” tiba-tiba Dine berteriak
dari dalam toilet. Ternyara dia mendengar semua pembicaraan kami bertiga. Neni
juga kemudian mengiyakan ajakan Priska.
>>>
“Ina, kamu dapat kiriman nih!” teriak
Izal dari ruang keluarga. Mendengar panggilan itu aku langsung keluar kamar dan
menyerbu kotak yang dibawa Izal. Sebuah kotak biru lagi. Entah kali ini siapa pengirimnya,
tapi kuharap tertera nama asli sang pengirim.
“Isinya apaan tuh?” celetuk Izal
memandangi kotak itu dengan wajah penasaran. Sebelum aku sempat membukanya,
tiba-tiba Izal kambuh lagi. Dia mulai merebut kotak itu saking penasarannya.
“Kak, ini kan punya aku!” ujarku sambil
berusaha melindungi kotak itu dari raihan Izal.
Akhirnya Izal kembali normal. Yang benar
saja, ternyata Mbak Yunita datang setelah bersusah payah menenangkan adik bayi
yang kehausan.
“Gak jadi liat isi kotak ini, Kakakku
yang manis?” aku terkekeh dan segera berlari menuju kamarku. Sedangkan Mbak
Yunita Cuma geleng-geleng kepala sambil menatap Izal heran. Izal nyengir,
kemudian melanjutkan acara nonton tv-nya dengan tanpa celoteh apapun.
Di dalam kamar, aku berdebar-debar,
penasaran dengan isi kotak itu. aku pun segera membukanya dan ternyata, sebuah
Syal rajutan berwarna biru dengan selingan warna putih tertata rapi disana. Tak
ketinggalan, suratnya pun terlipat rapi di antara syal itu.
Hai,
Raina? Kali ini semoga kamu suka juga dengan syal ini. Yah, meskipun bukan
rajutan sendiri tapi aku tulus ngasih syal ini ke kamu. Semoga kamu juga gak
keberatan untuk memakainya besok, ke puncak.
-Orang
yang kamu kenal-
Astaga, nama itu lagi! Siapa sih orang
ini? Jika Baron, kenapa waktu lalu dia bilang tidak pernah mengirimkan apa-apa?
Atau mungkin dia berbohong? Tapi kurasa Baron tidak suka berbohong. Lalu siapa?
Apa mungkin Lucky?
Pertanyaan demi pertanyaan muncul dalam
benakku tanpa ada jawaban pasti. Sampai akhirnya malam kian larut dan waktu
bergulir begitu cepat. Matahari sudah muncul ketika aku membuka mata. Tapi, tak
biasanya aku tak mendengar suara si jago di tembok rumahku. Ketika kuselidiki,
ternyata pagi-pagi sekali, si Jago dibawa ke rumah sakit hewan untuk menjalani
pengobatan intensif akibat serangan flu yang dideritanya. Kata Ibu Si Jago dan
Kek Oesman sudah berangkat diantar Kak Izal sekitar jam 5 tadi. Gilaa, jam
segitu mana ada dokter hewan yang udah buka? Bangun aja belum!
“Ina, ayo sarapan! Katanya mau ke puncak
sama temen-temen.” Ibu memanggilku dari ruang makan. Setelah mandi, aku pun
segera menuruni tangga dan bersiap menyantap menu sarapan hari ini. Tapi,
ketika suapan pertama, Izal datang. Ia terlihat masih sangat mengantuk.
“Kamu gak apa-apa, sayang?” Tanya Mbak Yunita
mendekatinya.
“Yah, Cuma sedikit ngantuk aja. Lagian
kek Oesman ada-ada aja.”
“Terus dokter hewannya ketemu?” sambung
Ibu seraya menyendokkan nasi untuk ayah.
“Ya, untung aja dokternya rajin.” Izal
terlihat suntuk. Ia lalu mengambil posisi duduk si sebelah kursi istrinya.
“Ya, sekali-sekali gak apa-apa direpotin
sama Kek Oesman.” Celetuk Ayah keluar dari kamar mandi. Tapi izal tetap
terdiam. sambil mengangguk sebentar ketika Mbak Yunita melengkapi nasinya
dengan lauk dan sayur. Aku pun tak berani mengganggu, aku tau kakakku itu
sangat tidak suka diganggu ketika ia sedang tidak dalam keadaan normal seperti
pagi ini. Aku lebih memilih sibuk dengan sarapanku dan sekali-sekali mencoba
menelaah siapa pengirim gaun dan syal misterius itu.
“Yah, Buk, aku berangkat ya.” Kataku
berpamitan pada ayah dan ibu.
“Kamu baik-baik ya disana. Baron, jagain
Raina ya.” Ucap ayah seraya menatap
Baron.
Baron hanya mengangguk dan tersenyum
mengiyakan. Sedetik kemudian, koperku sudah berada di dalam bagasi mobil Baron.
Ohya, aku, Baron dan teman-temanku yang lain liburan di puncak tepatnya di
villa milik keluarga Lucky. Kami disana selama 5 hari. Dan hal itu berarti
selama 5 hari juga aku akan bertemu Lucky dan segala kemesraan yang ia buat
dengan Priska.
>>>
Udara
nan sejuk mulai terasa setelah aku, Baron, Lucky, Priska, Neni dan Dine
memasuki daerah perkebunan the menuju villa milik Lucky. Terlihat pemetik teh
yang terdiri dari Ibu-ibu sampai anak-anak sedang sibuk meneliti pucuk-pucuk
teh yang akan mereka petik. Saat itu, langit sedang cerah dan dengan senang
hati para pemetik teh itupun dengan semangat mengumpulkan daun-daun teh pada
tas keranjang mereka. Terkadang mereka berhenti sejenak sambil melemaskan
tangan-tangan mereka dan sebentar lagi bekerja kembali. Meskipun terik matahari
saat itu sangat panas, namun para pemetik teh itu tetap bekerja dengan ceria,
tertawa saat pembicaraan mereka merupakan hal yang lucu. Atau mereka terkadang
menjadikan saat-saat seperti ini untuk melepas rasa penasaran mereka dengan cara
bergosip, hampir sama dengan para Ibu-ibu di kota Metropolitan. Bedanya mereka
rela membakar diri seharian demi memberikan kehidupan yang layak pada anak-anak
mereka bukannya malah membicarakan orang dan menghabiskan uang di salon mewah
dan mall-mall.
Sekitar
lima menit melewati perkebunan teh, akhirnya kami sampai di tempat tujuan.
Perlu diketahui, ini bukan pertama kali aku mengunjungi villa ini. Waktu kecil,
orang tua Lucky pasti serta merta mengajak keluargaku termasuk Izal untuk
menghabiskan liburan disini. Aku pun sudah hapal betul dengan letak dapur,
kamar mandi, taman belakang, dan sungai yang mengalir dekat dengan perkebunan
teh ini.
“Raina sekamar sama Neni ya.” Kata Lucky
saat ia membagikan kamar untuk kami. Kemudian dilanjutkan dengan membagikan
kunci kamar. Dan ternyata Lucky memberikan kunci kamar yang sering aku tempati
dulu. Ternyata Lucky tidak lupa. Lucky tidak lupa bahwa aku tidak suka tidur di
kamar lain di villa ini selain kamar dengan kunci berisi gantungan Pinie the
pooh ini. Dengan senang hati, aku segera mengajak Neni masuk ke dalam kamar.
Kamar yang terakhir kalinya aku tempati sekitar 5 tahun lalu.
“Na, ini foto kamu ya?” Tanya Neni
ketika melihat sebuah foto terpajang di meja rias. Foto kecilku, saat itu aku
dan Lucky habis bermain hujan-hujanan di taman belakang. Baju kami basah kuyup
dan penuh lumpur. Orang tua kami pun memarahi kami. Setelah kejadian itu, aku
dan Lucky membuat janji kalau kami tidak akan pernah main hujan-hujanan lagi.
“Na? Cowok ini siapa?” Tanya Neni lagi.
“Eh, iya, itu aku sama Lucky!”
“Jadi ini Lucky waktu kecil? Kok beda
banget sama sekarang?”
“Ohya? Ya udah, kita mending cepet ke
ruang makan deh. Dine udah teriak-teriak tuh manggil kita!” Neni segera
mengembalikan foto itu ke tempatnya. Foto itu masih saja disimpan disini.
Mungkin karena Kang Engkung membiarkan foto itu tetap disini dan untuk melepas
rindunya padaku sejak terakhir kali itu. Kang Engkung adalah orang yang
ditugaskan untuk merawat villa ini. Bersama Istri dan anaknya, ia datang setiap
hari ke villa ini untuk membersihkan villa ini. Dan tugas itu benar-benar
dijalankannya dengan sangat baik.
“Bi Engkung!” panggilku ketika aku melihat
sosok wanita paruh baya yang sudah lama sekali tidak pernah kulihat. Bi Engkung
tampak berpikir ketika aku memeluknya.
“Bibi gak inget sama aku ya? Aku Raina,
Bi!” kataku mengingatkan.
“Raina?” Bi Engkung tampak
mengingat-ingat kembali nama itu.
“Oh, Neng Ina ya? Wahh, sekarang udah
besar ya, makin ayu.” Bi Engkung suminggrah. Ia kembali memelukku dan mengelus-elus
kepalaku seperti yang seringkali ia lakukan dulu ketika aku menangis karena
dikerjai Lucky.
“Bibi apa kabarnya sekarang? Trus Kang
Engkung sama Ujang dimana?”
“Bibi baik-baik aja kok. Kang Engkung
sama Ujang lagi nyari tanaman bunga buat ditaruh di taman belakang.”
“Oh, aku kangen banget sama Bibi, Kang
Engkung, sama Ujang. Lama banget aku gak pernah kesini lagi.”
“Yowiss, sebentar lagi mereka pasti
datang kok. Sekarang sok atuh sarapan.”
“Bibi gak ikut makan?”
“Bibi udah makan tadi, tuh temen-temennya
udah nungguin.”
Aku lalu menuju meja makan. Lalu
mengambil hidangan yang ternyata adalah hidangan kesukaanku dan kurasa Bi
Engkung memasak itu memang khusus untukku.
“Wah, hidangan khusus buat aku nih!”
ujarku ketika melihat tempe manis dan tahu kuah santan di atas meja.
“Eits! Kalaupun itu emang khusus buat
kamu, tapi jangan dihabisin ya!” sahut Lucky berusaha menghalangi sendokku
meraup hampir setengah tempe manis itu.
Astaga, seketika alam pikiranku kembali
terkoyak. Ia kembali ke masa beberapa tahun silam. Ketika itu aku, Lucky dan
keluarganya sedang sarapan, ketika itu juga Bi Engkung memang membuat hidangan
yang dibuatkan khusus untukku karena saat itu aku sedang berulang tahun. Tapi,
ternyata Lucky tidak terima jika hanya aku yang dibuatkan hidangan khusus itu,
ternyata Lucky juga penggemar T2 {tahu dan tempe} sama sepertiku. Maka,
terjadilah perang ketiga di meja makan antara aku dan Lucky. Kami saling
berebut hidangan itu sampai akhirnya Ibu Lucky menarahi kami dan membagi
hidangan itu menjadi dua bagian. Sejak pagi itu, aku dan Lucky sama sekali
tidak saling bicara sampai keesokan harinya sepakat mengucapkan kata maaf
secara bersama-sama di bawah pohon jambu di taman belakang villa.
“Syal kamu bagus.” Kata Priska tiba-tiba
saat kami sedang berjalan-jalan menikmati udara sejuk di perkebunan teh.
“Thanks!” ucapku seraya tersenyum
padanya.
“Ohya, kamu sering kesini ya?” tanyanya
lagi.
“Mmm.. iya sih. Tapi itu dulu. Waktu aku
masih SD.”
“Jadi, kamu tau dong apa arti huruf
ini?” Priska menunjuk sebatang pohon yang menjadi pembatas perkebunan teh itu.
Di permukaan batangnya terukir sebuah huruf. Huruf yang kelihatan sudah lama
dipahat.
“Oh, itu, aku rasa ada orang iseng yang
gak punya kerjaan lalu membuat huruf itu.”
“Tapi, aku lihat di setiap batang pohon
sepanjang perjalanan tadi ada hurufnya.”
“Entahlah. Aku kurang tau soal itu.”
Aku kemudian melanjutkan jalan-jalanku.
Menginjak langkah-demi langkah jalan setap berbatu yang membatasi perkebunan
kanan dan kiri. Mencium kembali aroma daun teh yang sedang diproses di pabrik
yang juga tidak jauh dari sini. Kembali bermain air sungai dan mengejar anjing
kesayangan Ujang. Aku kembali disini
mengenang nostalgia masa kecilku.
>>>
Entah
ini desa atau kota,
Entah
ini adalah masa lalu atau sekarang,
Tetapi
tempat ini tetap adalah tempat terindah di duniaku,
Menjadi
anak-anak yang suka bermain air,
Atau
menjadi pengembara kebun teh
Dengan
seorang teman yang kusebut sahabat,
Dan
kami suka bersembunyi di antara rimbanya daun-daun teh,
Bersiul
memanggil burung yang tidak akan datang,
Mencuri
makanan milik para pemetik teh
Serta
memanggil teman-teman lain,
Joe
si anjing,
Joli
si kelinci,
Pipit
si burung,
Dan
Koi si ikan….
“Mau beli jagung bakar?” Tanya Baron
mengejutkanku lalu duduk di sebelahku, di teras depan villa.
“Emang ada tukang jagung disini?”
“Ya, aku gak tau sih. Tapi anaknya Kang
Kung kan tau.”
“Bukan Kang Kung, Tapi Kang Engkung!”
“Ya, maksud aku ya begitu.”
“Terus udah ditanya dimana?”
“Nah, itulah masalahnya. Anaknya Kang
Kung lagi nganterin Bi Engkung ke pasar.”
“Kang Engkung, sayang!… Ya udah, ikut
aku aja!”
“Mau kemana?”
“Katanya mau beli jagung bakar.”
“Katanya kamu gak tau tempanya?”
“Siapa bilang? Udah, ikut aja!”
“Gimana kalo kita naik sepeda aja?”
“Emang disini ada penyewaan sepeda ya?”
Baron lalu mengambil sebuah sepeda
jengki dari dalam gudang villa. Itu milik Kang Engkung. Sudah lama ia tidak
pernah memakainya karena keluarga Lucky sudah memberikan beliau motor.
“Yang ini gratis, kemarin Kang Engkung
bilang kalo sepeda ini boleh dipakai kemana aja, asalkan gak sampai Jakarta.”
Aku tertawa. Aku lalu duduk depan Baron,
dan ini terlihat seperti adegan roman yang ada di telenovela. Sang laki-laki
mengendalikan stang sepeda dengan sangat baik dan hati-hati, sedangkan sang wanita
bersandar di dada sang laki-laki sambil senyum-senyum dengan diiringi lagu
Terajana dan para penari latar yang berpakaian ala-alay India yang necis abis.
“Kamu gak beli?” tanyaku pada Baron.
Tapi Baron hanya geleng-geleng lalu tersenyum. Ia menatapku lekat. Sinar
matanya mengisyaratkan bahwa ada sesuatu yang ia temukan pada diriku. Entahlah,
akan kulanjutkan acara makan jagung bakarku yang sudah hampir dingin.
“Raina, kamu suka sama Lucky?” Tanya
Baron tiba-tiba. Sejak ia memandangiku tadi, aku berusaha untuk berkelid dengan
memandangi barisan gunung-gunung yang menghijau dan terlihat awan putih yang
menutupinya sebagian seperti sebuah mangkok yang telungkup. Tapi ketika Baron
melontarkan pertanyaan itu, aku tersentak. Aku menghentikan memakan jagungku
yang masih tersisa setengah.
“Suka sama Lucky? Gak mungkinlah! Dia
kan sahabat aku dari kecil!” aku
berusaha mengelak perasaan yang tiba-tiba kembali muncul setelah beberapa hari
ini aku kubur sangat dalam.
“Raina, jangan membohongi perasaan kamu.
Aku tau gimana rasanya menahan sebuah perasaan yang teramat besar.”
“Tidak, aku tidak sedang berbohong pada
diriku sendiri! Kalaupun aku punya perasaan suka sama Lucky, aku yakin itu
hanya perasaan seorang sahabat.”
“Kamu yakin? Tapi aku merasa kamu suka
sama Lucky.”
“Aku yakin sekali, Baron! Lagipula aku
kan pacar kamu. Jadi kenapa kamu nanyain hal itu?”
“Baiklah. Aku gak akan menanyakan hal
itu lagi.” Baron memelukku lembut. Sedangkan dalam pelukannya, aku berusaha
menahan air mataku yang mendesak untuk keluar. Dalam pelukan itu juga aku
berusaha mengubur atau bahkan memusnahkan perasaan yang tak sama sekali aku
harapkan itu.
“Balik yuk!” pintaku pada Baron.
“Gak nambah jagung lagi?”
“Gak usah, lagian bentar lagi kan jam
makan malam.”
“Kalo gitu, let’s go Princess!”
Aku dan Baron kembali ke villa. Kali ini
aku duduk di belakang Baron. Aku ingin menikmati senja yang menyilaukan di
depanku. Warna jingga yang tambah membuat sore ini menjadi lebih indah. Aku
berusaha mengisi ruang-ruang lama di hatiku dengan hal-hal baru yang mungkin
bisa aku dapatkan dari lelaki di depanku ini, Baron.
Saat
aku dan Baron sudah sampai di villa, tampak Lucky sedang melihat layar tabnya dengan serius.
“Eh, kalian habis jalan-jalan ya?” Lucky
meletakkan Tabnya lalu menatap aku
dan Baron sambil bersungging senyum.
“Gak, kita habis beli jagung bakar aja
tadi disana.” Sahut Baron. Sedangkan aku hanya terdiam. tersenyum sebentar
untuk membalasa senyuman Lucky dengan suasana yang terasa kaku.
“Aku masuk ke dalam dulu ya. Mau mandi.”
aku berusaha melarikan diri dari kekakuan itu sebelum berlangsung lebih lama
dan makin membuatku tak nyaman berada di tempat itu. Namun sebelum sempat melewati pintu, aku sempat melirik ke
arah tab Lucky. Kulihat sebuah foto
yang di dalamnya terlihat dua orang. Entah siapa orang itu, mungkin itu foto
Lucky bersama Priska, karena kulihat dalam foto itu mereka saling berpelukan.
^^^
“Ucky, kamu habis darimana sih?” tanyaku
pada Lucky. Kulihat ia tampak sangat kotor. Ia juga tampak sangat lelah. Seperti
habis ikut lomba marathon menuju puncak gunung Jayawijaya di Papua. Tapi ia
tetap bisa tersenyum kepadaku.
“Kamu dari tadi dicariin sama mama kamu.
Ngapain sih tadi?” aku makin penasaran
terhadap apa yang dilakukan sahabatku ini sejak pagi tadi. Setelah sarapan
tadi, Lucky tiba-tiba menghilang. Kata mamanya, ia tadi lari ke kebun teh.
Tapis etelah aku cari-cari, Lucky juga tidak aku temukan. Kemudian aku
memutuskan untuk menunggunya di villa.
“Tadi aku habis jalan-jalan aja kok.”
Sahut Lucky tersenyum semakin lebar.
“Jalan-jalan kemana? Kok kamu gak ngajak
aku?”
“Habis kamu mandinya kelamaan sih.
Jadinya aku sendiri aja jalan-jalannya.”
Lucky masih tersenyum lebar. Dari
senyuman itu, tampak sebuah rahasia yang sedang ia coba sembunyikan. Aku hanya
memandanginya heran ketika Lucky berlari menuju kamarnya.
Dan malamnya, seseorang mengetuk pintu
kamarku. Setelah kubuka, ternyata Lucky, dan biasa, ia pasti tersenyum.
“Kenapa, Ucky?” tanyaku padanya. Tapi
Lucky tidak langsung menjawab. Sejenak ia terdiam dan memandangi sebuah amplop
coklat yang ia genggam erat.
“Mmm… Ini buat kamu.” Katanya malu-malu.
“Ini apa, Ky?” tanyaku sambil
membalik-balik amplop itu.
“Kamu buka aja sendiri. Kamu pasti
ngerti.”
Lucky lalu pergi dan menutup kamarnya.
Sedangkan aku makin penasaran dengan isi amplop itu. kemudian aku segera
membukanya. Terdapat sebuah kertas yang bergambar garis-garis, mirip seperti
peta dan ternyata Lucky memberikanku sebuah peta. Entah apa artinya peta itu,
apa mungkin di villa ini ada harta karun?
Dengan rasa penasaran yang teramat besar
akan peta dari Lucky itu, aku akhirnya tertidur dan lupa akan apa yang ingin
aku temukan dalam peta ini…
^^^
Pagi
itu masih gelap. Tapi mataku sudah tidak bisa tertutup lagi karena aku teringat
akan sesuatu. Dengan sangat hati-hati, aku berusaha bangun dari tempat tidur
karena takut Neni akan terbangun. Tapi sial, Neni membuka matanya dan melihatku
sudah terjaga lebih dulu.
“Kamu mau kemana pagi-pagi gini?” Tanya
Neni sambil menguap.
“Eh, aku mau olahraga pagi aja sama
Baron. Mau ikut?”
“Ah, gak usah deh. Daripada jadi obat
nyamuk mending aku tidur lagi aja.” Neni akhirnya menutup kembali matanya dan
aku bisa pergi dengan tenang.
Sebanrnya aku bukan ingin berolahraga
bersama Baron, tapi aku ingin mengungkap rahasia dan menjawab rasa penasaranku
terhadap Peta itu. peta yang kertasnya sekarang sudah lusuh karena lama
tersimpan di laci di kamarku. Dan petunjuk peta itu membawaku pergi ke
perkebunan teh dan menghentikan kakiku pada sebuah pohon yang ditunjukan Priska
kemarin.
“I?” kutemukan sebuah huruf disana.
Terpahat sangat rapi dan permanen. Kemudian aku mengikuti lagi petunjuk peta
itu. Hingga ia mengantarkanku sampai pada pohon jambu di taman belakang villa.
Kenapa peta ini hanya sampai di pohon
ini? Dan tidak ada lagi kalimat petunjuk lain. Hanya terdapat sebuah gambar
silang merah di dedaunan pohon jambu itu. Tanpa berpikir panjang lagi aku
langung melihat ke atas. Dan astaga,
kulihat sebuah kotak kecil tersangkut disana. Aku berusaha meraih kotak itu.
Tapi tak bisa. Kemudian aku mengabil sebuah kayu dan akhirnya kotak itu pun
terjatuh dan terbuka. Isisnya berserakan dan ketika melihatnya aku tersentak.
Ternyata,
di dalam kotak yang warnanya sudah tidak jelas itu terdapat kumpulan foto-foto
dua orang anak kecil. Dan anak kecil itu tak lain dan tak bukan adalah foto
diriku dan Lucky. Saat dimana aku dan Lucky berusaha mengejar-ngejar si Joli
kelinci, saat Lucky melumuri wajahku dengan lumpur, saat aku berusaha menolong
Lucky yang tenggelam tapi akhirnya aku juga ikut tercebur ke dalam sungai dan
kenangan-kenangan kecil yang sulit sekali aku hilangkan dari pikiranku.
“Raina…” kata seseorang tiba-tiba. Aku
sontak membalikkan badan dan berharap itu bukan Lucky. Tapi dugaanku salah
lagi. Itu memang benar-benar Lucky dan ia sekarang berada sangat dekat dengan
ku.
“Lucky… Ka, kamu ngapain disini?”
tanyaku gugup.
“Dari sejak kamu keluar tadi, sebenarnya
aku tahu. Aku mengikutimu sampai kamu menemukan yang sebenarnya di pohon jambu
ini.
“Lalu?”
“Bacalah surat itu.”
Aku membuka surat yang kutemukan bersama
foto-foto itu. Sejenak aku melirik Lucky kemudian membaca isi surat itu.
Ina,
aku sebenarnya malu buat bilang ini ke kamu. Jadi aku pakai perantara peta dan
surat ini untuk ngungkapin perasaan aku. Meskipun kita masih kecil, tapi aku
yakin suatu saat nanti kita pasti bakalan ketemu sebagai jodoh. Aku yakin itu.
Ohya, soal huruf-huruf di pohon-pohon sepanjang kebun teh itu, sebenarnya itu
akan merangkai sebuah kalimat,
I
LOVE U, Ina…
Aku melihat Lucky rapat-rapat. Kini, sorot
mata Lucky berpadu dengan tatapanku. Setelah membaca surat itu, sesuatu yang
aku bilang akan kumusnahkan kembali datang. Lebih hebat, dan itu membuat dadaku
sesak, jantungku berdebar kencang seperti mesin disel dan bibirku terkunci.
“Aku tahu, ini bukanlah waktu yang
tepat. Tapi akhirnya kamu mengetahui yang sebenarnya. Aku suka sama kamu
melebihi seorang sahabat. Dari dulu aku berusaha buat mnjauh dari perasaan itu,
sampai-sampai aku memutuskan pergi ke Kanada dan pacaran sama Priska. Itu aku
lakukan karena aku tau, kamu gak mungkin pernah suka sama aku.”
Lucky menunduk, tampak kecewa dengan apa
yang dikatakannya barusan.
“Darimana kamu tau kalo aku gak suka
sama kamu?”
Lucky tampak makin lesu mendengar
pertanyaanku kepadanya. Ia kemudian duduk dan memalingkan pandangannya dariku.
“Dulu kamu pernah bilang kalau kita gak
boleh saling menyukai satu sama lain. Dan kamu seterusnya akan menganggapku
sebagai sahabat.”
Aku terdiam dan menoleh kea rah Lucky.
“Raina mungkin memang pernah mengatakan
itu, tapi aku tau Raina punya perasaan yang sama sepertimu. Raina juga
menyukaimu.”
Baron keluar dari dari balik pintu.
Ternyata sedari tadi ia mendengarkan percakapanku dengan Lucky. Bahkan bukan
hanya Baron, tapi Neni, Dine dan Priska pun mendengar semuanya.
“Aku setuju dengan Baron.” Kata Priska.
“Sejujurnya aku tau, dari dulu Lucky
memang tidak benar-benar mencintaiku. Tapi itu tak akan menjadi masalah
buatku.” Sambungnya.
Aku hanya terdiam mematung. Sesuatu
sedang berkelebat di dalam otakku. Entah kenapa ini terjadi dalam waktu yang
sekaligus. Kebetulan? Atau mungkin ini memang jawaban atas segala yang
kupertanyakan sebelumnya. Entahlah, kepalaku seketika pusing. Bayang-bayang
semu mulai memenuhi mataku. Jantungku juga seakan lambat sekali memompa darah
tapi tetap berdebar amat kencang. Dadaku menjadi sesak. Sesak dan sakit sekali.
Kemudian aku memegangi dadaku untuk menekan rasa sakit itu, tapi, lalu aku tak
tau yang terjadi.
^^^
Ketika
gelap mataku mulai membuka dan terang perlahan-lahan menyusup. Ketika sepenuhnya
mataku terbuka, telingaku samar-samar mendengar berbagai suara orang-orang.
Juga terdapat seseorang yang berdiri di samping kasur yang kutempati ini. Ku
berusaha memperjelas pengelihatan dan pendengaranku. Dan ternyata itu Ibuku. Ia
tampak khawatir tapi berusaha tetap tersenyum padaku dan membelai lembut
rambutku yang sedikit berantakan seperti biasanya aku bangun tidur. Lalu, ku
putar pengelihatanku ke sisi lainnya. Ternyata ada Izal, Mbak Yunita, Neni,
Dine, Baron juga Ujang. Mereka menatapku serentak dan ku pandangi mereka secara
bergantian. Wajah-wajah kusam, mereka mungkin juga khawatir sama seperti Ibuku.
Mereka khawatir kalau aku tidak bangun selama 100 tahun seperti Putri Tidur dan
hanya terbangun ketika seorang pangeran menciumnya. Tapi untungnya tidak, tidur
seharian membuatku bosan karena mimpi yang tidak kuketahui endingnya. Jadi, kuputuskan saja untuk bangun dan bertemu dengan
tokoh-tokoh nyata dalam duniaku.
“Tadi kamu kenapa pingsan, Na?” Tanya
Baron dengan ekspresi sedih.
“Iya, aku kirain kamu ngantuk trus
langsung tidur di taman.” Tambah Neni dengan polosnya.
“Aku gak apa-apa. Paling Cuma
kecapekan.” Jawabku tersenyum.
“Makanya dengerin kata Kakak sama Ibu!”
ujar Izal.
“Aku kan udah bilang aku gak apa-apa.
Jadi gak perlu obat-obat itu!”
“Tapi, sekarang kena batunya kan?”
Aku tak menjawab dan berusaha bangkit
dari tidurku. Tapi kali ini terjadi kesulitan. Tanganku masih bergemetar.
Mungkin karena aku kekurangan energi nyata, bukan hanya cairan bening yang
masuk melalui selang-selang seperti ini.
“Kak, kakak pengen aku cepet sembuh
kan?” tanyaku pada Izal.
“Emangnya kenapa?” Izal tampak heran.
“Aku laper, bisa beliin nasi goreng
special gak?”
“Jiahh, kiraian mau minum obat! Dasar!”
“Mau beliin gak? Kalo gak ya udah aku
gak mau minum obatnya!”
“Beliin aja kak, tapi aku nitip juga
ya!” Dine ikut-ikutan.
“Yelah, ini lagi si gembul. Ya udah deh.
Tunggu ya!” dengan berat kaki ia pergi juga. Dan selang beberapa menit setelah
izal pergi, Ayahku dan Lucky datang. Di ruangan itu, ayah mengisyaratkan Ibu
untuk mengikutinya keluar. Tapi, yang keluar bukan hanya Ibu, tapi juga Dine,
Neni, Ujang dan terakhir Baron. Tapi sebelum ia keluar, kulihat Baron sempat
menepuk pundak Lucky dan tersenyum padaku.
“Gimana keadaan kamu, Na?” Tanya Lucky
membuka pembicaraan.
“Udah mendingan kok!” jawabku tersenyum.
“Na, maaf gara-gara aku kamu jadi masuk rumah sakit lagi.”
“Ini bukan salah kamu kok. Aku Cuma
kurang istirahat aja!”
“Dulu, waktu kita masih kecil, aku juga
pernah membuatmu seperti ini.”
“Itu juga bukan salahmu, Ky. Tenanglah!”
“Dari waktu itu, aku selalu takut
mengajakmu bermain-main air di sungai atau mencuri bonekamu sehingga kamu akan
mengerjarku.”
“Jadi karena itu waktu menginjak SMP,
kamu menjauhiku dan akhirnya menghilang?”
“Itu bukan maksudku. Hanya saja, aku
tidak bisa menahan perasaanku. Dan itu sudah kujelaskan kemarin.”
“Bisa kamu jelaskan lagi? Tiba-tiba aku
juga menjadi amnesia mendadak.”
“Ayolah, Ina. Aku tidak mungkin
mengatakannya lagi.”
“Please….”
Lucky terlihat berpikir sejenak. Lalu ia
menarik nafas panjang kemudian menggenggam tanganku.
“Raina, mungkin sekarang ini terdengar
dan tampak lebih konyol daripada kemarin. Tapi karena ini kamu yang minta, akan
kukatakan sekali lagi bahwa Aku mencintaimu.”
“Ku pikir kamu bukan lagi Lucky yang
dulu. Tapi ternyata aku salah. Kamu masih Lucky dan Ucky sahabat kecilku.”
“Masih sahabat?”
“Kamu memang sahabatku sama seperti Neni
dan Dine.”
Aku tersenyum dan sebenarnya juga ingin
sekali tertawa setelah melihat ekspresi Lucky yang begitu sedih dan kecewa
mendengar kalimatku barusan. Tapi, kemudian aku segera memeluknya. Erat sekali,
karena aku tak mau lagi kehilangan dirinya lagi. Kehilangan untuk kesekian
kalinya…
>><<
Harta Karun bernilai.
. .
Ayunan
itu telah membawa Raisa dalam belaian mimpi yang indah. Wajah bulatnya pun
tampak seperti bulan purnama yang sedang bersinar. Bibirnya bergerak sangat
lucu, seperti sedang mengemut sesuatu.
“Mbak, Raisa udah tidur tuh. Untung aja
dia gak nangis sama aku.” aku terkekeh. Mbak Yunita baru saja pulang dari
butiknya dan Raisa anaknya yang sekaligus menjadi keponakanku sementara menjadi
asuhanku dibantu Bi Inun.
“Makasih ya, Na! Ohya diluar ada Lucky
nungguin kamu tuh!”
“Lucky? Kenapa dia gak langsung masuk
aja?”
“Ya, Mbak gak tau juga. Sana gih
temuin!”
Aku langsung keluar menemui Lucky. Tapi
saat sampai di halaman, tak ada seorang pun disana.
“Lucky, kamu dimana?!!!” teriakku. Tapi
tak ada yang menyahut.
“Lucky, jangan bercanda deh!!!” teriakku
lagi tapi tak juga ada jawaban. Aku pun memutuskan untuk masuk ke dalam menemui
Mbak Yunita. Tapi ketika aku berbalik, tiba-tiba terdengar suara yang membuatku
terkejut.
“SURPRIZE!!!” semua sahabatku, Dine,
Neni, Baron, Priska, Ujang, juga Lucky muncul dari tempat persembuyian mereka.
dan dari dalam rumah, Izal dan Mbak Yunita keluar dengan membawa kue tart
dengan lilin-lilin menyala di atasnya.
“Happy birthday, adikku sayang.” Ucap
Izal tersenyum.
“I think nobody remember it!”
“It’s immposible, Ina. Kami semua selalu
ingat ulang tahun kamu.” Izal memelukku lembut dan tak melewatkan acara
mengacak-acak rambutku.
“Make a wish dulu dong, Na.” kata Mbak
Yunita.
Aku kemudian memejamkan mata, berdoa dan
berharap agar semuanya menjadi lebih baik dan berakhir dengan bahagia.
“Jadi, sekarang kita bagi-bagi kue nih!”
celetuk Dine.
“Sabar dong, Gembul!” kata Baron menyiku
lengan Dine.
“Ya udah sekarang, kamu yang bagi deh
kuenya.” Kue itu lalu aku serahkan kepada Dine. Tapi aku rasa yang lainnya
pasti tidak terima dan taku jika kuenya akan habis dilahap Dine sebelum pisau
kue ditemukan. Maka terjadilah perang rebutan antara pihak Dine dan yang lain,
sementara aku hanya melihat mereka, tersenyum dan menulis…
Perahu
memang belum berakhir berlayar,
Karna
samudra itu luas,
Sangat
luas seperti duniaku,
Yang
kadang hitam kadang putih,
Layar
memang telah aku kebatkan,
Tapi
belum berakhirlah cerita yang kubuat,
Karena
dia masih sangat jauh,
Dan
aku perlu terus berlayar,
Berlayar
menebar sauh,
Menyauh
isi lautan pengetahuan, penghidupan,
Menyisihkan
malu dan ketakutan,
Akan
badai menghadang,
Ombak
menghantam,
Petir
melintang,
Dan
awan menghitam…
^^^
“Cerita ini saya saya ambil dari
imajinasi saya waktu kecil. Yah, meskipun agak ngawur, tapi saya harap cerita
ini bisa menjadi inspirasi bagi kalian semua.”
Seketika
tepuk tangan terdengar menggema dalam ruangan ini. Wajah-wajah mereka seakan
antusias mendengar setiap kata yang kuucapkan. Masing-masing dari mereka lalu
berbaris, membentuk antrean panjang dan aku dibuat sibuk untuk menandatangani
buku bersampul birunya laut dan langit itu.
Well,
setahun lalu aku dan teman-temanku telah berhasil lulus dalam ujian nasional.
Setelah itu, sebuah tawaran melayang padaku untuk membuat sebuah novel. Selain
itu, Lucky juga berhasil membangun sebuah restorant Indonesia lewat usahanya
sendiri. Dine dan Neni sedang sibuk dengan rutinitas baru mereka sebagai
seorang presenter artis yang sedang naik daun. Sedangkan Baron dan Priska
sedang sibuk menyiapkan acara pertunangan mereka.
“Jadi kapan kalian tunangan?” Tanya
Priska sambil menyerahkan sebuah kotak kecil yang didalamnya terdapat kotak
music yang mengalun indah.
“Mmm… nanti kami pasti akan mengundang
kalian.”
“Haha, ku harap itu segera.”
Kami tertawa. Malam itu, acara
pertunangan Baron dan Priska berlangsung sangat meriah karena dipandu oleh Neni
dan Dine. Kenekatan Raisa yang tiba-tiba naik ke atas panggung juga membuat
suasana makin ramai dan berkesan. Semuanya sangat terhibur dengan tingkah laku
Raisa yang diikuti oleh Ariel sahabatnya menari khas balita di atas panggung.
“Aku rasa anak kita akan jadi artis
terkenal nanti.” Kata Izal bangga.
“Kak Izal, aku rasa juga acara
pertunanganku nanti akan meriah jika kuundang Raisa Rizalku Dewi sebagai
bintang tamunya.”
“Juga bintang tamu kedua, Ariel
Wardana.” Celetuk Lucky tersenyum. Tapi tiba-tiba Ujang datang dengan membawa
sebuah kertas di tangannya.
“Mbak Riana, ini ada titipan buat Mbak
sama Mas Lucky.” Katanya.
“Dari siapa, Jang?”
“Dari tukang posnya, Mbak.” Jawab Ujang
polos lalu segera menuju meja prasmanan.
“Dari siapa, Na?” Tanya Lucky
ikut-ikutan heran.
Aku tak menjawab. Tapi langsung
membuka kertas yang ternyata adalah
sebuah undangan itu. Ya, undangan dari seseorang yang juga dekat denganku.
Disana tertera dua buah nama,
Narisa
Soebandyo
&
Reyhan
Mangunkusuma
Akan melangsungkan pertunangan dan
pernikahan pada,
Tanggal
: 2 Februari 2012
Tempat : Kediaman keluarga Reyhan Mangunkusuma
“Jadi, kita gak jadi jalan-jalan lagi
besok?”
“Ya, mau gimana lagi?”
Lucky Nampak sedikit kecewa. Tapi aku
berusaha membuatnya tersenyum dan memeluknya.
“Tapi Minggu depan kita bisa jalan-jalan
lagi kan?” tanyanya lagi.
“Mmm…. Kasi tau gak ya?”
“Ih, dasar Alay!”
“Biarin!” aku menjulurkan lidahku dan
segera berlari. Lucky pun juga segera mengerjarku dan akhirnya, selain tarian
Raisa dan Ariel, aku dan Lucky juga menjadi pusat perhatian. Dan setelah kami
sadar, aku dan Lucky sontak terdiam. Saling melirik dan tertawa dalam hati.
“Dan ternyata, kaki tidak lagi meloncat
sebelah saja. Kini kaki sudah utuh dan siap berjalan kembali, melangkah kembali
melewati segala jalan dunia yang sebenarnya tidak seburuk yang dibayangkan
sebelumnya.”
“Bahagia
adalah mensyukuri apa yang kau miliki”
>><<
Ratih
Present’s
-1 Januari 2014-
Komentar
Posting Komentar