Cerpen_Cinta Melompat Sebelah Kaki


Cinta Meloncat Sebelah Kaki
 Hal-hal yang sama kembali terulang dan berhasil membuatku kalut. Apa yang sebenarnya sedang direncanakan dalam hidupku?
      Dan hal yang terakhir terjadi yakni aku memutuskan untuk menerima lelaki yang telah sekian lama menungguku. 

  Hal-hal yang merupakan awalan….
Baron Wijaya, lelaki beruntung yang telah berhasil meluluhkan hatiku. Ketika kali pertama aku mengatakan ya pada dirinya saat ia mengutarakan perasaanya untuk kesekian kalinya. Dan kami akhirnya resmi berpacaran. Memang, sejujurnya tak ada perasaan istimewa yang mengkangku untuk mencintainya terlalu dalam. Namun sudah terjadi. Aku tak bisa menyakiti banyak orang lagi. Dia telah banyak bersabar menanti kapan benteng hatiku akan terbukan lagi, setelah sekian lama tertutup sejak aku perna mengalami patah hati, dulu.
“Biarkan aku menjadi sebagaimana diriku sendiri.” Kalimat itu aku lontarkan sebagai permntaanku pada Baron. Dan sungguh juga kuakui, dia lelaki tersabar yang pernah mengenalku dengan kepribadian naturalnya.

^^^
      Waktu memang berjalan terus dan cepat sekali. Aku masih belajar menerimanya seutuhnya. Dan berlahan-lahan aku yakin bisa. Baron bisa menerima dengan lapang dada sifat cuek bebekku, jutek dan bahkan berpura-pura tidak saling mengenal ketika aku dan dia dalam situasi formal. Profesionalitas, orang sering menyebutnya demikian.

“Sayang, I miss you..”  sebuah pesan singkat berhasil kubaca. Dari Baron, seperti biasanya.
“Aku rasa bukan setahun atau sebulan kita tak bertemu.”
“Ya, mau gimana lagi? Aku terlalu cinta sama kamu.”
“Ohya?”
“Of course! I love you so much!”
“Bisakah kamu tidak terlalu sering mengucapkannya? karena aku tidak terlalu suka dan aku bukanlah tipe wanita yang haus dengan kata-kata cinta.”
Setelah pesan itu berhasil kukirim. Beberapa menit tak ada balasan. Tapi ketika aku hendak merapikan pekerjaanku, handphone ku bordering lagi.
“Baiklah. Akan kuturuti apa maumu. Maaf sayang..” itu pesan singkat terakhir dari Baron karena aku tidak membalasnya. Kulanjutkan pekerjaan yang sedikit tertunda sampai akhirnya aku lupa dengan semua hal tadi.

Tiada satupun suara yang terdengar
Meski malam belum larut benar
Kedinginan tubuhku pun mulai menyebar
Aku bergemetar
Darahku terasa membeku dan hayalanku berputar
Karna kehangatan sudah jauh terlempar
Menjauh sampai aku terkapar
Aku tak sadar…

Satu lembar kertas kosong telah berhasil kutulisi dan sama seperti hari ini yang berhasil kulewati tanpa suara handphone yang biasanya terdengar nyaring kerika aku hendak pergi ke istana mimpi malam itu.

      Sampai pagi ini, kulihat layar hanphone ku bersih dari pemberitahuan pesan singkat yang entah penjang atau menggelikan. Tersiar sedikit keheranan dalam benakku, kenapa Baron kemarin malam dan hari ini? Apakah dia kehabisan pulsa atau ketiduran dan belum terbangun?  Pertanyaan seperti itulah yang muncul pagi ini. Entah karena terbiasa atau karena aku memang merindukan – ya paling tidak aku berpikir bahwa Baron mulai melakukan sesuatu yang sama sekali tidak aku sadari.
Ketika pagi itu, kicauan burung liar kecil berhasil mengusik hayalanku yang hampir melayang jauh sekali. Dari balik dahan-dahan pohon dekat jendela kamarku aku melihat mereka saling bersahutan seakan akan membicaraka tentang mimpi mereka kemarin malam. Sementara aku masih sibuk mengucek-ngucek mataku, aku mencium bau yang tidak asing. Aku segera berlari menuju ruang makan dan kulihat seporsi tempe goring pedas manis ala Ibuku terpajang  di meja makan. Perutku langsung mengadakan pagelaran music keroncong. Dan dengan tanpa berpikir panjang aku melayangkan tanganku pada piring dan sendok nasi.
“Eits, mau ngapain kamu?” ibu segera menyergahku untuk memindahkan makanan lezat itu ke piringku.
“Ya aku mau makanlah, Bu.”
“Udah mandi belum?”
‘Belum, entaran aja, Ibuku tersayang. Makan dulu ya..” aku tersenyum memohon dan berusaha menyergam nasi dan tempe itu lagi.
“Eits, gak boleh makan apa-apa sebelum kamu mandi! Kan kasian tamunya entar makanannya pada bau badan kamu aja jadinya.”
“Tamu? Emang tamu kerajaan ya sampai segitunya?” celotehku.
“Ini bahkan lebih penting dan istimewa dari tamu kerajaan.” Ibuku menutupi kembali hidangan lezat tersebut. Dan yang makin parah, pagelaran music keroncong di perutku mulai mencapai klimaks. Akhirnya tanpa seruan apa-apa lagi, aku hanya bisa menyeruput segelas air bening untuk sekadar membuat pagelaran itu kebanjiran dan diam.
Aku pu akhirnya go away ke kamar mandi dan membersihkan sisa-sisa mimpi buruk yang mungkin saja nempel di otakku. Ohya, sekarang adalah hari minggu. Jadi waktunya aku untuk bermalas-malasan di rumah dan mengunjungi semua siaran stasiun televisi yang jelas-jelas menayangkan siaran yang bersyarat: menghibur, dan sedikit membuat penonton sepertiku tertawa tanpa mengetahui bahwa Kakek Oesman, tetanggaku sangat terganggu meskipun sebenarnya dia tidak bisa mendengar menantunya membicarakannya di sebelah kursi ayunnya.

Tiga puluh menit kemudian, badanku telah bersih, mulutku sudah bersih, rambutku sudah bersih dan hatiku pun sudah bersih dari kudeta yang semalam membelengu.
“Nah gitu dong! Kan gak malu sama calon kakak iparmu.” Komentar Ibu setelah aku mengambil sikap duduk manis di kursi meja makan.
“Kakak ipar?” keherananku tak terjawab. Bel pintu rumah keburu berbunyi nyaring dan memaksaku untuk angkat pantat untuk membuat di pemencet bel itu dapat masuk.
“Mbak Yunita? ! astaga, ternyata tamu istimewa yang ditunggu emang Mbak ya?” aku suminggrah. Cepat-cepat ku gandeng tangan wanita yang usdah lama ku kenal bahkan sebelum kak Izal pacaran dengannya.
Ibu pun segera memanggil kak Izal. Mbak Yunita terlihat sangat cantik dengan dress simple yang ia kenakan pagi ini. Pantas saja Kakakku bisa luluh karnanya.
“Mbak, kapan balik kesini? Kok gak ngabarin? Kan bisa aku jemput di bandara.” Seperti biasa, beberapa pertanyaan yang bagiku hanya sebagai awalan dan cukup membuatku diwisuda menjadi Miss Cerewet tahun ini.
“Kemarin Mbak dijemput Kak Izal. Terus kata Izal Mbak gak usah kasi tau ke kamu kalo mbak udah nyampe disini.”
“Yah, pantas aja kemarin tuh Kakek lampir hilang ditelan bumi. Dasar!!” aku menggerutu. Izal yang sempat mendengar celotehanku segera membalasnya.
“Kamu tuh yang Nenek lampir. Lagian kemana-mana maunya ngekor terus. Nanti kalo aku nikah masak ikut-ikut juga.” Giliran Izal yang nyeloteh.
Segera setelah itu ibu kembali dari dapur dengan semangkuk besar tahu santan dan lagi-lagi itu membuat pagelaran itu bersuara dan bahkan lebih dasyat.

“Kamu ini laper apa gimana sih? Makannya lahap banget.” Izal lagi-lagi berkomentar.
Aku tak menggubrisnya. Kubiarkan nasi dalam mulutku tertelan habis barulah aku membalas komentar yang acap kali dilayangkan kepadaku.
“Biarin. Daripada kak Izal makannya kayak ulet. Aku jamin tahun depan baru habis tuh.” Aku menjulurkan lidah pada Izal. tapi seperti halnya Tom dan Jerry, tak ada yang mau saling mengalah meskipun usia aku dan Izal terpaut jauh.
“Hei, kalian ini kenapa sih? Mau sarapan, makan siang, makan malam, gak pernah sepi dari acara berantem.”  Ibu mulai unjuk gigi sebelum perang dimulai lagi.
“Kak Izal yang duluan, Bu!”
“Kamu tuh yang bawel. Dasar Nenek lampir!”
“Kak Izal tuh udah mau nikah juga masih aja kayak anak kecil.” Aku tak mau kalah. Segera aku berlindung di belakang Ibu untuk menghindari serangan dari si Kakek Lampir.
“Bisanya cuma sembunyi doang.” Celotehnya lagi.
Mbak Yunita yang sedari tadi hanya menjadi penonton yang baik, segera menghentikan adegan gila  ini.
“Mengalah sama adik sendiri kenapa sih?” kata Mbak Yunita. Sontak Kak Izal jadi bungkam. Aku menjulurkan lagi lidahku berupaya meledek dan bangga dengan perlindungan Mbak Yunita.
“Awas ya kamu.” Izal sedikit berseru. Ia pun segera melanjutkan sarapannya begitupun aku dan yang lain. Akhirnya perang itu berhasil diredam dengan sedikit meninggalkan kontroversi hati dari Izal. Hahaha……
^^^

Anak kecil itu terus bejalan menyusuri aliran deras yang membentang membelah daerah rumahnya dengan sekolah, tempat ia menuntut ilmu. Tak pelak baju seragamnya pun harus basah kuyup serta harus dapat menerima bahwa ia akan terlambat lagi...

Suara dari acara televise itu pun berhenti ketika aliran listrik di rumahku juga berhenti. Kipas angin dan lagu rock yang mengalun keras dari rumah Kakek Oesman juga sontak berhenti.
“Sayangnya, kamu gak bisa nonton kartun Spongebobs-mu sampai malam nanti. Tapi setidaknya kamu masih bisa menonton adegan ring tinju atau pertandingan tengah malam.” Ibuku menyahut dari arah dapur. Ia juga tampak sedikit kecewa terhadap kematian listrik yang membuat kue buatannya tidak akan matang meskipun seharian didiamkan dalam oven.
“Sayangnya juga Ibu tidak bisa memaksa aku untuk menjadi juri untuk kue ciptaan Ibu.” Aku terkekeh. Kulihat ibu melepaskan celemek dapurnya dan menuju ruang keluarga.
“Jadi selama ini kamu terpaksa memakan kue ibu?”
“Mmm… tidak juga. Hanya kebetulan saat itu perutku mengalami komplikasi.”
“Hahaha… ada-ada aja kamu. Mendingan kita ke panti aja yuk!” Ibu beranjak menuju kamarnya dan sedikit membenahi dandanannya.
“Ina, mau ikut gak?” Tanya Ibuku dari arah mobil.
“Tunggu!!” aku segera mengambil tas dan menuju mobil. Dan kami pun melesat menuju arah panti milik keluargaku.

      Setelah sampai di panti, aku langsung dikerubuti anak-anak yang memang sudah mengenalku. Setiap aku pergi kesi ni, biasanya aku membagikan permen atau kue buatan Ibu. Dan kali ini aku yakin mereka juga pasti mengharapkan hal yang sama.
“Adik-adik, maaf ya hari ini kakak gak bawa permen sama kue buat kalian. Kuenya belum matang.” Kataku setelah mereka tidak mengkerubutiku lagi. Tampak wajah mereka kecewa. Anak-anak yatim piatu ini memang sangat senang bila mendapat perhatian dari siapapun. Karena sudah tentu mereka adalah anak-anak yang kekurangan atau bahkan tidak pernah mengecap bagaimana rasanya berada di tengah-tengah keluarga yang sebenarnya.
“Tenang aja, nanti pasti kalian akan dapat permen sama kue.” Ujar Ibuku ketika ia mengeluarkan sebuah kardus dari bagasi mobil.
“Maksud Ibu apa?” aku merasa heran dengan tingkah Ibuku hari ini. Apa mungkin hari ini akan terjadi hujan permen dan kue?
“Kamu juga tenang aja. Nanti teman kamu akan membawakan permen dan kue untuk mereka.” Ibu lalu berlalu begitu saja menemui Bu Ana dan Bu Ani, orang yang dipercaya mengelola dan mengasuh anak-anak di panti asuhan ini.
      Tak lama berselang, sebuah mobil warna hitam datang. Sepertinya aku tak asing dengan mobil itu. Apa itu …
“Baron?? Ngapain kamu kesini?”  ujarku padanya ketika ia baru saja keluar dari mobilnya.
“Lho, emangnya aku gak boleh kesini?” sahutnya.
“Bukan begitu. Tapi…”
“Ayolah, aku sedang berusaha menjadi seperti yang kamu inginkan. Ohya, ini permen dan kuenya.” Baron menyerahkan beberapa kantong berisi permen dan kue. Ibuku lalu keluar bersama Bu Ana dan Bu Ani.
“Anak-anak, siapa yang mau permen sama kue??” teriak Bu Ani. Anak-anak itu lalu berkumpul dan dengan rapi membuat barisan. Mereka seperti tak sabar merasakan manisnya permen dan kue yang dibawa Baron.
“Terimakasih, Nak Baron. Untung ada kamu.” Kata ibuku tersenyum pada Baron.
“Jadi yang dimaksud ibu itu kamu?”
Baron hanya tersenyum mengiyakan. Ia lalu berbaur bersama anak-anak panti itu. sedangkan aku masih terpaku. Aku masih sangat tidak mengerti maksud Baron dan itu juga membuatku semakin bersalah.

“Hemm…” Izal berdehem melihatku mondar-mandir tak jelas di ruang keluarga. Sedangkan aku tak sadar terhadap keberadaanya disana.
“Kurang kerjaan ya? Mendingan bersihin kamar kakak deh daripada mondar-mandir bolak-balik gak jelas!” Ujar Izal agak kesal.
“I have something big problem, Kak.” Sahutku dan langsung mengambil posisi duduk di sebelah Izal.
“Ceilahhh, Gayanya kayak nenek gaul aja.”
“Aku serius kak! Aku bingung!” ujar ku datar.
“Bingung aja kerjaanya. Kenapa?” Izal sebenarnya dari tadi nongkrongin laptopnya yang berisi gambar-gambar bergerak di layarnya. Game lebih tepatnya. Namun telinga dan pikirannya masih bisa mengerti dan merespon segala pernyataanku. Termasuk mengetahui saat aku meneguk sedikit es jeruknya.
“Apa aku bakalan salah besar kalau mutusin hubunganku sama Baron?” Izal sedikit terkejut mendengarnya. Game-nya pun sementara ditingggalkan dan memfokuskan pikirannya padaku.
“Alasannya apa?” tanyanya.
“Dari awal, sejujurnya tak ada perasaan istimewa selain kenyamananku bersahabat dengannya. Tapi entah karena apa aku menerimanya.”
“Jadi?”
“Aku rasa aku dan dia lebih baik bersahabat seperti dulu.”
Izal sejenak terdiam, tampak memikirkan sesuatu.
“Bagaimana menurut kakak?” tanyaku sedikit tidak sabar dengan jawaban Izal.
“Jika itu adalah keputusan yang kamu anggap paling tepat, ya lakukan saja.”
“Tapi aku takut Baron akan membenciku.”
“Jika Baron memang tulus menyayangimu, ia tidak akan melakukannya.”
“Apa kakak yakin?”
“Of course! Lagian kalian kan masih ABG. Kalian masih dalam masa transisi and BELIEVE ME, sist.”
“Well to the Well, well, well. Terimakasih sarannya kak.”
“Never mind. Tapi BIASA AJA KALEE…!!!”
Aku segera berlari menuju kamar. Tak ingin membalas kicauan Izal atau memperbanyak rating acara di televise. Hanya saja aku telah menghabiskan es jeruk milik Izal. :D

^^^

“Baron, sebelumnya aku minta maaf padamu.” Kataku pertama kali ketika aku dan Baron telah duduk di sebuah bangku taman belakang sekolah.
“Tidak apa-apa. Aku sudah bisa menebak apa yang ingin kamu katakan.” Baron menyandarkan tubuhnya pada bangku itu. Menengadah dan menatap awan yang bergerak sangat lambat bersama matahari yang berlahan mulai menuju ubun-ubun.
“Sebenarnya selama ini, selama kita pacaran, aku tau bahwa kamu tidak pernah mempunyai perasaan lebih selain perasaan persahabatan padaku. Tapi, aku berusaha yakin dan sangat bersemangat untuk membuatmu memiliki perasaan yang kurasakan terhadapmu. Aku berusaha untuk menjadi apa yang kamu inginkan, memenuhi segala persyaratan yang kamu ajukan dan mengiyakan segala permintaanmu.” Baron menarik nafas panjang dan membiarkannya berhembus bebas menuju udara luar.
“Dan ternyata, segala usahaku sia-sia. Akhirnya aku sadar bahwa kamu tidak akan pernah mencintaiku. Saat kemarin di Panti, itu adalah salah satu usaha yang kurasa mampu membuatmu mengerti. Tapi, itu juga sia-sia. Aku malah membuatmu semakin heran dan bersalah jika kamu memutuskanku, kan?”
Aku bergeming. Bahkan untuk sekedar meliriknya saja aku tak sanggup. Aku terlalu takut mengungkapkan kata-kata itu padanya, karena aku yakin Baron pasti akan kecewa – sudah kecewa tepatnya.
“Baiklah, Na. Aku rasa aku sudah siap dan kamu tak perlu takut untuk mengatakannya.” Baron menggenggam tanganku erat. Sinar matanya memancarkan harapan yang telah pupus. Dan aku tidak mungkin terus membuatnya seperti itu.
“Baron, maaf jika aku melakukan ini. Tapi, jika kubiarkan semuanya berlarut-larut, maka aku yakin ini akan menjadi lebih menyakitkan.” Aku menatapnya lekat-lekat. Bisa kubayangkan betapa dalamnya luka yang kutancapkan padanya.
“Sekali lagi aku minta maaf..”
“Tidak apa-apa. Aku akan baik-baik saja, aku tidak akan sakit hati apalagi membencimu. Percayalah..” Baron menyunggingkan senyum padaku, senyuman yang terlihat tanpa beban, senyuman yang biasanya aku dapatkan ketika ia berhasil membuatku nyaman.

“Ketika Ibuku memberiku sebuah apel merah, kemudian Ia berkata, “Makanlah.” Maka aku pun memakannya tanpa ragu. Ibuku lalu berkata lagi, “Nak, taukah kamu tentang apel merah itu?” aku heran dan bingung. Tapi Ibuku segera melanjutkan kalimatnya, “Ketika kamu memakannya, kamu mengurangi sedikit demi sedikit bagian dari apel merah itu. sampai ketika ia habis dan hanya tertinggal biji, maka janganlah membuangnya. Tapi seharusnya kamu menanam biji itu yang akan tumbuh menjadi pohon apel yang baru. Dan seperti itulah cinta.”

>><< 
                 
Ketika Perahu Mulai Berlayar. . .


      Surat itu masih aku pegang erat-erat. Perasaanku jadi bercampur aduk tak karuan setelah membacanya. Apalagi ketika mengetahui isi kotak hadiah itu, sebuah gantungan kunci bertuliskan namaku tergelatak cantik dalam kotak kecil itu. kututup lagi kotak itu dan juga menggenggam erat gantungan itu.
Dalam belengu seperti ini, tiba-tiba hujan menuruni udara dan jatuh membasahi tanah, seperti air mata yang mengalir, membuat pipiku juga basah seperti tanah dan daun-daun di luar sana. Ketika hujan semakin menderas, mesih waktu dalam otakku pun kembali ke masa kecil. Masa-masa yang sama sekali aku rindukan.

^^^
“Mau kemana, Ina? Kok buru-buru?” Tanya Ibu yang sedang menyiapkan makan pagi.
“Aku mau ke taman, Bu!” jawabku sambil dengan susah payah memasukkan kakiku ke dalam sepatu.
“Gak sarapan dulu?”
“Nanti aja bu! Aku gak boleh terlambat lagi. Aku pergi dulu ya!”
Aku melambaikan tangan pada Ibu. Dengan sepeda pemberian ayah, aku melesat menuju taman yang lokasinya tak jauh dari rumah.

“Kamu terlambat lagi!” seru Ucky meledek. Jantungku berdebar dan napasku terengah-engah. Kemudian aku menyandarkan tubuhku sejenak pada sebuah kursi taman, mengatur napas lalu menatap Ucky.
“Sekarang mana es krimnya?” tagih Ucky.
“Aku gak bawa.” Jawabku tertunduk. Padahal dari rumah aku ingin membawa es krim itu. tapi keyakinan bahwa aku tidak akan terlambat membuatku urung membawanya.
“Kenapa gak bawa? Itu kan perjanjian.”
“Aku lupa. Tapi kalo Ucky mau es krimnya, aku bakalan cari ke rumah sekarang.”
“Gak usah. Kamu disini aja. Nih..”
Ucky menyodorkan es krim coklat ke arahku. Hal itu sontak membuatku kaget. Aku menatap wajah Ucky dengan heran.
“Mau es krim gak?”
“Ini buat aku?”
“Siapa lagi yang ada disini?”
“Emm, kenapa kamu ngasi es krim ke aku? Kamu kan gak telat.”
“Ini hadiah aja buat kamu. Kalo gak diambil dalam lima detik, aku yang makan nih!”
“Eh, iya deh. Makasi ya Ucky.” Aku menerima es krim pemberian Ucky. Aku sangat heran kenapa dia tiba-tiba memberiku es krim ini. Tapi dalam hati aku senang menerima es krim dari Ucky.

Aku berniat mengganti es krim coklat yang diberikan Ucky kemarin dengan es krim vanilla yang ia lupakan. Segera aku melaju dengan sepeda menuju rumah Ucky. Sampai di depan rumahnya kulihat Bi De baru saja akan menutup pintu gerbang.
“Bi, Uckynya mana?” tanyaku segera.
“Waduh, Non, Den Ucky baru aja pergi sama ayah ibunya. Katanya sih mau ke Kanada.”
“Ke Kanada? Ngapain, Bi?”
“Bibi kurang tau, Non. Emangnya Non Ina gak dikasi tau sama Den Ucky?”
“Berapa lama Ucky disana?”
“Itu juga Bibi gak tau Non. Silahkan masuk dulu non.”
“Em, gak deh Bi. Aku langsung pulang aja.”
Aku berbalik arah. Sambil termangu. Kenapa Ucky pergi? Kenapa dia gak bilang sama aku?  Ucky jahat! Jahat!
Aku kesal, marah dan teramat kecewa terhadap Ucky. Segera aku melaju kencang, menuju suatu tempat.
^^^


      Pohon itu tumbuh seiring dengan perjalanan waktu. Baru kusadari bahwa itu adalah pohon bunga. Bunga yang entah apa namanya. Warnanya merah cerah dengan aksen kuning seperti matahari. Sungguh indah sehingga akan menawan mata siapa saja yang berkunjung ke telaga itu. Dari batang pohon yang menjulur ke samping, tergantung sebuah ayunan. Mungkin pengelola di taman ini yang telah membuatnya karena sekarang taman ini bukan lagi tempat pribadi tapi tempat umum yang memungkinkan siapa saja boleh berkunjung. Aku menaiki ayunan itu, dudukannya terbuat dari kayu yang masih sedikit lembab sehabis diguyur hujan tadi malam. Lalu, kuayun tubuhku dengan ayunan itu. rasanya sangat menyenangkan. Tubuhku perlahan menyusuri udara-udara yang sangat segar hari itu. Hatiku mulai sedikit menjadi tenang dibuatnya. Tapi tak bisa juga aku musnahkan secara utuh belengu perasaan itu. Ketika kulihat ikan meliuk diantara teratai-teratai yang menyembul dari telaga, jantungku mendadak berdebar. Seperti merasakan sesuatu akan terjadi. Kuusahakan untuk mengendalikan debaran itu, tapi tak bisa. Itu malah makin kuat dan kencang. Saat kusibuk dengan kegelisahan dalam debaran itu, seseorang datang. Menutup mataku.
“Siapa ini?” aku agak takut. Tanganku segera meraba-raba tangan penutup itu. tak terasa asing.
“Tebak dong.” Kata orang itu.
“Kalo gak salah, ini Baron.”
Orang itu, Baron, segera membuka tangannya. Ia lalu tersenyum padaku, seperti biasanya dan tetap tulus meskipun kami tidak lagi pacarn.
“Darimana kamu tau aku disini?”
“Kalo gak dirumah dan di sekolah, dimana lagi? Gak mungkin kan aku cari kamu di bawah tanah.”
“Ah, bisa aja kamu!”
“Ohya, ada yang mau ketemu kamu, Na.”
“Siapa? Pak Obama ya?” aku terkekeh.
“Tidak, tidak!!”
“Pak SBY?”
“Tidaak, tidaakk!”
“Roma Irama?”
“Bang Roma lagi sibuk belajar orasi. Kan mau mendaftar jadi calon presiden”
“TER-LA-LU. Terus siapa yang mau ketemu sama aku?”
Baron terdiam. Karena merasa tak mendapat jawaban yang baik dan benar, aku berusaha menebar pandanganku ke seluruh area taman itu, Kanan kiri, sampai atas dan ke bawah.
“Raina..” seseorang memanggil namaku. Deg. Aku terperanjat. Tubuhku seperti membeku oleh es hayalan. Bibirku terkunci dengan kode misterius yang Cuma Archimedes yang tau. Tiba-tiba aku dehidrasi dan mengalami kontroversi hati dadakan.
“Itu orang yang mau ketemu kamu.” Baron menunjuk orang yang memanggilku. Dan ketika aku berhasil berbalik arah, OH MY NO, OH MY WOW, OH MY GOD!!!
“Lucky?”
“Hai, Na?”
Sebelum aku membalas sapaan itu, sebenarnya terjadi sebuah pertarungan di dalam sini, dalam benak, hari dan jiwaku. Ada perasaan kecewa yang telah lama membuatku galau tapi juga ada perasaan teramat sangat bahagia hingga aku ingin melompat-lompat seperti lumba-lumba di Pantai Lovina. Aku ingin menangis dan memeluknya segera agar orang yang sedang berada di depanku tak bisa pergi lagi apalagi tanpa permisi. Aku ingin menumpahkan segala kerinduan yang selama ini tertimbun bagai emas tanpa penambang. Aku ingin dia mengusap air mataku jika benar aku menangis di hadapannya tapi itu telah terjadi, detik ini.
“Ina, kenapa kamu nangis?”
Aku tak menjawab tapi seketika aku memukul-mukul orang yang terlalu kurindukan ini sampai akhirnya ia memelukku erat. Sangat erat dan tiba-tiba hatiku terasa hangat kembali.
“Kemana aja kamu selama ini, ha?! Kamu gak pamit pas kamu pergi! Apa waktu itu kamu lupa sama aku?”
Lucky bergeming. Ia tetap membelai rambutku dengan lembut. Matanya terpejam. Dan aku merasakan kehangatan itu semakin dalam.
“Jawab, Ucky!!!” aku melepaskan diri dari pelukannya. Berusaha membuat agar ia tidak bungkam.
“Maafin aku, Na. waktu itu aku takut kamu sedih dan kecewa kalo aku pergi..”
“Justru itu yang buat aku kecewa dan benci sama kamu!”
“Raina, maafin aku. Tapi kalo kamu benci sama aku sekarang, seterusnya aku gak akan pernah ganggu kamu.” Lucky membalikkan badannya dan melangkah pergi. Tiba-tiba saja, gerimis datang dan mengguyur taman itu.
“Tunggu!” teriakku. Langkah Lucky terhenti. Aku segera berlari ke arahnya dan memeluknnya erat. Erat seperti tadi ia memelukku.
“Aku gak benci sama kamu, Ky. Tapi aku benci kalo kamu pergi kayak dulu lagi.”
“Aku gak akan pergi lagi. Tenang aja.” Lucky tersenyum padaku. Hujan semakin deras menyelusup tanah yang sudah basah semenjak kemarin. Tapi di sisi lain, katak-katak dalam telaga melompat-lompat dari satu daun teratai ke daun teratai lainnya. Mereka terlihat sangat bahagia, seperti aku.
^^^

Kau kira aku tenang tertidur saat kau tak disini?
Malah aku tidak bisa memejamkan mata,
Karna setiap kulakukan, kau muncul..
Kau kira saat aku tersenyum, aku bahagia?
Tidak, jika kamu berusaha melupakanku..
Kau pikir aku hanya menangis kehilangan bonekaku?
Salah besar, karna mataku setiap hari sembab karena kepergianmu dulu,
Ketika kau tidak lagi bisa menjahiliku,
Ketika aku tidak dapat lagi mendengar tawa banggamu
Setelah kau berhasil merebut bonekaku seperti kau merebut hatiku, sekarang….

>>> 
      Saat ini, matahari begitu terik menyengat kulit-kulit para pejalan kaki. Simpang siur mereka mencari-cari tujuan dan sambil menutupi kepala karena silau mereka berlari-lari menuju suatu tempat. Siang hari, ya, aku baru saja pulang dari sekolah. Sepanjang perjalanan, mungkin orang-orang yang melihatku mengira aku orang gila, karena sepanjang  perjalanan aku terus saja senyum-senyum sendiri. Ada yang tau? Nanti sore, Lucky akan mengajakku jalan-jalan. Entah apa yang akan dibicarakan, yang jelas aku tidak sabar untuk menunggu sore ini. Segera aku berlari menuju rumah dan bersiap-siap.
“Mau kemana, Na? Kok dari tadi kayaknya ribet banget.” Tanya Ibuku.
“Aku mau ketemu Lucky, Buk.”
“Nah, terus? Kenapa jidatnya mengkerut kayak gitu?”
“Aku bingung mau pake baju yang mana.”
Ibuku tersenyum. Ia lalu mendekat dan menilik satu persatu baju yang berjejer memenuhi  kasurku.
“Nah, kamu pake ini aja. Pasti kamu banget.” Ibu memilih dress selutut berwarna biru tua itu. Desaign-nya simple dan aku suka itu.
Aku pun segera menggenakan dress itu. Ibu tampak terkagum-kagum melihatku setelah aku berganti pakaian.
“Wah, anak Ibu cantik sekali! Gak salah kan dress yang Ibu pilih.”
“Ya, Ibu emang pakar fashion yang T.O.P-B.G.T deh!” aku memeluk wanita yang wajahnya kuwarisi itu.
“Nah, itu pasti Lucky.” Ujar ibu setelah bunyi klakson terdengar nyarinng.
“Kalo gitu aku pergi dulu ya, Buk.” Aku menyalimi Ibu, mencium pipinya dan berharap agar acara ini berjalan lancar.

>>> 
      Di sebuah bangku restoran yang berhadapan langsung dengan pantai, aku dan Lucky duduk seraya memandangi kilauan air laut akibat mentari yang akan permisi dari hari ini.
“Mau minum apa,Na?” Tanya Lucky menatapku.
“Emm, apa aja boleh.” Jawabku masih gugup.
“Baiklah, 2 Coffee Late ya Mbak.” Katanya pada sang pelayan. Lucky kemudian kembali menatapku. Lekat sekali hingga aku tak bisa berkutik. Tubuhku terkunci.
“Ohya, aku mau bilang sesuatu.” Ucap Lucky kemudian.
“Heh, a.. apa?” tanyaku dengan nada gugup.
“Sebenarnya aku malu bilang ini ke kamu. Tapi kamu harus tau..”
Aku terperanjat. Apa yang akan dikatakan Lucky? Apa dia ingin mengungkapkan perasaannya? Atau, astaga! Lucky mau nembak aku?!
Berbagai spekulasi muncul di benakku sebelum Lucky mengatakan ‘sesuatu’ itu kepadaku. Tapi berbagai spekulasi yang tidak ada harmonisasinya sehingga membuat kontroversi segera aku usir jauh-jauh. Ya, itu tidak mungkin!
“Aku sudah punya pacar. Dan besok lusa dia akan bersekolah di sekolah yang sama dengan kamu, Na.”
JEDEG!...
Sementara sekmen cerita ini berhenti karena adanya kesalahan yang tidak sama sekali kubayangkan. Andaikan saja ada gelas berisi air yang jatuh ke lantai sehingga gelasnya pecah berkeping-keping dan airnya tumpah membasahi seluruh lantai, seperti itulah keadaan hatiku sedetik setelah kalimat pendek yang diucapkan Lucky. Hal-hal yang mengatakan bahwa Lucky memang benar-benar tidak memiliki perasaan apapun terhadapku kecuali perasaan sebagai sahabat. HANYA SAHABAT, tidak lebih dan tidak kurang. Kenyataan juga menyatakan bahwa perasaanku selama ini hanyalah aku sendiri yang merasakan, tidak ada orang lain, apalagi Lucky.
JEBRET.
Segera roda perfilman ironis ini kembali berlanjut. Akan kusingkirkan dulu pecahan-pecahan gelas dan akan ku pel dulu tumpahan air itu dengan lap basah.
“O,Ohya? Selamat ya, Ky! Aku jadi tidak sabar ingin mengetahui siapa yang udah bisa meluluhkan hati sahabatku ini.” Aku tersenyum lebar. Sangat lebar sampai-sampai seperti bentuk Kepelauan Indonesia dari Sabang sampai Merauke jika dilihat dari peta atau globe.
“Ya, aku juga gak sabar ketemu sama dia. Rasanya kangen banget beberapa hari gak ketemu Priska.”
Gila, baru dua hari udah kangen segitu beratnya?! Bayangin coba berapa tahun aku nunggu kabar dari kamu dan mendem rasa rindu sendirian? Tau gak gimana rasanya? SAKIT TAU, KY!!! SAKIT BANGET!!!
“Oh, namanya Priska? Pasti cantik deh.”  Aku nyengir. Lalu kusruput Coffee late di depanku sampai tak sadar, PANAS BANGET CUY!
“Tapi, gak ada yang ngalahin ke-imut-an kamu, Ina.” Lagi-lagi Lucky menatapku seperti awal kami duduk disini. Sementara dia menatapku dan aku mengkaku, matahari mulai habis ditelan lautan. Hari berangsur-angsur meredup dan akhirnya cahaya digantikan oleh lampu-lampu listrik yang berkelip-kelip. Jalanan kota semakin padat karena, biasalah Tonight is weekend, so many people go out from their house to enjoying night in this city. Ada makan di café, sekadar mengukur jalanan kota atau bahkan sekadar ingin merasakan tebalnya kumis pak Polisi dengan cara ngebut-ngebutan di jalanan.
>>> 

“Waduh, anak ayah baru pulang nih.” Sambut ayah menghentikan perbincangannya dengan Ibu dan Kak Izal.
“Ayah? Ayah kapan pulang? Kok gak ngabarin aku? Aku kan bisa pulang cepet jadinya!”
“Ina, Ina, kamu ini emang anak ayah yang paling cerewet ya.”
“Yee… Ayah baru nyadar ya? Putri kesayangan ayah ini jelmaan nenek lampir.”
“Iss, Kak Izal tuh yang jelmaan genderuwo!” aku berusahan melayangkan pukulan pada Izal. Tapi aku kalah cepat, Ibu segera menghentikan action ku.
“Udah ah! Baru juga dating udah berantem. Kamu juga Izal, demen banget bikin adiknya kesel.” Aku menjulurkan lidah pada Izal. Kemudian kualihkan tubuhku pada ayah dan segera memeluknya.
“Katanya Lucky udah pulang ya? Terus gimana tadi jalan-jalanya?” Tanya ayah penasaran. Tapi, sebelum pertanyaan itu kujawab, aku malah menangis seperti anak kecil umur 5 tahun. Astaga, betapa akan bangganya Izal melihatku menangis sehingga ia punya alasan untuk meledekku besok.
“Lho, kenapa nangis?” Ibu lalu mendekatiku.
“Ah, palingan patah hati tuh!” celetuk Izal. Tangisanku malah makin menjadi jadi. Dan Izal mulai berdalih mengambil Koran dan menutupi wajahnya.
“Patah hati? Itu beneran?” Tanya Ayah tampak serius. Aku hanya mengangguk sambil mengeraskan volume tangisanku. Dan Izal kembali muncul.
“Tuh kan bener! Kenapa? Cintanya ditolak sama Lucky atau Lucky udah punya pacar?” pertanyaan Izal juga semakin menusuk dan membuatku tak tahan. Aku lalu berlari menuju kamar dan mengunci diri. Ibu dan ayah tampak heran dan memandang tajam Izal.
“Hehe.. Cuma nebak, Yah.” Izal nyengir. Ia lalu terbirit-birit menuju kamarnya dan ikut-ikutan mengunci diri. Sedangkan ayah dan Ibu geleng-geleng berjamaah.
^^^

      Cerah, hari ini seperti kemarin-kemarin. Siulan angin membawa kicauan burung kenari milik Kakek Oesman ke celah-celah kamarku. Kokok si jago, ayam kakek Oesman juga tak kalah membuat ramai pagi ini. Tapi, sayangnya sisa-sisa pecahan gelas kemarin lusa belum juga bisa kubersihkan seluruhnya. Kepingan itu masih tertancap dan membuat sebuah luka.

“Pagi, Na…” sapa sahabatku yang punya aksesoris serba Hijau ini, Neni.
“Ya, pagi juga.” Sahutku datar.
“Lha, kamu kenapa Na? Are you ok?” ia menatapku lekat. Mencari-cari hal aneh yang sedang menyelimuti ekspresiku.
“Aku baik-baik aja. Cuma gak enak badan dikit.”
“Kalo gak enak badan harusnya kamu jangan sekolah. Nanti tambah sakit.” Neni menyeloteh seperti Ibuku. Aku segera berlalu dan menuju kelas.
Dalam kelas, tampak Dine sudah on stay pada komiknya. Sempat ia melirikku dan menyapaku. Namun aku tak menjawab. Aku malah langsung menghambur duduk dan melamun lagi.
“Tuh anak kenapa lagi?” ujar Dine pada Neni. Ia hanya menggeleng dan menempati bangkunya di sebelahku.
Singkat cerita, bel masuk berbunyi. Tanda bahwa pahlawan tanpa tanda jasa harus berperang lagi melawan kabandelan ABG-ABG macam kita.
{Kita? Loe aja kale gue gak usah!}
Next, di kelasku sudah nagkring Pak Budiman beserta seorang gadis muda. Yah, itu pasti Priska, pacar sahabat yang kucintai. Dia akhirnya benar-benar bersekolah disini dan dengan suara lembutnya segera memperkenalkan diri.
“Priska, kamu duduk di sebelah Dine ya.”  Pak Budiman menunjuk arah Dine dan Priska mengangguk seraya melempar senyum.
“Hai, aku Priska. Kamu siapa?” sapanya ramah sambil mengulurkan tangannya pada Dine, Neni dan terakhir padaku.
“Kamu pasti Raina kan?” tanyanya padaku. Sedetik sekmen cerita ini kembali di pause untuk mengetahui apa yang sedang diproses dalam pikiranku.
Aku terasa ingin hilang tiba-tiba dari tempatku duduk, pergi ke tempat tanpa penghuni dan berteriak sekencang-kencangnya. Tapi jreet, rencana itu pudar seketika saat Priska tau namaku.
Kenapa dia bisa tau namaku? Satu pertanyaan yang aku rasa akan keluar dari kerongkonganku. Dan benar saja, pertanyaan itu sudah kukatakan.
“Aku sudah dapat menebak, kamu pasti akan bertanya seperti itu.” Priska tersenyum. Ia lalu mengambil sebuah foto. Astaga!
“Ini pasti kamu kan?” Priska menunjuk fotoku bersama Lucky. Foto yang hilang dari album rahasiaku sejak beberapa tahun lalu, sejak Lucky pergi tanpa pamit.
“Foto itu? Kamu dapat darimana?” tanyaku penasaran.
“Waktu di Kanada, aku liat foto ini jatuh di depan apartement Lucky. Tapi, karena dia udah ke Indonesia, aku simpan. Mungkin foto ini berharga banget buat Lucky dan benar saja kan?” Priska menyerahkan foto itu padaku. Dengan tangan gemetar, aku menerimanya.
“Lucky bawa ini ke Kanada?” saat pertanyaan itu terlontar, jauh dalam hatiku ada perasaan senang. Pecahan-pecahan gelas kemarin sedikit terekat kembali meski masih sedikit retak.
Lucky selalu mengingatku? Apa benar? Atau mungkin foto itu hanya tak sengaja tersangkut pada koper Lucky saat pergi. Ah! Tidak! Foto itu pasti hanya tersangkut. Dan itu sebabnya foto itu terjatuh di apartementnya. Ya, hanya kebetulan!
“Hey, kenapa melamun?” Priska sontak membuyarkan lamunanku.
“Eh, e, anu, aku Cuma mikirin tugas-tugas. Pusing banget.”
Kemudian semua kembali dalam posisi belajar semula. Dine dan Neni pun mulai memenuhi catatan mereka dengan huruf-huruf. Dan, kita lewati saja hal-hal serta lamunan-lamunanku yang tidak penting itu agar semua tetap berjalan seperti semula.
^^^


“Lagi ngapain, Na?” Tanya Mbak Yunita heran. Saat itu aku sedang sibuk berkutat dengan barang-barang lamaku. Ohya, hampir lupa, kakakku dan Mbak Yunita sudah resmi menikah dan kini mbak Yunita sedang mengandung. Itu artinya aku akan punya keponakan.
“Mau dibawa kemana barang-barangnya?” Tanya Mbak Yunita lagi.
“Biasalah mBak, mau aku sumbangin ke panti asuhan Ibu.” Sahutku.
“Perlu mbak bantuin?”
“Eh, gak usah Mbak. Lagian barangnya gak banyak.” Aku bergegas menuju garasi dan memasukkan barang-barang itu ke mobil.
“Mbak, tolong bilangin sama Ibu kalo aku ke panti.” Ujarku seraya menyalimi tangannya.
“Hati-hati ya…”
“Iya, tapi Mbak gak apa-apa kan di rumah sendiri?”
“Kan ada Bi Inun yang jagain Mbak. Kamu tenang aja.”
Sedetik kemudian moobil yang ku kendarai sendiri melaju mennuju panti asuhan. Sebenarnya rencana pergi ke panti ini aku ingin mengajak Lucky. Tapi itu urung kulakukan karena aku tau, ya, Lucky pasti sibuk mempersiapkan diri untuk acara Night Party dalam rangka HUT sekolah. Dan tentunya Priskalah yang mengajaknya. Dan pertanyaan baru pasti muncul,
Kenapa aku tidak pergi???
Yah, akan kujawab tapi sebelumnya akan kujelaskan bagaimana peraturan Night Party di sekolahku yang bersifat absolute itu.
      Firsht, acara yang digelar setiap tahun ini adalah acara perayaan HUT sekolah sekaligus acara reuni yang ditujukan kepada seluruh siswa-siswi sekolah dan diwajibkan ikut dan datang dalam acara ini. Peraturan pertama ini sudah jelas-jelas menyeret kata DIWAJIBKAN, tapi kenapa aku tidak juga pergi atau bahkan sekadar sibuk berburu dress-dress lucu, anggun dan mahal atau antre di salon dengan no antrean 101 sampai rela berjemur kayak ikan dendeng yang hanya tinggal digoreng dan dan disantap? Nyam,nyam, Enak!
Alasannya sederhana, apada aturan pertama ada NB {Kepanjangannya Note Book atau Numbang Berita} yang bunyinya: “Perkecualian untuk siswa-siswi yang punya acara atau musibah tertentu yang tidak sama sekali memungkinkan untuk datang.”
Dan ada yang tau gak alasan yang aku kirim lewat sahabatku Neni yang berbentuk surat yang orang sering sebut dengan DC? Yap, itulah alasan dasyat dan cetar yang kubuat. Untuk surat ijin sakit dari dokter itu, mudah saja aku buat. Secara githoo pamanku kan dokter THT jadi aku buat alasan sakit tenggorokan dan harus puasa ngomong selama 1x24 jam.
Well, I Know Bu Desi sekarang pasti sedang sibuk mencari-cari penggantiku sebagai MC, Host atau sebutan lainnya untuk acara itu. Dan sebagai siswi yang bertanggung jawab, aku sms Bu Desi dan bilang kalau Priska cocok menggantikanku.
      Next, peraturan kedua, peserta harus membawa pasangannya masing-masing. Boleh dari luar dan tentu saja dalam sekolah. Inilah peraturan yang paling aku gak suka. Karena peraturan ini amat sangat menyengsarakan para jomblowan-Jomblowati yang bakalan susah nyari orang buat diajak ke pesta itu. Gak mungkin kan mereka ngajak Mimi Pipi atau Grandpa dan Grandma ke acara gaholnya ABG? It’s impossible!
Dan aku mungkin gak akan sesusah itu. bukannya sombong sih, tapi yahh lumayan banyak yang nawarin diri untuk menjadi pangeran semalamku di Night Party kali ini. Bahkan beberapa ada yang sampai bertingkah aneh. Sebut saja Bagus, cowok yang terkenal playboy cap tokek ini menawariku untuk pergi bersamanya.
‘Na, mau gak pergi bareng aku? Kalo kamu mau, aku bakalan beliin kamu dress yang kamu suka dan pergi ke salon mahal. Gimana?” dan kujawab dengan tampang dan nada sinis.
“Sorry aku gak bisa! Lagian kamu kan punya banyak cewek-cewek cantik. Ajak aja salah satu buat jadi pasangan kamu!”
“Mereka udah aku putusin. Demi kamu, Na.”
Jedog! Demi aku? Heloooo….. I’m not crazy girls you know!  Saat itu, pengen rasanya aku tampar habisan-habisan wajahnya sampai ia sadar sedang berhadapan dengan siapa. Dan Blablablabla…. Si Bagus terus saja mencoba merayu tanpa mengetahui keberadaanku yang sudah terbang jauh ke Kutub Utara. {Yang dimaksud disini adalah tempat-tempat terahasia di sekolah dan disitulah aku bersemadi tanpa satupun manusia yang tau sampai seratus tahun kemudian}.
^^^

      Perjalanan ke sekolah pagi ini begitu ku rasakan berat sekali. Selain tas yang ku gendong penuh berisi buku-buku berhalaman seratus, juga hatiku penuh dengan hal-hal tak menggenakkan yang selalu berkecambuk menggerogoti pikiranku. Untung saja Izal mengerti dan tidak banyak cakap seperti biasanya jika ia mengantarku ke sekolah. Ia hanya diam sambil menyiul-nyiulkan mulutnya hingga sama persis seperti Mulut bebek yang bersuara Kenari. Sampai di depan sekolah aku segera turun dari mobil tanpa meninggalkan komentar apapun tentang kecepatan, keamanan atau kebisingan saat Izal berkendara. Semuanya berlalu begitu saja tanpa suara mencak-mencak karna Izal hobi banget mengacak-acak rambutku. Namun, setelah melewati pos satpam sekolah, langkahku berhenti. Entah kenapa, sebuah sinyal membuat tubuhku berbalik dan OMG! Di depan mata kepalaku sendiri, kulihat Priska turun dari motor yang dikendarai Lucky. Setelah itu adegan selanjutnya terekam lagi, Lucky mencium kening Priska. Tampak sangat bahagia bagi mereka tapi sangat tidak menyenangkan bagiku. Tiba-tiba, darahku naik turun begitu cepat. Jemariku kaku, leherku kram, kakiku kesemutan, paru-paruku sesak, dan Hatiku remuk. Gilaa, tragis, ironis dan kronis!
“Raina!” Jrett. Segala peristiwa hiperbola itu dibubarkan oleh panggilan Priska yang tampak berlari-lari menuju arahku.
“Kemarin kamu kemana? Kok gak datang?” Tanya Priska tersenyum sangat bangga dan bahagia terhadapku.
“Eh, e, aku, aku kan sakit tenggorokan, Pris.” Jawabku sambil memegangi tenggorokan yang sekarang benar-benar sakit.
“Oh, aku lupa. Mmm… Tadi Lucky nitip salam ke kamu. Katanya cepet sembuh.”
Seperdetik setelah kalimat itu diucapkan Priska, sontak penyakit stroke aneh yang timbul dalam tragedy tadi hilang tak berbekas. Musnah seperti lagu Andra n’the Backbond. Bibirku mulai tertarik untuk menuai senyum yang lama tak aku siram sampai ia layu. Setelah itu juga, kakiku seperti melayang, seperti Casper atau Tingkerbell yang terbang bebas.
“Oh ya? Terimakasih, tolong katakan padanya.” Ucapku.
“Of course!” Priska menggangguk. Kami lalu berjalan beriringan menuju kelas. Bersama wanita yang dicintai sahabat yang kucintai.
>>> 

“Raina, jawab soal nomor 2! Sekarang!” jeritan itu membuyarkan lamunanku. Buset, nih guru makan apaan sih tadi pagi? Garang banget!
Tek, tek, tek, suara sepatu terdengar seperti suara sepatu  si Jago-nya Kek Oesman, jelas sekali. Aku baru sadar kalau sedari tadi kelas ini seperti suasana dalam film horror Indonesia. Penghuninya diam sambil memandang dalam tatapan kosong dengan teramat pucat dan putih seperti cat tembok rumahku. Dan ketika aku kian mendekat ke depan kelas, sesosok raksasa seperti sedang menungguku dengan tatapan tajam. Menunggu mangsa dan akan segera melahapku.
PLAKK! Suara benturan penghapus dengan papan menyadarkanku. Lagi-lagi imajinasiku terbang jauh melayang-layang. Huh, Raina, what’s wrong?
“Raina!!! Maju ke depan sekarang!” teriak pak Kimon.
Sontak aku melonjak kaget. Segera aku berdiri dan berjalan ke depan kelas. Dan well, yang kujawab bukan hanya soal nomor 2, tapi juga nomor 3, 4, 5, 6 sampai habis. And then, bell is ringing. Tandanya aku dan semua anak-anak yang ngebet pulang bisa dengan leluasa bebas dan menemui pikiran mereka yang sudah dari beberapa jam yang lalu ada di rumah.
>>> 


      Dua jam yang lalu, aku baru saja menerima telepon dari Ibu bahwa ia harus pergi ke rumah sakit mengantar Mbak Yunita yang akan segera melahirkan.
“Tapi Bu, aku gak bisa kesana. Ada banyak tugas hari ini.”
“Iya, taka pa. Ibu Cuma pesan kamu jangan sampai lupa makan dan jangan pulang terlalu sore.”
“Iya bu, sejam lagi aku juga pulang kok.”
Kututup telepon segera setelah Ibu cuap-cuap habis-habisan. Sekarang mulailah aku mengobrak-abrik isi tiga tumpuk buku yang dengan penuh usaha dan perjuangan aku temukan. Ohya, posisiku sekarang sedang berada di perpustakaan sekolah. Dan memang sekolah membuka perpustakaan ini lebih lama tiga jam setelah jam pulang sekolah. Kebijakan itu pertama kali dicetuskan oleh Bu Nari, guru bahasa inggris yang senang dan sering menghabiskan waktunya setelah mengajar di perpustakaan ini. Seperti hari ini, aku melihat Bu Nari terdiam seorang diri sambil membaca sebuah buku bersampul Jingga dengan gambar dua anak kecil laki-laki dan perempuan yang duduk di atas sebuah ayunan dengan wajah yang sangat gembira.
“Sore, Bu?” sapaku seraya duduk menghadapnya.
“Sore juga, Na.” balasnya dengan mata tetap tak berpaling dari ratusan kata di dalam buku itu.
“Mmmm… Ibu suka baca novel juga ya?” kataku pelan. Selama ini kukira Bu Nari yang terkenal jutek dan dingin ini menghabiskan waktu di perpustakaan untuk membaca buku-buku sastra inggris atau sejenisnya. Tapi, judul yang kudapati tertulis pada sampul buku yang ia baca menjelaskan bahwa buku itu adalah sebuah novel.
“Lumayan.” Jawabnya singkat.
Aku tak berani menanyakan tentang apa yang terangkum di benakku. Kulihat ia begitu serius meneliti kalimat demi kalimat dalam novel itu. aku pun melanjutkan tugas-tugasku yang tidak kunjung selesai. Sesekali aku berhenti sejenak dan melirik Bu Nari yang tetap focus pada novel itu.
      Satu  jam kemudian aku telah merapikan buku-bukuku. Tugas yang diberikan oleh Bu Desi untuk membuat laporan ilmiah juga sudah selesai.
“Bu, Ibu tidak pulang?” tanyaku dengan agak canggung.
Bu Nari tetap membungkam. Novel yang a baca menutupi wajahnya. Pelan-pelan ketika sunyi mencekam ruangan ini, aku tersentak. Aku mendengar suara isakan. Isakan dari sebuah tangisan. Aku sempat takut dan cepat-cepat memasukkan buku-buku ke dalam tas. Jangan-jangan di perpustakaan ini ada hantunya lagi! Hihihi…
Tetapi setelah kuselidiki lebih lanjut, akhirnya aku tau siapa sumber tangisan itu. Bu Nari. Ya, ia menangis di hadapanku. Tapi ia berusaha menghapus air matanya ketika ia meletakkan buku bacaanya.
“Bu? Ibu menangis?” kataku pelan.
“Menangis? Kamu ada-ada saja. Buku itu berdebu jadinya mata Ibu iritasi.” Ujarnya seraya merapikan barang-barangnya. “Kamu tidak pulang? Ini sudah sore.” Bu Nari segera beranjak pergi.
“Buk, apa Ibu menyimpan sesuatu?” ujarku. Bu Nari menghentikan langkahnya dan berbalik menatapku.
“Sesuatu?”
“Ya, sesuatu seperti dalam novel itu.”
Ia terdiam lagi. Kini kulihat dengan jelas mata Bu Nari berkaca-kaca.
“Maaf kalau saya menyinggung.”
“Taka pa, mungkin cuma Ibu yang harus lebih tegar.”
“Apa ibu sedang mempunyai masalah?”
“Yah, mungkin memang Ibu harus menceritakan ini juga pada seseorang.”
Bu Nari menghela napas panjang. Matanya masih berkaca-kaca.
“Dulu saat aku masih seusiamu, aku selalu menyendiri. Orang tuaku selalu sibuk dengan pekerjaan mereka dan baru akan pulang ketika larut malam. Di rumah, aku hanya ditemani seorang pembantu dan seorang sopir pribadi. Bi Mimin dan Pak Oto namanya. Mereka sangat sayang padaku melebihi orang tuaku. Dan sampai paada suatu ketika, orang tuaku bertengkar hebat. Mereka lalu memutuskan untuk bercerai dan aku sangat terpukul saat itu. aku mencoba kabur dari rumah dan pergi ke tempat yang tidak aka nada yang menemukanku. Hingga akhirnya aku sampai di sebuah danau. Danau kecil yang belum pernah aku lihat. Indah dan tenang. Di pinggir danau itu aku duduk melamun seharian. Aku tak peduli dengan apa saja yang terjadi di sekelilingku. Aku tetap melamun dan sendirian sampai matahri terbenam.
“Sedang apa kau disini?” Tanya sebuah suara.
Aku tersentak mendengarnya. Aku pun segera membalikkan badan dan melihat seseorang telah berdiri dengan pandangan sinis.
“Siapa kau?” tanyaku.
“Aku yang seharusnya bertanya padamu! Siapa kau berani duduk di tempatku?”
“Mmm, a, aku, ah maaf, aku akan pergi dari sini!”
Aku pun beranjak pergi dari bangku yang sedari tadi aku tempati dan entah akan pergi kemana lagi karena aku tak mau pulang ke rumah saat ini.
“Tunggu! Siapa yang menyuruhmu pergi?” Tanya orang itu.
“Tempat ini milikmu bukan? Jadi maaf aku telah mengganggumu.”
“Tempat ini memang milikku dan belum pernah seorang pun yang tau kecuali aku dan kau sekarang.”
‘Apa aku sudah mengetahui tempat rahasiamu ini? Kalau begitu, sekali lagi aku minta maaf dan aku akan pergi!”
“Kau tidak boleh pergi!”
“Kenapa?”
‘Kau sudah tau tentang tempat ini.”
“Lalu?”
“Duduk saja disana dan diamlah! Aku akan kembali!”
Orang itu beranjak pergi entah kemana. Sedangkan aku duduk kembali seperti semula seperti apa yang diperintahkannya.
‘Ini untukumu.” Orang itu menyodorkan sebotol minuman dan biscuit kepadaku. Apa maksud orang ini? Aku jadi curiga dengan orang ini. Jangan-jangan…
“Hey, cepat makanlah biscuit itu! aku yakin kau kelaparan.” Ujar orang itu.
“Kenapa kau tau?”
“Mudah saja, akau lihat kau seharian duduk melamun disini sampai-sampai kau tak sadar alas kakimu hanyut ke danau.”
Aku sontak  melihat kakiku. Astaga, sandal kesayanganku hanya kupakai sebelah. Aku pun berusaha mencari pasangannya tetapi sudah tidak ada. Saat itu aku menangis seperti anak kecil yang kehilangan balon.
“Dasar cengeng! Ini sandalmu kan?” orang itu menyerahku sandalku yang hilang. Kenapa itu bisa ada padanya? Aku semakin curiga dengan orang ini. Apakah dia benar-benar orang jahat bayaran?
“Cepat makanlah biscuit itu! kalau tidak mau biar aku saja yang menghabiskannya.”  Ia merebut minuman dan biscuit dari tanganku lalu melahapnya.
Astaga, kalau itu berisi racun pasti dia tidak akan memakannya. Akhirnya aku pun tetap kelaparan dan semakin tergiur melihat orang itu memakan biskuitnya dengan lahap.
“Ini, ambil dan segeralah makan! Jika tidak maka kau tak akan mendapatkannya lagi!” lelaki itu menyerahkan lagi biscuit dan minumannya. Kali ini aku tidak akan menyia-nyiakannya dan mencurigai orang lagi.
      “Terimakasih ya!” kataku saat aku telah sampai di rumah.
‘Sekali dua kali direpotkan orang lain itu tak akan masalah bagiku. Tapi jika kau sering seperti ini, aku tidak akan pergi ke danau lagi.” Ujarnya kesal.
“Tapi..”
“Tak usah pakai tapi-tapian lagi! Jika kau kesepian di rumah, kau bisa meneleponku.”
“Mmm.. ya sudah. Aku akan menuruti nasehatmu dan sekali lagi terimakasih untuk hari ini.”
Dia hanya tersenyum memandangiku. Semenjak hari itu, aku menjadi dekat dengannya dan tentunya mengetahui namanya. Reyhan.
“Apa yang aku katakan kemarin, Nari?”
“Maaf, aku tidak punya cukup waktu untuk meneleponmu saja. Hatiku sangat kacau sekarang.”
‘Apa ayahmu memarahimu lagi?”
Aku membungkam. Tetap pada posisi awal dan tanpa kusadari mataku mulai berair.
“Ayahku ingin menikah lagi dan aku sangat tidak menyukainya!”
“Aku juga tidak suka dan benci melihatmu terus-menerus menangis seperti itu!”
Reyhan memelukku. Hal yang paling sering ia lakukan untuk menenangkanku. Dan entah kenapa jantungku selalu berdebar-debar saat hangat tubuhnya merasukiku dan melupakan tangisan yang sebelumnya mengalir deras.
“Terimakasih, Rey!”
“Untuk apa?”
“Untuk semuanya. Untuk pelukan dan senyuman yang kau berikan padaku.”
“Kau tak perlu berterimakasih. Kau juga bisa memelukku kapan pun kau membutuhkannya.”
Jantungku semakin berpacu cepat ada sebuah perasaan aneh yang menyusup di jiwaku. Tapi segera aku usir perasaan itu.
Senja semakin menggelap. Hari sudah akan kembali usai. Seharian penuh aku berada di danau bersama Rey, membicarakan kesukaan dan segala hal.

      Rey menghilang. Sejak dua minggu lalu aku bersama dengannya di danau ini dan saat itu pula terakhir kali aku melihatnya. Kamu kemana, Rey? Pertanyaan itu selalu muncul tiap kali aku merindukannya. Di danau, di rumahnya, tak pernah sepi dari kedatanganku. Tapi tak pernah kutemukan dank u ketahui keberadaanya. Rumahnya selalu sepi. Hanya dijaga oleh seorang tukang kebun. Pak Budi namanya. Pak Budi bilang kalau Reyhan dan keluarganya pergi sejak Reyhan sempat pingsan di rumahnya. Tapi Pak Budi tidak tau kemana dan sampai kapan Rey akan pergi. Aku hanya bisa terpaku menanti kapan saatnya Reyhan kembali.

^^^

      “Pagi, Buk..” sapaku ramah pada Bu Nari. Pagi itu langit tampak begitu cerah. Bahkan Bianglala tampak melengkung menghiasi birunya langit yang membuat hati para insane terpukau dan lebih baik.
“Hey, Na. Pagi juga!” Bu Nari membalas sapaanku dengan senyuman manisnya. Kulihat Bu Nari sedikit berbeda hari ini.
“Masih merasa sedih?”
Bu Nari tiba-tiba berhenti. Aku jadi takut Bu Nari akan tersinggung dan memarahiku. Tapi tidak, Bu Nari malah tersenyum lebar padaku.
“Sedih?” Raina, kita tidak boleh berlarut-larut dalam kesedihan. Kita harus menjadi orang yang tahan banting.”
“Yah, saya kan gak bisa judo buk. Kalo dibanting tetep aja tulang pada remuk!”
“Hahaha… kamu ini bisa aja, Na!”
“Mm.. Ohya, Ibu mau kemana?”
“Ibu mau ke kantorlah.”
“Oh, Kalo gitu saya ke kelas aja deh.”
“Kenapa, Na? Sepertinya ada yang kamu ingin sampaikan.”
“Eh, gak, gak ada kok.”
“Ya udah. Sana gih ke kelas. Sebentar lagi bel lho.”
Bu Nari berlalu. Tubuhnya hilang di balik pintu ruang kantor guru. Sedangkan aku masih terpaku disini. Tapi tiba-tiba sebuah suara memanggilku. Dine berlari-lari menuju ke arahku.
“Ada apa, Din?” tanyaku bingung.
“Nih, ada undangan dari Priska. Besok dia ultah, terus kita sekelas diundang pergi ke pestanya.” Jelas Dine sambil menyerahkan undangan warna pink itu kepadaku.
“Ya udah. Besok aku jemput kamu sama Neni. Kita pergi ke sana bareng-bareng.” Aku lalu beranjak pergi ke kelas.
“Tapi, Na, yang diadain Priska itu Couple Party. Jadi kita harus bawa pasangan.”
“What?? Aneh-aneh aja si Priska! Dia jiplak peraturan Night Party sekolah ya?!”
“Ya, itu isi dari undangannya. Lagian kamu kan punya banyak fans, Na.”
“Fans apaan? Tapi, gak apa-apa kok. Aku bakalan datang ke sana!”
“Hah? Ciuss kamu? Sama siapa? Jangan bilang sama Si Bagus!”
“Ushh! Ya gak mungkinlah aku pergi sama playboy cap tokek itu! pokoknya kamu liat aja besok.”
Aku lalu beranjak pergi. Bel pun sudah berbunyi sepuluh menit lalu. Dalam otakku tersirat berbagai rencana yang bakalan cetar dan membahana kayak Syahrini.
>>> 

Halaman sekolah mulai sesak lagi setelah murid-murid keluar dari kelas. Ada yang berlari-lari, ada yang duduk-duduk di sekitar lapangan basket, ada yang nangkring di kantin, ada yang bingung mencari-cari lokasi motornya diparkir, dan sebagainya. Sedangkan aku, hanya berjalan tertunduk lesu. Melamunkan acara besok.
“Raina!” tiba-tiba sebuah suara memanggilku. Di depan sekolah, kulihat Lucky sedang duduk di atas motornya, menunggu seseorang, dan itu tentu saja bukan aku, Dine, Neni apalagi Satpam sekolah. Siapa lagi selain Priska? huhh! Kemudian aku mendekatinya. Seraya tersenyum seperti biasa.
“Hey, apa kabar Na?” Tanya Lucky.
“Mm… Baik! Lagi nunggu siapa?”
“Ya, nunggu Priskalah. Aku mau anterin dia buat beli perlengkapan besok.”
“Oh..” aku hanya mengangguk-angguk.
“Kamu besok datang kan?”
“Besok? Oh, ya tentu dong!”
“Baguslah. Kalo gitu aku duluan ya.”
Lucky memakai kembali helmnya. Tampak Priska datang sambil tersenyum padaku. Kemudian, ia menaiki motor Lucky, memeluk erat punggung Lucky dan memberi komando agar segera melaju. Sedangkan aku, layaknya sebatang pohon, tak ada yang menghiaraukan. Pun sebatang pohon masih ada yang melirik sebagai tempat berteduh, but it’s not me!”
Dan tiba-tiba aku teringat lagi, tentang siapa yang akan aku ajak ke pesta ulang tahun Priska besok. Kalau aku mengajak Bagus, seentro sekolahan pasti akan menganggapku tidak waras. Yang benar saja, seorang Raina bisa luluh dan mengajak pergi si Palyboy cap tokek itu ke Couple party. Kalau dengan Jono, lelaki berbadan kurus itu baik, tapi tak ada yang akan mengira besoknya bagaimana. Foto ku dan dirinya pasti akan terpampang di mading lengkap dengan penjelasannya. Hal itu juga akan membuat aku menjadi bahan empuk dan pulen untuk gossip. Huhh… Lalu dengan siapa aku pergi? Oh my God, help me! /~_~\
^^^

      Ketika pikiranku sibuk memikirkan pasanganku untuk pergi ke acara Ulang tahun Priska sejak kemarin sore, Ibuku datang seraya membawa sebuah kotak besar berwarna biru muda dengan sebuah pita merah yang mengikatnya.
“Ina, ini ada kiriman buat kamu!”
“Hah? Dari siapa?”
“Entahlah, petugas yang nganterin gak mau nyebutin siapa pengirimnya.”
“Baiklah. Terimakasih ya Buk!”
Ibu lalu segera beranjak pergi. Tapi sebelum ia melewati pintu Ibu melihat foto itu, foto kecilku bersama Lucky.
“Na, kok Lucky gak pernah kesini lagi ya?”
“Mm, itu, dia, dia lagi sibuk ngurusin ultahnya Priska.”
“Priska? Siapa itu?”
“Pacarnya, Buk.”
“Oh.. Lucky udah punya pacar ternyata..”
“Udah deh Buk, jangan bahas dia!”
Ibuku terkekeh. Ia lalu pergi dan menghilang di balik pintu kamarku. Sedangkan aku, makin sibuk dengan acara penasaran akan pengirim hadiah ini. Terlebih setelah aku buka isinya. Sebuah gaun pesta yang juga berwarna biru muda. Dan di balik gaun itu terselip sebuah surat.

Dear Raina…

Raina, semoga kamu suka ya dengan gaun ini. Yahh, meskipun harganya gak mahal-mahal banget, tapi aku harap kamu memakainya nanti ke Acara ulang tahun Priska. Dan kamu pasti akan terlihat cantik!… ^_^

-Orang yang kamu kenal-


Gilaa, siapa sih ini? Orang yang aku kenal? Helooo… temen-temen sekelas aku aja jumalahnya 39, ditambah kelas-kelas tetangga, di rumah juga banyak. Tapi masa Kek Oesman?  Atau Om Fredy? Ahh, gak-gak! Atau jangan-jangan Si Kiwil? Anak SMP juragan beras itu? Ahhhh… gak mungkin juga! Aku hampir gila penasaran oleh pengirim misterius ini. Kepalaku terasa cenat-cenut memikirkannya. Lalu sebuah nada sms masuk mengembalikan ingatanku. Dari Baron, ia mengirimkan solusi atas kebingungan, kecenat-cenutan kepalaku dan apakah mungkin Baron yang mengirimkan hadiah ini?

Anda penasaran? Sama, saya juga!!!*
*{Nadanya sama seperti di acara Suka-Suka Uya sebelum iklan lewat}

>>> 

Baron tampak begitu takjub dengan penampilanku malam ini. Ia lalu membukakan pintu mobilnya bak pelayan yang mempersilahkan sang Putri untuk naik ke mobil.
“Terimakasih.” Kataku tersenyum. Baron lalu memasuki mobilnya dan siap-siap melaju. Tapi sebelum sempat menghidupkan starter mobil, tiba-tiba Mbak Yunita memanggilku.
“Ada apa, Mbak?” aku melongo dari balik kaca mobil.
“Nih sepatu kamu ketinggalan.” Mbak Yunita menyodorkan sepatu hak tinggi yang biasa aku pakai ke acara pesta. Kemudian aku menengok kakiku. Sepasang sandal jepit memang masih terpasang di kakiku.
“Hehehe… Hampir lupa, Mbak!”
“Ckckck… untung aja kamu gak pake sandal jepit ke pesta. Kan gak sesuai sama gaun yang dikasi Baron.”
“Ihh, Mbak ini. Ya udah deh, aku berangkat dulu ya Mbak.”
Aku melambaikan tangan pada Mbak Yunita yang sudah tertinggal cukup jauh di belakang.
“Na, kapan ya aku ngasih kamu gaun?”
Pertanyaan itu sontak membuatku membalikan badan menghadap Baron.
“Lho, bukannya kamu yang ngirim hadiah gaun ini ke rumah tadi siang?”
Baron tak menjawab. Ia malah tertawa dan menatapku yang tampak heran.
“Sumpah deh. Aku gak ada ngirimin hadiah ke rumah kamu.”
“Lalu kenapa kamu ngajakin aku buat pergi ke pestanya Priska?”
“Yaa, kalo soal itu, gak ada yang cocok buat aku ajak selain kamu.”
“Oh..” aku menjadi makin heran. Kalau bukan Baron, terus siapa dong?
Huhh… lagi-lagi itu membuatku tidak bisa berkonsentrasi pada perjalananku. Hingga akhirnya Baron menghentikan mobilnya, kami sudah sampai.

“Hey, Raina! Akhirnya kamu datang juga!” Priska tampak suminggrah menyambut kedatanganku di pestanya. Dengan memakai gaun warna pink dan sepatu hak tinggi nan tipis, ia tampak anggun. Pantas kalau Lucky bisa jatuh cinta padanya. Dan ia memang beruntung.
“Hai, happy birthday ya, Pris!” kami berpelukan. Dan saat itu aku mendengar Priska berbisik.
“Na, malam ini aku mau umumin kalo aku sama Lucky akan tunangan.”
Jret… Gubrakkk!!!! Tiba-tiba gemuruh kembali menyelimuti langit dan menurunkan hujan deras yang menyebabkan banjir bandang dan menghanyutkan segala isi hatiku.
Ya, aku sangat shock, kaget, terkejut dan istilah sejenis lainnya. Andai saja aku tidak sama sekali sadar sedang berada di mana, aku sudah berteriak sekencang-kencangnya sampai pohon-pohon tumbang pun aku tidak peduli. Karena aku sangat tidak mengharapkan hal itu terjadi.
“Raina?” Baron memecahkan lamunanku. Lalu ia tiba-tiba menggengam tanganku, berjalan diantara para tamu, menyusul Priska dan tentu saja akan bertemu dengan Lucky.
Saat berhadapan dengan Lucky, aku mencoba melepaskan tanganku dari Baron, tapi itu urung aku lakukan lantaran aku sudah tidak tahan lagi dengan kemesraan Priska dan Lucky. Aku malah merangkul lengan Baron, aku tidak mau kalah!
“Kalian balikan lagi?” Tanya Lucky menatapku dan Baron.
“Mmm.. e, Iya, kami baru aja balikan. Benar kan, sayang?” aku menatap Baron lekat. Berharap bahwa Baron akan mengerti posisiku saat ini.
“Iya, ternyata kami baru sadar bahwa kami masih saling mencintai.”
Huff.., akhirnya Baron mengerti akan tatapanku. Ia lalu tersenyum padaku, tapi kulihat ada ketidaksesuaian pada binar matanya.
“Baguslah kalo gitu, jadi kita bisa sering double date bareng nih.” Priska menatap Lucky, kemudian menatapku juga Baron. Lalu hal yang ditunggu Priska dan Lucky, serta tamu lainnya, kecuali aku pun tiba. Seandainya di sebelahku ada headphone yang memperdengarkan music rock bervoulume tinggi dan sebuah penutup mata, maka aku pun akan segera memakainya, meskipun orang-orang akan menatapku heran dan dalam benak mereka akan ada tulisan berjalan, AWAS ORANG KURANG WARAS!


“Are you ok, Raina?” Tanya Baron memelankan laju mobilnya. Aku sedang menuju rumah sekarang. Jam 10 malam. Jalanan kota masih ramai. Orang-orang itu masih menunggu tengah malam untuk pulang dan berisitirahat atau malah berburu midnight discount besara-besaran di mall-mall.
“Eh, yaa, I’m fine!”  kataku tersenyum padanya.
“Terus kenapa dari tadi diem aja? Kamu capek ya?”
“Enggak, aku gak capek kok. Tenang aja.”
“Hemm, it’s ok kalo gitu.”  Baron kembali diam. Mematung sepertiku sambil memperhatikan mobil, motor, becak, angkot, busway, dan bajai yang masih sibuk lalu lalang di jalan raya hanya demi mencari segenggam beras untuk keluarga yang mungkin saja sangat teramat gelisah dan khawatir menanti kepulangan para tulang punggung keluarga itu.
“Baron, aku minta maaf soal tadi.” Aku memberanikan diri untuk bersuara dan menatap Baron.
“Apa?” Tanyanya masih focus pada setirnya.
“Soal kita balikkan lagi.”
“Oh, never mind! Aku udah mengerti kok.”
“Kamu gak marah?”
“Marah? Untuk apa aku marah? Malahan aku seneng pas kamu bilang kita balikan. Tapi andai aja itu beneran, aku pasti bakalan bahagia banget.”
Aku terdiam, pernyataan Baron barusan membuatku tidak bisa berkata apa-apa lagi. Rasa bersalahpun lagi-lagi menghantuiku. Baron sangat baik kepadaku dan ia masih sangat menyayangiku. Tapi, bila aku menerimanya kembali, apakah itu akan semakin membuat hatinya sakit dan menambah kesalahanku? Entahlah, aku tidak bisa menebak apa yang akan terjadi besok. Akan kubiarkan saja semuanya sementara berlalu sampai hati dan pikiranku kembali siap menerimanya.

Darahku, saat itu,
mengalir begitu lambat membeku,
Kian lama kian membuat otakku buntu,
Nadi-nadiku mengkerut, jiwaku menggerutu,
Bagaimana tidak, kau sudah tidak bersamaku,
Kau memang tidak menghilang tabu,
Namun kau telah menjauh dariku,
Kau, telah melewatkanku,
Karena kau hanya anggap aku sahabatmu…
>><< 


                  Perahu singgah di Persimpangan. . .


  “Baiklah anak-anak, pelajaran kita lanjutkan minggu depan..” suara Bu Desi menjawab pertanyaan murid-murid tentang kapan bel pulang akan dipencet oleh petugas di kantor guru. Semua teman-teman sekelasku pun ikut berhamburan keluar berbarengan dengan pasukan kelas-kelas tetangga. Mereka sangat bersemangat ketika bel itu berbunyi, karena bel adalah rentetan bisikan malaikat dari surga.
      Sementara aku dengan malas merapikan buku-buku yang berserakan di mejaku. Kemudian dengan sangat malas juga aku berjalan keluar kelas menyusuri lorong kelas dengan tujuan sebuah ruangan yang dipenuhi rak-rak dan buku-buku berhalaman setebal kumis Pak Budiman sampai setipis alis Bu Desi, perpustakaan.
Siang ini, aku ke perpustakaan bukan untuk mengobrak-abrik isi rak-rak tinggi disana, atau memperlambat jam pulang petugas perpustakaan. Tapi, aku ingin menemui Bu Nari. Aku yakin dia pasti sudah duduk diam disana sambil membaca buku dengan gambar sampul yang mungkin akan menyayat hati meskipun baru melihatnya saja.
“Bu..” kataku pelan setelah aku mengambil posisi duduk di sebelahnya.
“Ya? Can I help you, sweety?”
“Aku mau curhat.”
“Curhat tentang apa? Lucky? Kakak kamu? Atau tetangga kamu itu, Kek Oesman ya?”
“Ihh, aku serius Buk!”
Bu Nari tertawa. Ia kemudian meletakkan buku yang ia baca tadi dan menatapku.
“Hah? Buku komedi? Kok tumben ibu baca buku komedi kayak gitu?”
“Yeee… emangnya gak boleh? Lagian Ibu kan lagi seneng banget hari ini.”
“Ohya? Seneng kenapa Bu?” tanyaku penasaran sampai-sampai lupa dengan tujuanku menemui Bu Nari.
“Mmm… kasi tau gak ya?”
“Yah, Ibu! Kasi tau dong…”
“Ibu, ibu akhirnya di terima kerja jadi dosen di Inggris!”
“Wahh… selamat ya buk! Tapi…”
“Kenapa, Na?”
“Itu berarti Ibu bakalan pergi dari sini dong..”
“Cupcupcup… jangan sedih dong. Lagian kamu kan bisa contact Ibu kapan pun kamu mau.” Bu Nari memelukku erat.  
“Ohya, tadi kamu mau curhat apa?”
Aku kembali tertunduk lemas. Mataku mulai berbinar-binar, mulai berair sampai akhirnya basah oleh air mata.
“Lucky mau tunangan sama Priska.” Ucapku lirih.
“Tunangan? Kapan?”
“Entahlah, aku gak mau tau soal itu. Itu buat aku sedih banget, Buk.”
“Udah dong. Jangan nangis lagi. Lagian mereka kan baru tunangan.”
“Tapi tetep aja Buk, bikin sakit hati!”
“Ya, mau gimana lagi? Masih banyak ikan di laut kok!”
Aku kembali memeluk Bu Nari. Tangisanku mulai mereda ketika aku teringat sesuatu.
“Bu, kalo aku balikan lagi sama Baron gimana?” kataku sambil menatap Bu Nari.
“Yaa, ibu sih setuju-setuju aja. Asalkan kali ini kamu serius.”
“Tapi aku takut bakalan nyakitin dia lagi.”
“Tidak kalau kamu yakin sama dia.”
Aku menatap lekat Bu Nari. Kemudian menyunggingkan senyuman. Aku harap, keputusan ini tidak akan salah dan membuatku bisa melupakan Lucky.
Oh God, bless me..
^^^


Pagi itu, mentari begitu bersemangat untuk menyinari bumi dengan sinar orangenya. Seperti biasanya juga, si jago dan brung kenari milik kek Oesman bersenandung ria melantunkan lagu-lagu faforit kek Oesman. Ketika aku menuju teras di depan kamarku, kulihat Kek Oesman sedang sibuk memberikan peliharaanya itu makanan.
“Selamat pagi, kek Oesman!” teriakku menyapa manula yang mirip dengan artis Ki Daus itu. Tapi saat kupanggil, kek Oesman tak menjawab. Ya jelas saja, kek Oesman itu pendengarannya udah sedikit terganggu. Tapi satu hal yang selalu bisa ia dengar dengan jelas adalah suara si jago dan burung kenari kesayangannya. Entah karena apa, hanya suara binatang itulah yang paling bisa didengarkan kek Oesman.
“KEK OESMAN, LAGI NGAPAIN?!”  aku berteriak lagi dengan sekencang-kencangnya. Dan akhirnya beliupun mendengarnya.
“Eh, Neng Raina ini, pagi-pagi udah teriak-teriak! Lagi marah ya Neng?” sahutnya dengan mimik tanpa dosa.
JEGUBRUKk! ! !...
Aku mendadak ingin pingsan atau turun dan berteriak tepat di telinga kek Oesman. Tapi untung saja, Kek Oesman itu orang tua, dan orang tua itu patut dihormati, jadi Kek Oesman itu orang tua yang patut dihormati.*
{*Jika anda punya volume kesabaran yang melebihi batas normal, silahkan hormatilah. Tapi jika tidak, maka tamparlah diri Anda karena sudah salah memilih teman untuk diajak curhat.}

“Ina, kamu gak sekolah? Udah siang lho…” Ibuku menjerit dari balik pintu kamarku. Segera kubuka pintu dan mengiyakan perintahnya.
“Ohya, Baron udah nungguin tuh.” Kata Ibu lagi.
“Suruh tunggu bentar ya, Buk.” Aku cepat-cepat mengambil handuk dan membersihkan tubuhku dari hal-hal buruk yang mungkin saja akan membuat mood ku kembali memburuk.
“Buk, aku berangkat dulu ya!” pamitku pada Ibu.
“Berangkatnya ke sekolah ya, jangan kemana-mana!” Izal nyeletuk. Sambil menyalimi tangan Ibu, aku mendelik ke arahnya. Seakan-akan aku akan menjadikannya mangsa untuk sarapan pagiku hari ini. Tapi, sebelum aku berhasil menyergapnya, Izal kembali nyeletuk.
“Baron, jagain adik kakak yang puaaling cantik, imut dan cerewet ini ya!” Izal terkekeh. Di sebelahnya Mbak Yunita juga senyum-senyum mendengar kicauan nyaring suaminya pagi ini. Sedangkan aku, hanya tertunduk, sedikit malu tapi kuharap, ada orang yang membelaku kali ini.
“Tenang aja Kak! Aku udah biasa ngadepin si cerewet ini.” Baron malah ikut tertawa dan itu membuatku makin malu.
“Ya sudah, kalau Raina ngambek lagi kan gawat jadinya. Kalian hati-hati ya.”
Aku dan Baron kemudian bergegas menuju sekolah dan Baron dengan sangat hati-hati melajukan motornya. Sedangkan aku, di belakangnya memegang erat punggung Baron.
You know what? Ada perasaan aneh kali ini, jantungku berdebar sepanjang perjalanan dan bibirku terkunci. Perasaanku hari ini sangatlah senang dan mataku terlihat cerah, terang sekali seperti lampu neon, Philips dan lain-lain. ^_^

>>>

      Jam istirahat kedua, aku, Neni dan Dine baru saja datang dari kantin setelah kami menyeruput habis Es Puyeng yang rasanya spektakuler di sekolah ini. Kalian tau? Minuman pelepas dahaga dengan potongan buah-buhan segar warna-warni ini bisa disebut dengan Es Puyeng karena konon katanya, Nenek-neneknya-nenek dari Ibunya Mpok Jeje, sang pedagang Es Puyeng, dulu  untuk menghilangkan kegalauannya akibat ditinggal sang pujaan hati waktu muda, dibuatlah es ini. Dengan rasanya yang manis karena dibuat dengan secangkir cinta dan seember kasih sayang, makanya Es Puyeng ini jadi faforit di desa kelahiran nenek-neneknya-nenek dari ibunya Mpok Jeje. Karena laris, resep pembuatan es ini pun jadi diwariskan sampai akhirnya jatuh pada Mpok Jeje sekarang.
“Gila, andaikan uang jajan aku masih, aku beli lagi deh Es Puyengnya Mpok Jeje!” ujar Dine ketika dalam perjalanan menuju kelas.
“Ih, kamu ini gak perutmu itu perut karung ya? Udah 3 gelas lho kamu makan es Puyeng.” Celoteh Neni.
“Iya, nanti puyeng beneran baru tau rasa kamu!” sambungku.
Dine nyengir. Ia tiba-tiba memegangi perutnya yang secara mendadak terkena komplikasi.
“Nah, bener kan!” Aku dan Neni geleng-geleng kepala berjamaah. Sedangkan Dine dengan sekilat cepat meringkuk di balik pintu toilet wanita.

“Raina!” seseorang memanggilku ketika aku dan Neni sedang menunggu Dine di depan toilet. Ternyata Priska. Dengan berlarian centil ala-ala dia, Priska menuju arahku.
“Na, besok kamu ikut ke Bogor kan?” tanyanya sambil merapikan poni yang mirip dengan Amel Karla itu.
“Ke Bogor? Ngapain?”
“Lucky ngajakin kamu, Baron, Neni sama Dine buat ikut liburan disana.”
“Ohya?”
“Baron juga udah aku kasi tau. Katanya terserah kamu aja.”
“Mmmm ya udah deh, aku ikut.”
“Aku jugaa!!” tiba-tiba Dine berteriak dari dalam toilet. Ternyara dia mendengar semua pembicaraan kami bertiga. Neni juga kemudian mengiyakan ajakan Priska.

>>> 

“Ina, kamu dapat kiriman nih!” teriak Izal dari ruang keluarga. Mendengar panggilan itu aku langsung keluar kamar dan menyerbu kotak yang dibawa Izal. Sebuah kotak biru lagi. Entah kali ini siapa pengirimnya, tapi kuharap tertera nama asli sang pengirim.
“Isinya apaan tuh?” celetuk Izal memandangi kotak itu dengan wajah penasaran. Sebelum aku sempat membukanya, tiba-tiba Izal kambuh lagi. Dia mulai merebut kotak itu saking penasarannya.
“Kak, ini kan punya aku!” ujarku sambil berusaha melindungi kotak itu dari raihan Izal.
Akhirnya Izal kembali normal. Yang benar saja, ternyata Mbak Yunita datang setelah bersusah payah menenangkan adik bayi yang kehausan.
“Gak jadi liat isi kotak ini, Kakakku yang manis?” aku terkekeh dan segera berlari menuju kamarku. Sedangkan Mbak Yunita Cuma geleng-geleng kepala sambil menatap Izal heran. Izal nyengir, kemudian melanjutkan acara nonton tv-nya dengan tanpa celoteh apapun.

Di dalam kamar, aku berdebar-debar, penasaran dengan isi kotak itu. aku pun segera membukanya dan ternyata, sebuah Syal rajutan berwarna biru dengan selingan warna putih tertata rapi disana. Tak ketinggalan, suratnya pun terlipat rapi di antara syal itu.

Hai, Raina? Kali ini semoga kamu suka juga dengan syal ini. Yah, meskipun bukan rajutan sendiri tapi aku tulus ngasih syal ini ke kamu. Semoga kamu juga gak keberatan untuk memakainya besok, ke puncak.

-Orang yang kamu kenal-

Astaga, nama itu lagi! Siapa sih orang ini? Jika Baron, kenapa waktu lalu dia bilang tidak pernah mengirimkan apa-apa? Atau mungkin dia berbohong? Tapi kurasa Baron tidak suka berbohong. Lalu siapa? Apa mungkin Lucky?
Pertanyaan demi pertanyaan muncul dalam benakku tanpa ada jawaban pasti. Sampai akhirnya malam kian larut dan waktu bergulir begitu cepat. Matahari sudah muncul ketika aku membuka mata. Tapi, tak biasanya aku tak mendengar suara si jago di tembok rumahku. Ketika kuselidiki, ternyata pagi-pagi sekali, si Jago dibawa ke rumah sakit hewan untuk menjalani pengobatan intensif akibat serangan flu yang dideritanya. Kata Ibu Si Jago dan Kek Oesman sudah berangkat diantar Kak Izal sekitar jam 5 tadi. Gilaa, jam segitu mana ada dokter hewan yang udah buka? Bangun aja belum!
“Ina, ayo sarapan! Katanya mau ke puncak sama temen-temen.” Ibu memanggilku dari ruang makan. Setelah mandi, aku pun segera menuruni tangga dan bersiap menyantap menu sarapan hari ini. Tapi, ketika suapan pertama, Izal datang. Ia terlihat masih sangat mengantuk.
“Kamu gak apa-apa, sayang?” Tanya Mbak Yunita mendekatinya.
“Yah, Cuma sedikit ngantuk aja. Lagian kek Oesman ada-ada aja.”
“Terus dokter hewannya ketemu?” sambung Ibu seraya menyendokkan nasi untuk ayah.
“Ya, untung aja dokternya rajin.” Izal terlihat suntuk. Ia lalu mengambil posisi duduk si sebelah kursi istrinya.
“Ya, sekali-sekali gak apa-apa direpotin sama Kek Oesman.” Celetuk Ayah keluar dari kamar mandi. Tapi izal tetap terdiam. sambil mengangguk sebentar ketika Mbak Yunita melengkapi nasinya dengan lauk dan sayur. Aku pun tak berani mengganggu, aku tau kakakku itu sangat tidak suka diganggu ketika ia sedang tidak dalam keadaan normal seperti pagi ini. Aku lebih memilih sibuk dengan sarapanku dan sekali-sekali mencoba menelaah siapa pengirim gaun dan syal misterius itu.
“Yah, Buk, aku berangkat ya.” Kataku berpamitan pada ayah dan ibu.
“Kamu baik-baik ya disana. Baron, jagain Raina ya.”  Ucap ayah seraya menatap Baron.
Baron hanya mengangguk dan tersenyum mengiyakan. Sedetik kemudian, koperku sudah berada di dalam bagasi mobil Baron. Ohya, aku, Baron dan teman-temanku yang lain liburan di puncak tepatnya di villa milik keluarga Lucky. Kami disana selama 5 hari. Dan hal itu berarti selama 5 hari juga aku akan bertemu Lucky dan segala kemesraan yang ia buat dengan Priska.
>>> 

      Udara nan sejuk mulai terasa setelah aku, Baron, Lucky, Priska, Neni dan Dine memasuki daerah perkebunan the menuju villa milik Lucky. Terlihat pemetik teh yang terdiri dari Ibu-ibu sampai anak-anak sedang sibuk meneliti pucuk-pucuk teh yang akan mereka petik. Saat itu, langit sedang cerah dan dengan senang hati para pemetik teh itupun dengan semangat mengumpulkan daun-daun teh pada tas keranjang mereka. Terkadang mereka berhenti sejenak sambil melemaskan tangan-tangan mereka dan sebentar lagi bekerja kembali. Meskipun terik matahari saat itu sangat panas, namun para pemetik teh itu tetap bekerja dengan ceria, tertawa saat pembicaraan mereka merupakan hal yang lucu. Atau mereka terkadang menjadikan saat-saat seperti ini untuk melepas rasa penasaran mereka dengan cara bergosip, hampir sama dengan para Ibu-ibu di kota Metropolitan. Bedanya mereka rela membakar diri seharian demi memberikan kehidupan yang layak pada anak-anak mereka bukannya malah membicarakan orang dan menghabiskan uang di salon mewah dan mall-mall.
      Sekitar lima menit melewati perkebunan teh, akhirnya kami sampai di tempat tujuan. Perlu diketahui, ini bukan pertama kali aku mengunjungi villa ini. Waktu kecil, orang tua Lucky pasti serta merta mengajak keluargaku termasuk Izal untuk menghabiskan liburan disini. Aku pun sudah hapal betul dengan letak dapur, kamar mandi, taman belakang, dan sungai yang mengalir dekat dengan perkebunan teh ini.
“Raina sekamar sama Neni ya.” Kata Lucky saat ia membagikan kamar untuk kami. Kemudian dilanjutkan dengan membagikan kunci kamar. Dan ternyata Lucky memberikan kunci kamar yang sering aku tempati dulu. Ternyata Lucky tidak lupa. Lucky tidak lupa bahwa aku tidak suka tidur di kamar lain di villa ini selain kamar dengan kunci berisi gantungan Pinie the pooh ini. Dengan senang hati, aku segera mengajak Neni masuk ke dalam kamar. Kamar yang terakhir kalinya aku tempati sekitar 5 tahun lalu.
“Na, ini foto kamu ya?” Tanya Neni ketika melihat sebuah foto terpajang di meja rias. Foto kecilku, saat itu aku dan Lucky habis bermain hujan-hujanan di taman belakang. Baju kami basah kuyup dan penuh lumpur. Orang tua kami pun memarahi kami. Setelah kejadian itu, aku dan Lucky membuat janji kalau kami tidak akan pernah main hujan-hujanan lagi.
“Na? Cowok ini siapa?” Tanya Neni lagi.
“Eh, iya, itu aku sama Lucky!”
“Jadi ini Lucky waktu kecil? Kok beda banget sama sekarang?”
“Ohya? Ya udah, kita mending cepet ke ruang makan deh. Dine udah teriak-teriak tuh manggil kita!” Neni segera mengembalikan foto itu ke tempatnya. Foto itu masih saja disimpan disini. Mungkin karena Kang Engkung membiarkan foto itu tetap disini dan untuk melepas rindunya padaku sejak terakhir kali itu. Kang Engkung adalah orang yang ditugaskan untuk merawat villa ini. Bersama Istri dan anaknya, ia datang setiap hari ke villa ini untuk membersihkan villa ini. Dan tugas itu benar-benar dijalankannya dengan sangat baik.
 “Bi Engkung!” panggilku ketika aku melihat sosok wanita paruh baya yang sudah lama sekali tidak pernah kulihat. Bi Engkung tampak berpikir ketika aku memeluknya.
“Bibi gak inget sama aku ya? Aku Raina, Bi!” kataku mengingatkan.
“Raina?” Bi Engkung tampak mengingat-ingat kembali nama itu.
“Oh, Neng Ina ya? Wahh, sekarang udah besar ya, makin ayu.” Bi Engkung suminggrah. Ia kembali memelukku dan mengelus-elus kepalaku seperti yang seringkali ia lakukan dulu ketika aku menangis karena dikerjai Lucky.
“Bibi apa kabarnya sekarang? Trus Kang Engkung sama Ujang dimana?”
“Bibi baik-baik aja kok. Kang Engkung sama Ujang lagi nyari tanaman bunga buat ditaruh di taman belakang.”
“Oh, aku kangen banget sama Bibi, Kang Engkung, sama Ujang. Lama banget aku gak pernah kesini lagi.”
“Yowiss, sebentar lagi mereka pasti datang kok. Sekarang sok atuh sarapan.”
“Bibi gak ikut makan?”
“Bibi udah makan tadi, tuh temen-temennya udah nungguin.”
Aku lalu menuju meja makan. Lalu mengambil hidangan yang ternyata adalah hidangan kesukaanku dan kurasa Bi Engkung memasak itu memang khusus untukku.
“Wah, hidangan khusus buat aku nih!” ujarku ketika melihat tempe manis dan tahu kuah santan di atas meja.
“Eits! Kalaupun itu emang khusus buat kamu, tapi jangan dihabisin ya!” sahut Lucky berusaha menghalangi sendokku meraup hampir setengah tempe manis itu.
Astaga, seketika alam pikiranku kembali terkoyak. Ia kembali ke masa beberapa tahun silam. Ketika itu aku, Lucky dan keluarganya sedang sarapan, ketika itu juga Bi Engkung memang membuat hidangan yang dibuatkan khusus untukku karena saat itu aku sedang berulang tahun. Tapi, ternyata Lucky tidak terima jika hanya aku yang dibuatkan hidangan khusus itu, ternyata Lucky juga penggemar T2 {tahu dan tempe} sama sepertiku. Maka, terjadilah perang ketiga di meja makan antara aku dan Lucky. Kami saling berebut hidangan itu sampai akhirnya Ibu Lucky menarahi kami dan membagi hidangan itu menjadi dua bagian. Sejak pagi itu, aku dan Lucky sama sekali tidak saling bicara sampai keesokan harinya sepakat mengucapkan kata maaf secara bersama-sama di bawah pohon jambu di taman belakang villa.

“Syal kamu bagus.” Kata Priska tiba-tiba saat kami sedang berjalan-jalan menikmati udara sejuk di perkebunan teh.
“Thanks!” ucapku seraya tersenyum padanya.
“Ohya, kamu sering kesini ya?” tanyanya lagi.
“Mmm.. iya sih. Tapi itu dulu. Waktu aku masih SD.”
“Jadi, kamu tau dong apa arti huruf ini?” Priska menunjuk sebatang pohon yang menjadi pembatas perkebunan teh itu. Di permukaan batangnya terukir sebuah huruf. Huruf yang kelihatan sudah lama dipahat.
“Oh, itu, aku rasa ada orang iseng yang gak punya kerjaan lalu membuat huruf itu.”
“Tapi, aku lihat di setiap batang pohon sepanjang perjalanan tadi ada hurufnya.”
“Entahlah. Aku kurang tau soal itu.”
Aku kemudian melanjutkan jalan-jalanku. Menginjak langkah-demi langkah jalan setap berbatu yang membatasi perkebunan kanan dan kiri. Mencium kembali aroma daun teh yang sedang diproses di pabrik yang juga tidak jauh dari sini. Kembali bermain air sungai dan mengejar anjing kesayangan Ujang.  Aku kembali disini mengenang nostalgia masa kecilku.
>>> 

Entah ini desa atau kota,
Entah ini adalah masa lalu atau sekarang,
Tetapi tempat ini tetap adalah tempat terindah di duniaku,
Menjadi anak-anak yang suka bermain air,
Atau menjadi pengembara kebun teh
Dengan seorang teman yang kusebut sahabat,
Dan kami suka bersembunyi di antara rimbanya daun-daun teh,
Bersiul memanggil burung yang tidak akan datang,
Mencuri makanan milik para pemetik teh
Serta memanggil teman-teman lain,
Joe si anjing,
Joli si kelinci,
Pipit si burung,
Dan Koi si ikan….


“Mau beli jagung bakar?” Tanya Baron mengejutkanku lalu duduk di sebelahku, di teras depan villa.
“Emang ada tukang jagung disini?”
“Ya, aku gak tau sih. Tapi anaknya Kang Kung kan tau.”
“Bukan Kang Kung, Tapi Kang Engkung!”
“Ya, maksud aku ya begitu.”
“Terus udah ditanya dimana?”
“Nah, itulah masalahnya. Anaknya Kang Kung lagi nganterin Bi Engkung ke pasar.”
“Kang Engkung, sayang!… Ya udah, ikut aku aja!”
“Mau kemana?”
“Katanya mau beli jagung bakar.”
“Katanya kamu gak tau tempanya?”
“Siapa bilang? Udah, ikut aja!”
“Gimana kalo kita naik sepeda aja?”
“Emang disini ada penyewaan sepeda ya?”
Baron lalu mengambil sebuah sepeda jengki dari dalam gudang villa. Itu milik Kang Engkung. Sudah lama ia tidak pernah memakainya karena keluarga Lucky sudah memberikan beliau motor.
“Yang ini gratis, kemarin Kang Engkung bilang kalo sepeda ini boleh dipakai kemana aja, asalkan gak sampai Jakarta.”
Aku tertawa. Aku lalu duduk depan Baron, dan ini terlihat seperti adegan roman yang ada di telenovela. Sang laki-laki mengendalikan stang sepeda dengan sangat baik dan hati-hati, sedangkan sang wanita bersandar di dada sang laki-laki sambil senyum-senyum dengan diiringi lagu Terajana dan para penari latar yang berpakaian ala-alay India yang necis abis.

“Kamu gak beli?” tanyaku pada Baron. Tapi Baron hanya geleng-geleng lalu tersenyum. Ia menatapku lekat. Sinar matanya mengisyaratkan bahwa ada sesuatu yang ia temukan pada diriku. Entahlah, akan kulanjutkan acara makan jagung bakarku yang sudah hampir dingin.
“Raina, kamu suka sama Lucky?” Tanya Baron tiba-tiba. Sejak ia memandangiku tadi, aku berusaha untuk berkelid dengan memandangi barisan gunung-gunung yang menghijau dan terlihat awan putih yang menutupinya sebagian seperti sebuah mangkok yang telungkup. Tapi ketika Baron melontarkan pertanyaan itu, aku tersentak. Aku menghentikan memakan jagungku yang masih tersisa setengah.
“Suka sama Lucky? Gak mungkinlah! Dia kan sahabat aku dari kecil!”  aku berusaha mengelak perasaan yang tiba-tiba kembali muncul setelah beberapa hari ini aku kubur sangat dalam.
“Raina, jangan membohongi perasaan kamu. Aku tau gimana rasanya menahan sebuah perasaan yang teramat besar.”
“Tidak, aku tidak sedang berbohong pada diriku sendiri! Kalaupun aku punya perasaan suka sama Lucky, aku yakin itu hanya perasaan seorang sahabat.”
“Kamu yakin? Tapi aku merasa kamu suka sama Lucky.”
“Aku yakin sekali, Baron! Lagipula aku kan pacar kamu. Jadi kenapa kamu nanyain hal itu?”
“Baiklah. Aku gak akan menanyakan hal itu lagi.” Baron memelukku lembut. Sedangkan dalam pelukannya, aku berusaha menahan air mataku yang mendesak untuk keluar. Dalam pelukan itu juga aku berusaha mengubur atau bahkan memusnahkan perasaan yang tak sama sekali aku harapkan itu.
“Balik yuk!” pintaku pada Baron.
“Gak nambah jagung lagi?”
“Gak usah, lagian bentar lagi kan jam makan malam.”
“Kalo gitu, let’s go Princess!”
Aku dan Baron kembali ke villa. Kali ini aku duduk di belakang Baron. Aku ingin menikmati senja yang menyilaukan di depanku. Warna jingga yang tambah membuat sore ini menjadi lebih indah. Aku berusaha mengisi ruang-ruang lama di hatiku dengan hal-hal baru yang mungkin bisa aku dapatkan dari lelaki di depanku ini, Baron.
      Saat aku dan Baron sudah sampai di villa, tampak Lucky sedang melihat layar tabnya dengan serius.
“Eh, kalian habis jalan-jalan ya?” Lucky meletakkan Tabnya lalu menatap aku dan Baron sambil bersungging senyum.
“Gak, kita habis beli jagung bakar aja tadi disana.” Sahut Baron. Sedangkan aku hanya terdiam. tersenyum sebentar untuk membalasa senyuman Lucky dengan suasana yang terasa kaku.
“Aku masuk ke dalam dulu ya. Mau mandi.” aku berusaha melarikan diri dari kekakuan itu sebelum berlangsung lebih lama dan makin membuatku tak nyaman berada di tempat itu. Namun sebelum  sempat melewati pintu, aku sempat melirik ke arah tab Lucky. Kulihat sebuah foto yang di dalamnya terlihat dua orang. Entah siapa orang itu, mungkin itu foto Lucky bersama Priska, karena kulihat dalam foto itu mereka saling berpelukan.

^^^

“Ucky, kamu habis darimana sih?” tanyaku pada Lucky. Kulihat ia tampak sangat kotor. Ia juga tampak sangat lelah. Seperti habis ikut lomba marathon menuju puncak gunung Jayawijaya di Papua. Tapi ia tetap bisa tersenyum kepadaku.
“Kamu dari tadi dicariin sama mama kamu. Ngapain  sih tadi?” aku makin penasaran terhadap apa yang dilakukan sahabatku ini sejak pagi tadi. Setelah sarapan tadi, Lucky tiba-tiba menghilang. Kata mamanya, ia tadi lari ke kebun teh. Tapis etelah aku cari-cari, Lucky juga tidak aku temukan. Kemudian aku memutuskan untuk menunggunya di villa.
“Tadi aku habis jalan-jalan aja kok.” Sahut Lucky tersenyum semakin lebar.
“Jalan-jalan kemana? Kok kamu gak ngajak aku?”
“Habis kamu mandinya kelamaan sih. Jadinya aku sendiri aja jalan-jalannya.”
Lucky masih tersenyum lebar. Dari senyuman itu, tampak sebuah rahasia yang sedang ia coba sembunyikan. Aku hanya memandanginya heran ketika Lucky berlari menuju kamarnya.
Dan malamnya, seseorang mengetuk pintu kamarku. Setelah kubuka, ternyata Lucky, dan biasa, ia pasti tersenyum.
“Kenapa, Ucky?” tanyaku padanya. Tapi Lucky tidak langsung menjawab. Sejenak ia terdiam dan memandangi sebuah amplop coklat yang ia genggam erat.
“Mmm… Ini buat kamu.” Katanya malu-malu.
“Ini apa, Ky?” tanyaku sambil membalik-balik amplop itu.
“Kamu buka aja sendiri. Kamu pasti ngerti.”
Lucky lalu pergi dan menutup kamarnya. Sedangkan aku makin penasaran dengan isi amplop itu. kemudian aku segera membukanya. Terdapat sebuah kertas yang bergambar garis-garis, mirip seperti peta dan ternyata Lucky memberikanku sebuah peta. Entah apa artinya peta itu, apa mungkin di villa ini ada harta karun?
Dengan rasa penasaran yang teramat besar akan peta dari Lucky itu, aku akhirnya tertidur dan lupa akan apa yang ingin aku temukan dalam peta ini…
^^^
Pagi itu masih gelap. Tapi mataku sudah tidak bisa tertutup lagi karena aku teringat akan sesuatu. Dengan sangat hati-hati, aku berusaha bangun dari tempat tidur karena takut Neni akan terbangun. Tapi sial, Neni membuka matanya dan melihatku sudah terjaga lebih dulu.
“Kamu mau kemana pagi-pagi gini?” Tanya Neni sambil menguap.
“Eh, aku mau olahraga pagi aja sama Baron. Mau ikut?”
“Ah, gak usah deh. Daripada jadi obat nyamuk mending aku tidur lagi aja.” Neni akhirnya menutup kembali matanya dan aku bisa pergi dengan tenang.
Sebanrnya aku bukan ingin berolahraga bersama Baron, tapi aku ingin mengungkap rahasia dan menjawab rasa penasaranku terhadap Peta itu. peta yang kertasnya sekarang sudah lusuh karena lama tersimpan di laci di kamarku. Dan petunjuk peta itu membawaku pergi ke perkebunan teh dan menghentikan kakiku pada sebuah pohon yang ditunjukan Priska kemarin.
“I?” kutemukan sebuah huruf disana. Terpahat sangat rapi dan permanen. Kemudian aku mengikuti lagi petunjuk peta itu. Hingga ia mengantarkanku sampai pada pohon jambu di taman belakang villa.
Kenapa peta ini hanya sampai di pohon ini? Dan tidak ada lagi kalimat petunjuk lain. Hanya terdapat sebuah gambar silang merah di dedaunan pohon jambu itu. Tanpa berpikir panjang lagi aku langung melihat ke atas. Dan  astaga, kulihat sebuah kotak kecil tersangkut disana. Aku berusaha meraih kotak itu. Tapi tak bisa. Kemudian aku mengabil sebuah kayu dan akhirnya kotak itu pun terjatuh dan terbuka. Isisnya berserakan dan ketika melihatnya aku tersentak.
      Ternyata, di dalam kotak yang warnanya sudah tidak jelas itu terdapat kumpulan foto-foto dua orang anak kecil. Dan anak kecil itu tak lain dan tak bukan adalah foto diriku dan Lucky. Saat dimana aku dan Lucky berusaha mengejar-ngejar si Joli kelinci, saat Lucky melumuri wajahku dengan lumpur, saat aku berusaha menolong Lucky yang tenggelam tapi akhirnya aku juga ikut tercebur ke dalam sungai dan kenangan-kenangan kecil yang sulit sekali aku hilangkan dari pikiranku.
“Raina…” kata seseorang tiba-tiba. Aku sontak membalikkan badan dan berharap itu bukan Lucky. Tapi dugaanku salah lagi. Itu memang benar-benar Lucky dan ia sekarang berada sangat dekat dengan ku.
“Lucky… Ka, kamu ngapain disini?” tanyaku gugup.
“Dari sejak kamu keluar tadi, sebenarnya aku tahu. Aku mengikutimu sampai kamu menemukan yang sebenarnya di pohon jambu ini.
“Lalu?”
“Bacalah surat itu.”
Aku membuka surat yang kutemukan bersama foto-foto itu. Sejenak aku melirik Lucky kemudian membaca isi surat itu.

Ina, aku sebenarnya malu buat bilang ini ke kamu. Jadi aku pakai perantara peta dan surat ini untuk ngungkapin perasaan aku. Meskipun kita masih kecil, tapi aku yakin suatu saat nanti kita pasti bakalan ketemu sebagai jodoh. Aku yakin itu. Ohya, soal huruf-huruf di pohon-pohon sepanjang kebun teh itu, sebenarnya itu akan merangkai sebuah kalimat,
I LOVE U, Ina…

Aku melihat Lucky rapat-rapat. Kini, sorot mata Lucky berpadu dengan tatapanku. Setelah membaca surat itu, sesuatu yang aku bilang akan kumusnahkan kembali datang. Lebih hebat, dan itu membuat dadaku sesak, jantungku berdebar kencang seperti mesin disel dan bibirku terkunci.
“Aku tahu, ini bukanlah waktu yang tepat. Tapi akhirnya kamu mengetahui yang sebenarnya. Aku suka sama kamu melebihi seorang sahabat. Dari dulu aku berusaha buat mnjauh dari perasaan itu, sampai-sampai aku memutuskan pergi ke Kanada dan pacaran sama Priska. Itu aku lakukan karena aku tau, kamu gak mungkin pernah suka sama aku.”
Lucky menunduk, tampak kecewa dengan apa yang dikatakannya barusan.
“Darimana kamu tau kalo aku gak suka sama kamu?”
Lucky tampak makin lesu mendengar pertanyaanku kepadanya. Ia kemudian duduk dan memalingkan pandangannya dariku.
“Dulu kamu pernah bilang kalau kita gak boleh saling menyukai satu sama lain. Dan kamu seterusnya akan menganggapku sebagai sahabat.”
Aku terdiam dan menoleh kea rah Lucky.
“Raina mungkin memang pernah mengatakan itu, tapi aku tau Raina punya perasaan yang sama sepertimu. Raina juga menyukaimu.”
Baron keluar dari dari balik pintu. Ternyata sedari tadi ia mendengarkan percakapanku dengan Lucky. Bahkan bukan hanya Baron, tapi Neni, Dine dan Priska pun mendengar semuanya.
“Aku setuju dengan Baron.” Kata Priska.
“Sejujurnya aku tau, dari dulu Lucky memang tidak benar-benar mencintaiku. Tapi itu tak akan menjadi masalah buatku.” Sambungnya.
Aku hanya terdiam mematung. Sesuatu sedang berkelebat di dalam otakku. Entah kenapa ini terjadi dalam waktu yang sekaligus. Kebetulan? Atau mungkin ini memang jawaban atas segala yang kupertanyakan sebelumnya. Entahlah, kepalaku seketika pusing. Bayang-bayang semu mulai memenuhi mataku. Jantungku juga seakan lambat sekali memompa darah tapi tetap berdebar amat kencang. Dadaku menjadi sesak. Sesak dan sakit sekali. Kemudian aku memegangi dadaku untuk menekan rasa sakit itu, tapi, lalu aku tak tau yang terjadi.
^^^

Ketika gelap mataku mulai membuka dan terang perlahan-lahan menyusup. Ketika sepenuhnya mataku terbuka, telingaku samar-samar mendengar berbagai suara orang-orang. Juga terdapat seseorang yang berdiri di samping kasur yang kutempati ini. Ku berusaha memperjelas pengelihatan dan pendengaranku. Dan ternyata itu Ibuku. Ia tampak khawatir tapi berusaha tetap tersenyum padaku dan membelai lembut rambutku yang sedikit berantakan seperti biasanya aku bangun tidur. Lalu, ku putar pengelihatanku ke sisi lainnya. Ternyata ada Izal, Mbak Yunita, Neni, Dine, Baron juga Ujang. Mereka menatapku serentak dan ku pandangi mereka secara bergantian. Wajah-wajah kusam, mereka mungkin juga khawatir sama seperti Ibuku. Mereka khawatir kalau aku tidak bangun selama 100 tahun seperti Putri Tidur dan hanya terbangun ketika seorang pangeran menciumnya. Tapi untungnya tidak, tidur seharian membuatku bosan karena mimpi yang tidak kuketahui endingnya. Jadi, kuputuskan saja untuk bangun dan bertemu dengan tokoh-tokoh nyata dalam duniaku.
“Tadi kamu kenapa pingsan, Na?” Tanya Baron dengan ekspresi sedih.
“Iya, aku kirain kamu ngantuk trus langsung tidur di taman.” Tambah Neni dengan polosnya.
“Aku gak apa-apa. Paling Cuma kecapekan.” Jawabku tersenyum.
“Makanya dengerin kata Kakak sama Ibu!” ujar Izal.
“Aku kan udah bilang aku gak apa-apa. Jadi gak perlu obat-obat itu!”
“Tapi, sekarang kena batunya kan?”
Aku tak menjawab dan berusaha bangkit dari tidurku. Tapi kali ini terjadi kesulitan. Tanganku masih bergemetar. Mungkin karena aku kekurangan energi nyata, bukan hanya cairan bening yang masuk melalui selang-selang seperti ini.
“Kak, kakak pengen aku cepet sembuh kan?” tanyaku pada Izal.
“Emangnya kenapa?” Izal tampak heran.
“Aku laper, bisa beliin nasi goreng special gak?”
“Jiahh, kiraian mau minum obat! Dasar!”
“Mau beliin gak? Kalo gak ya udah aku gak mau minum obatnya!”
“Beliin aja kak, tapi aku nitip juga ya!” Dine ikut-ikutan.
“Yelah, ini lagi si gembul. Ya udah deh. Tunggu ya!” dengan berat kaki ia pergi juga. Dan selang beberapa menit setelah izal pergi, Ayahku dan Lucky datang. Di ruangan itu, ayah mengisyaratkan Ibu untuk mengikutinya keluar. Tapi, yang keluar bukan hanya Ibu, tapi juga Dine, Neni, Ujang dan terakhir Baron. Tapi sebelum ia keluar, kulihat Baron sempat menepuk pundak Lucky dan tersenyum padaku.
“Gimana keadaan kamu, Na?” Tanya Lucky membuka pembicaraan.
“Udah mendingan kok!” jawabku tersenyum.
“Na, maaf gara-gara aku  kamu jadi masuk rumah sakit lagi.”
“Ini bukan salah kamu kok. Aku Cuma kurang istirahat aja!”
“Dulu, waktu kita masih kecil, aku juga pernah membuatmu seperti ini.”
“Itu juga bukan salahmu, Ky. Tenanglah!”
“Dari waktu itu, aku selalu takut mengajakmu bermain-main air di sungai atau mencuri bonekamu sehingga kamu akan mengerjarku.”
“Jadi karena itu waktu menginjak SMP, kamu menjauhiku dan akhirnya menghilang?”
“Itu bukan maksudku. Hanya saja, aku tidak bisa menahan perasaanku. Dan itu sudah kujelaskan kemarin.”
“Bisa kamu jelaskan lagi? Tiba-tiba aku juga menjadi amnesia mendadak.”
“Ayolah, Ina. Aku tidak mungkin mengatakannya lagi.”
“Please….”
Lucky terlihat berpikir sejenak. Lalu ia menarik nafas panjang kemudian menggenggam tanganku.
“Raina, mungkin sekarang ini terdengar dan tampak lebih konyol daripada kemarin. Tapi karena ini kamu yang minta, akan kukatakan sekali lagi bahwa Aku mencintaimu.”
“Ku pikir kamu bukan lagi Lucky yang dulu. Tapi ternyata aku salah. Kamu masih Lucky dan Ucky sahabat kecilku.”
“Masih sahabat?”
“Kamu memang sahabatku sama seperti Neni dan Dine.”
Aku tersenyum dan sebenarnya juga ingin sekali tertawa setelah melihat ekspresi Lucky yang begitu sedih dan kecewa mendengar kalimatku barusan. Tapi, kemudian aku segera memeluknya. Erat sekali, karena aku tak mau lagi kehilangan dirinya lagi. Kehilangan untuk kesekian kalinya…
>><<

Harta Karun bernilai. . .
  
Ayunan itu telah membawa Raisa dalam belaian mimpi yang indah. Wajah bulatnya pun tampak seperti bulan purnama yang sedang bersinar. Bibirnya bergerak sangat lucu, seperti sedang mengemut sesuatu.
“Mbak, Raisa udah tidur tuh. Untung aja dia gak nangis sama aku.” aku terkekeh. Mbak Yunita baru saja pulang dari butiknya dan Raisa anaknya yang sekaligus menjadi keponakanku sementara menjadi asuhanku dibantu Bi Inun.
“Makasih ya, Na! Ohya diluar ada Lucky nungguin kamu tuh!”
“Lucky? Kenapa dia gak langsung masuk aja?”
“Ya, Mbak gak tau juga. Sana gih temuin!”
Aku langsung keluar menemui Lucky. Tapi saat sampai di halaman, tak ada seorang pun disana.
“Lucky, kamu dimana?!!!” teriakku. Tapi tak ada yang menyahut.
“Lucky, jangan bercanda deh!!!” teriakku lagi tapi tak juga ada jawaban. Aku pun memutuskan untuk masuk ke dalam menemui Mbak Yunita. Tapi ketika aku berbalik, tiba-tiba terdengar suara yang membuatku terkejut.
“SURPRIZE!!!” semua sahabatku, Dine, Neni, Baron, Priska, Ujang, juga Lucky muncul dari tempat persembuyian mereka. dan dari dalam rumah, Izal dan Mbak Yunita keluar dengan membawa kue tart dengan lilin-lilin menyala di atasnya.
“Happy birthday, adikku sayang.” Ucap Izal tersenyum.
“I think nobody remember it!”
“It’s immposible, Ina. Kami semua selalu ingat ulang tahun kamu.” Izal memelukku lembut dan tak melewatkan acara mengacak-acak rambutku.
“Make a wish dulu dong, Na.” kata Mbak Yunita.
Aku kemudian memejamkan mata, berdoa dan berharap agar semuanya menjadi lebih baik dan berakhir dengan bahagia.
“Jadi, sekarang kita bagi-bagi kue nih!” celetuk Dine.
“Sabar dong, Gembul!” kata Baron menyiku lengan Dine.
“Ya udah sekarang, kamu yang bagi deh kuenya.” Kue itu lalu aku serahkan kepada Dine. Tapi aku rasa yang lainnya pasti tidak terima dan taku jika kuenya akan habis dilahap Dine sebelum pisau kue ditemukan. Maka terjadilah perang rebutan antara pihak Dine dan yang lain, sementara aku hanya melihat mereka, tersenyum dan menulis…

Perahu memang belum berakhir berlayar,
Karna samudra itu luas,
Sangat luas seperti duniaku,
Yang kadang hitam kadang putih,

Layar memang telah aku kebatkan,
Tapi belum berakhirlah cerita yang kubuat,
Karena dia masih sangat jauh,
Dan aku perlu terus berlayar,
Berlayar menebar sauh,
Menyauh isi lautan pengetahuan, penghidupan,
Menyisihkan malu dan ketakutan,
Akan badai menghadang,
Ombak menghantam,
Petir melintang,
Dan awan menghitam…

^^^
 “Cerita ini saya saya ambil dari imajinasi saya waktu kecil. Yah, meskipun agak ngawur, tapi saya harap cerita ini bisa menjadi inspirasi bagi kalian semua.”
      Seketika tepuk tangan terdengar menggema dalam ruangan ini. Wajah-wajah mereka seakan antusias mendengar setiap kata yang kuucapkan. Masing-masing dari mereka lalu berbaris, membentuk antrean panjang dan aku dibuat sibuk untuk menandatangani buku bersampul birunya laut dan langit itu.
      Well, setahun lalu aku dan teman-temanku telah berhasil lulus dalam ujian nasional. Setelah itu, sebuah tawaran melayang padaku untuk membuat sebuah novel. Selain itu, Lucky juga berhasil membangun sebuah restorant Indonesia lewat usahanya sendiri. Dine dan Neni sedang sibuk dengan rutinitas baru mereka sebagai seorang presenter artis yang sedang naik daun. Sedangkan Baron dan Priska sedang sibuk menyiapkan acara pertunangan mereka.
“Jadi kapan kalian tunangan?” Tanya Priska sambil menyerahkan sebuah kotak kecil yang didalamnya terdapat kotak music yang mengalun indah.
“Mmm… nanti kami pasti akan mengundang kalian.”
“Haha, ku harap itu segera.”
Kami tertawa. Malam itu, acara pertunangan Baron dan Priska berlangsung sangat meriah karena dipandu oleh Neni dan Dine. Kenekatan Raisa yang tiba-tiba naik ke atas panggung juga membuat suasana makin ramai dan berkesan. Semuanya sangat terhibur dengan tingkah laku Raisa yang diikuti oleh Ariel sahabatnya menari khas balita di atas panggung.
“Aku rasa anak kita akan jadi artis terkenal nanti.” Kata Izal bangga.
“Kak Izal, aku rasa juga acara pertunanganku nanti akan meriah jika kuundang Raisa Rizalku Dewi sebagai bintang tamunya.”
“Juga bintang tamu kedua, Ariel Wardana.” Celetuk Lucky tersenyum. Tapi tiba-tiba Ujang datang dengan membawa sebuah kertas di tangannya.
“Mbak Riana, ini ada titipan buat Mbak sama Mas Lucky.” Katanya.
“Dari siapa, Jang?”
“Dari tukang posnya, Mbak.” Jawab Ujang polos lalu segera menuju meja prasmanan.
“Dari siapa, Na?” Tanya Lucky ikut-ikutan heran.
Aku tak menjawab. Tapi langsung membuka  kertas yang ternyata adalah sebuah undangan itu. Ya, undangan dari seseorang yang juga dekat denganku. Disana tertera dua buah nama,
Narisa Soebandyo
&
Reyhan Mangunkusuma

Akan melangsungkan pertunangan dan pernikahan pada,
                  Tanggal : 2 Februari 2012
                  Tempat  : Kediaman keluarga Reyhan Mangunkusuma

 “Jadi, kita gak jadi jalan-jalan lagi besok?”
“Ya, mau gimana lagi?”
Lucky Nampak sedikit kecewa. Tapi aku berusaha membuatnya tersenyum dan memeluknya.
“Tapi Minggu depan kita bisa jalan-jalan lagi kan?” tanyanya lagi.
“Mmm…. Kasi tau gak ya?” 
“Ih, dasar Alay!”
“Biarin!” aku menjulurkan lidahku dan segera berlari. Lucky pun juga segera mengerjarku dan akhirnya, selain tarian Raisa dan Ariel, aku dan Lucky juga menjadi pusat perhatian. Dan setelah kami sadar, aku dan Lucky sontak terdiam. Saling melirik dan tertawa dalam hati.

“Dan ternyata, kaki tidak lagi meloncat sebelah saja. Kini kaki sudah utuh dan siap berjalan kembali, melangkah kembali melewati segala jalan dunia yang sebenarnya tidak seburuk yang dibayangkan sebelumnya.”

Bahagia adalah mensyukuri apa yang kau miliki”
>><< 
Ratih Present’s
-1 Januari 2014-

Komentar

Postingan Populer